Suku Asmat adalah suku yang hidup di daerah rawa-rawa dan kehidupan mereka sangat dekat dengan air. Dalam menjalani kesehariannya, Asmat sudah beradaptasi pula dengan lingkungan air sejak jaman nenek moyang mereka. Demikian pula dengan kebiasaan mereka ketika berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, mereka mau tidak mau harus menggunakan alat transportasi air. Salah satu yang menjadi tradisi unik mereka dalam bertransportasi di air adalah perahu lesung.
Perahu Lesung suku Asmat adalah perahu yang sangat unik. Perahu ini terbuat dari satu batang pohon utuh yang dibentuk hingga menjadi perahu. Kayu yang dipakai biasanya diambil dari pepohonan yang jarang dipakai seperti Ketapang atau Bitanggur. Jadi, setelah ditebang, kulit batang pohon akan dikupas hingga bersih dan kemudian kedua ujung batang akan diruncingkan. Setelah proses tersebut, batang pohon siap dibentuk menjadi perahu.
Proses pembuatan perahu dapat memakan waktu sekitar 5 minggu bila dikerjakan dengan cara tradisional. Namun, setelah suku Asmat mengenal alat-alat modern dari besi, satu perahu dapat dikerjakan hanya dalam waktu 1-2 minggu. Pertama batang kayu akan dihaluskan, semua bagian batang yang berlekuk akan diluruskan agar perahu dapat melaju normal di air. Setelah halus, batang kayu akan dilubangi untuk membentuk tempat penumpang. Kemudian, bila sudah terbentuk ruang penumpang, seluruh bagian perahu baik luar dan dalam akan dihaluskan kembali dengan menggunakan kulit siput. Perahu sudah mulai terlihat bentuknya dan proses selanjutnya adalah membakar bagian bawah perahu. Hal ini dilakukan agar perahu menjadi lebih ringan ketika melaju.
Tahap terakhir sebagai penyempurnaan adalah tahap memberi hiasan. Hiasan ini dapat berupa ukiran lukisan pada dinding luar perahu. Hiasan ini bukanlah sebuah keharusan, perahu-perahu yang dipergunakan sehari-hari biasanya sangat minim hiasan. Namun demikian, bagi suku Asmat hiasan pada perahu Lesung mempunyai arti yang cukup penting, karena dapat diartikan sebagai penghubung antara mereka yang masih hidup dengan leluhur mereka yang sudah lama tiada. Mereka meyakini bahwa di tiap lukisan atau ukiran terdapat citra dan penghargaan atas kebesaran suku Asmat yang dipersembahkan bagi nenek moyang mereka.
Berkaitan dengan kepercayaan pada nenek moyang tersebut, maka tidak heran bagi sebagian besar suku Asmat, biasanya ada upacara yang dilakukan setelah perahu siap digunakan. Bahkan, ada beberapa pantangan saat mereka membuat perahu Lesung. Suku Asmat percaya bahwa tidak boleh banyak bunyi-bunyian saat mereka membuat perahu. Selain itu, batang kayu yang belum menyentuh air tidak boleh diinjak karena akan membuat batang tersebut sulit dipindahkan.
Terdapat dua jenis perahu lesung, yaitu perahu untuk keluarga dan perahu untuk klan. Perahu untuk keluarga biasanya lebih kecil, sekitar 4-7 meter dan mampu memuat 2-5 orang. Sedangkan untuk perahu khusus klan, berukuran lebih panjang sekitar 10-20 meter dan memiliki daya tamping hingga 20 orang. Selain itu, perahu juga dibedakan menurut fungsinya, ada perahu yang dipergunakan sekedar untuk mencari ikan, berburu atau transportasi, namun ada juga perahu khusus yang dipergunakan untuk perang atau perjalanan jauh.
Dayung, yang dipergunakan pun biasanya dibuat dari kayu besi atau pala hutan karena ketahanannya. Ukuran dayung cukup panjang karena suku Asmat biasa mengendarai perahu dengan posisi berdiri. Mereka menganggap posisi berdiri adalah posisi siaga bila sewaktu-waktu mereka diserang musuh atau buaya. Karena kesiapsiagaan mereka, maka dayung yang dipergunakan umumnya berujung lancip sehingga dapat digunakan sekaligus sebagai tombak.
Suku Asmat masih mempertahankan tradisi ini hingga kini. Mereka sangat menghormati keberadaan perahu Lesung karena banyak membantu kelancaran aktifitas kehidupan mereka. Selain itu, perahu Lesung adalah alat transportasi yang sangat dekat dengan alam dan leluhur mereka. Sebagai satu bangsa Indonesia, warisan nenek moyang ini perlu kita jaga dan lestarikan. Kebudayaan suku Asmat adalah salah satu bukti bahwa Indonesia adalah bangsa maritim yang kaya akan nilai budaya dan sejarah.
Baca juga: Pancaran Keramahan Suku Dani Dalam Tarian Selamat Datang
[@phosphone/IndonesiaKaya]