Jika menelusuri perjalanan sejarah sastra Indonesia masa lampau, tidak dapat dimungkiri bahwa keberadaan sosok novelis perempuan sangatlah langka. Nama Nh. Dini seringkali menjadi satu-satunya yang menonjol ketika membahas novelis perempuan Indonesia lawas yang berpengaruh, berprestasi, dan produktif.
Bagaimana dengan Sariamin Ismail?
Nama Sariamin Ismail (1909–1995) mungkin terdengar asing bagi banyak pencinta buku, padahal ia adalah pelopor novelis perempuan Indonesia. Novel perdananya, Kalau Tak Untung, terbit pada tahun 1933. Sejalan dengan rekan sesama penulis asal Sumatra Barat lainnya, seperti Marah Rusli (Sitti Nurbaya) dan Abdul Muis (Salah Asuhan), Sariamin menyodorkan kisah kasih tak sampai yang sesuai pada zamannya: sendu, mendayu-dayu, sarat angan, dan yang terbelenggu oleh aturan tradisi.
Kalau Tak Untung mengisahkan hubungan platonik antara Masrul dan Rasmani sejak kecil yang kemudian berkembang menjadi benih-benih cinta saat mereka dewasa. Sayangnya, cinta mereka harus terpendam karena perbedaan latar belakang sosial. Orang tua Masrul telah merencanakan perjodohan dengan Aminah, sosok yang dianggap lebih sesuai dari segi status ekonomi dan sosial.
Kalau Tak Untung mengisahkan hubungan platonik antara Masrul dan Rasmani sejak kecil yang kemudian berkembang menjadi benih-benih cinta saat mereka dewasa.
Namun, rencana perjodohan itu tertunda ketika Masrul memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan sebagai juru tulis di kota Painan. Keputusan tersebut ditentang oleh ibunya yang sangat menginginkan pernikahan segera terlaksana. Sebagai kompromi, Masrul berjanji akan kembali ke kampung halaman tiga tahun kemudian untuk menikahi perempuan pilihan ibunya. “Janganlah engkau minta janji selama itu, tua juga Aminah sementara dan engkau sendiri nanti akan beruban,” ujar ibunya.
Setelah pindah ke kota besar, Masrul dan Rasmani tetap menjalin komunikasi melalui surat-menyurat, yang semakin memperdalam perasaan cinta mereka. Sayangnya, perasaan itu harus mereka sembunyikan, terutama Masrul, yang kembali dijodohkan. Kali ini dengan Muslina, anak seorang kenalan kepala sekolah di Painan.
Perempuan Ideal
Apakah masih relevan untuk membedakan kategori ‘novelis pria’ dan ‘novelis perempuan’ dalam polemik yang hingga kini masih berlangsung? Adakah perbedaan perspektif penulis yang signifikan terkait gender?
Meski berfokus pada tokoh pria dan mengikuti norma roman yang lazim, novel Kalau Tak Untung tetap menyuarakan kesetaraan gender melalui karakter Rasmani, seorang guru berpendidikan.
Kendati orang tua Rasmani tergolong toleran dan realistis, mereka tetap terikat oleh tuntutan tradisi. Akibatnya, baik Rasmani yang baru berusia 17 tahun maupun Masrul yang dianggap sudah terlalu tua pada usia 22 tahun, tetap dituntut untuk segera menikah.
Sekilas, plot Kalau Tak Untung tampak generik dengan kisah cinta sepasang kekasih yang terhalang perbedaan kelas. Namun, novel terbitan Balai Pustaka ini menawarkan eksplorasi lebih dalam tentang konflik antara tradisi dan modernitas, seperti yang diungkapkan Masrul kepada orang tua Rasmani.
Sekilas, plot Kalau Tak Untung tampak generik dengan kisah cinta sepasang kekasih yang terhalang perbedaan kelas.
“Banyak teladan yang baik yang saya dapat dari Mamak dan dari Etek. Barangkali lebih banyak saya dapat pengajaran di rumah ini dari di rumah ibu bapak saya sendiri; karena pikiran mereka kuno, sedang pikiran Emak dan Etek banyak yang menurut zaman sekarang, sesuai dengan pikiran kami yang muda-muda.”
Kemungkinan besar, Sariamin menuangkan pengalaman hidupnya ke dalam alur cerita Kalau Tak Untung yang terinspirasi dari kegagalan kisah cintanya dengan seorang lelaki yang kemudian menikahi wanita lain. Meskipun demikian, di balik kesedihan roman, Sariamin juga menyisipkan kompleksitas realita tradisi dan ekspektasi gender. Ironisnya, salah satu alur cerita bahkan menyentuh isu poligami—suatu hal yang sangat ia tentang.
Tokoh Rasmani sendiri dianggap sebagai anomali. Sebagai gadis yang rajin belajar dan berwawasan luas, ia memiliki cita-cita mulia untuk menjadi seorang guru. Sayangnya, keinginannya seringkali diremehkan oleh orang tuanya yang berpikiran kolot, yang masih percaya bahwa perempuan hanya ditakdirkan untuk menjadi makhluk sosial yang berbakti kepada rumah tangga.
“Bagi kita di kampung ini bukan yang pandai menulis membaca saja, dikatakan masak ajar dan disukai orang melainkan anak yang pandai ke sawah dan ke ladang, sigap mengerjakan tumbuk dan tanak, tahu bekerja dalam rumah, tahu di basa-basi cara kampung, tahu membawakan diri secara anak perempuan, disebut masak ajar juga.”
Justru, karakteristik itulah yang memikat hati Masrul. Kendati tampilan fisik Rasmani tak pernah digambarkan secara detail, kecerdasannya menjadi daya tarik utamanya. “Kebersihan hatinya membayang pada mukanya yang sederhana itu… Ketajaman otaknya memberi sinar yang berkilat-kilat dan bercahaya-cahaya pada matanya.”
Kendati tampilan fisik Rasmani tak pernah digambarkan secara detail, kecerdasannya menjadi daya tarik utamanya.
Penggambaran Aminah dan Muslina, dua tokoh perempuan lainnya, tidak sekuat Rasmani. Kehadiran mereka lebih berfungsi sebagai perbandingan untuk melihat pandangan masyarakat tentang perempuan idaman bagi seorang lelaki, khususnya dalam konteks keluarga.
“Si Aminah tak kecil lagi, umurnya telah empat belas tahun, lagi pula ia berpaham, tak lonjak kemari lompat ke sana, sebagai anak sekolah, seperti Rasmani adikmu itu,” kata ibunya. Sementara tentang Muslina, Mamaknya (paman) berujar, “Tentang pikiran Muslina tak perlu ditanya, ia biasa menurut saja, sekarang ia tentu menurut juga.”
Fakta bahwa perjodohan sering dimulai pada usia belasan tahun merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Namun, itulah kenyataan yang terjadi pada masa itu.
Cerita Sarat Peribahasa
Di balik kompleksitas cerita dan karakternya, novel Kalau Tak Untung secara keseluruhan ingin menyampaikan pesan moral tentang kebaikan dan budi pekerti. Gaya berceritanya yang indah dan kaya akan peribahasa seperti pepatah dan perumpamaan menjadi ciri khas karya ini.
“Maukah ia menumpang biduk menanti karam? Gaji saya yang sedikit itu adalah seperti anak air di tengah padang, yang mudah benar keringnya kalau datang musim panas yang sedikit saja. Seperti bunga yang akan layu ditimpa panas,” ujar Masrul, mengungkapkan kekhawatirannya karena tak mampu memberikan kehidupan yang layak bagi jodohnya yang terbiasa hidup nyaman.
Melalui hiasan kata-katanya, Sariamin mengajak pembaca agar menerapkan sikap yang rendah hati, peka akan rasa, teguh pada prinsip, hormat pada sesama, dan senantiasa berpihak pada kebenaran. Seperti diungkap oleh ayah Masrul, “Tanam budi pembeli budi, tanam kasih peminta kasih. Berjalanlah selalu atas kebenaran. Jangan dipakai angkuh dan pongah. Ingatlah akan ilmu padi, kian berisi kian runduk.”
Melalui hiasan kata-katanya, Sariamin mengajak pembaca agar menerapkan sikap yang rendah hati, peka akan rasa, teguh pada prinsip, hormat pada sesama, dan senantiasa berpihak pada kebenaran.
Tentu saja, Sariamin Ismail patut diapresiasi sebagai novelis perempuan pionir di Indonesia. Pada masa di mana penulis perempuan masih langka, ia telah berkontribusi signifikan dalam dunia sastra. Sebelum menjadi penulis penuh waktu, Sariamin Ismail bekerja sebagai guru dan aktif menulis untuk berbagai media, termasuk majalah sastra terkemuka seperti Poedjangga Baroe.
Aktif dalam berbagai organisasi politik, ia lantang menyuarakan isu-isu perempuan pada masanya, termasuk praktik poligami. Untuk menghindari penangkapan akibat mengangkat tema-tema politis, ia menulis cerita dan novel dengan nama samaran Selasih atau Selaguri. Bahkan, Sariamin pernah ditahan selama dua tahun akibat keterlibatan suaminya dalam gerakan perjuangan.
Selain Kalau Tak Untung, Sariamin hanya menulis satu novel lagi, Kembali ke Pangkuan Ayah(1986), setelah selang waktu 53 tahun. Sebelumnya, ia juga produktif menulis antologi puisi dan cerita anak. Pada 2003, Yayasan Lontar mengangkat kisah hidupnya dalam film dokumenter singkat berjudul Namaku Selasih yang disutradarai oleh Jajang C. Noer, sebagai bagian dari seri On The Record: Indonesian Literary Figures.
Saat ini, banyak novelis perempuan seperti Ayu Utami, Dewi Utari, dan Leila Chudori, yang telah menghiasi lanskap sastra Indonesia dengan karya-karya yang bebas dari belenggu tradisi dan tabu. Namun, tanpa disadari, Sariamin bersama novelis-novelis perempuan awal abad ke-19 seperti Fatimah Hassan dan Saadah Alim telah membuka jalan bagi generasi penerus untuk terus menantang norma dan stereotip gender.