Jejak Sejarah Keris dalam Budaya Jawa yang Kaya Makna - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

keris_12001.jpg

Jejak Sejarah Keris dalam Budaya Jawa yang Kaya Makna

Di balik lekukan bilahnya, tersimpan kisah para empu, ritual sakral, dan nilai budaya Jawa yang tak lekang oleh zaman.

Kesenian

Sebagai karya seni olah logam yang khas dari budaya Jawa, senjata pusaka ini telah dikenal di Nusantara sejak abad ke-9 Masehi. Seiring waktu, bentuk dan fungsinya terus mengalami perkembangan. Penyebarannya pun meluas, tidak hanya di wilayah barat dan tengah Indonesia, tetapi juga hingga Malaysia, Thailand Selatan, dan Filipina.

Kehadiran benda ini dalam khazanah budaya Nusantara diyakini dipengaruhi oleh peradaban Tionghoa dan India. Dari sisi bentuk, ia dianggap sebagai hasil pengembangan morfologi belati peninggalan kebudayaan Dongson di Vietnam Selatan. Sementara itu, praktik penghormatan terhadap logam, yang berasal dari tradisi India kuno, ikut membentuk pandangan bahwa pusaka ini tak sekadar senjata, tetapi juga memiliki kekuatan simbolis dan magis.

Kehadiran benda ini dalam khazanah budaya Nusantara diyakini dipengaruhi oleh peradaban Tionghoa dan India.

Sebelum era Kerajaan Kediri dan Singasari, bentuknya dikenal dengan sebutan keris buda atau keris sombro. Ciri khasnya adalah bilah yang melebar, tampilan yang masih sederhana, serta belum memiliki kelokan (luk). Memasuki masa kerajaan-kerajaan besar seperti Kediri dan Singasari, bentuknya berkembang pesat secara estetis. Lekukan mulai muncul, ornamen-ornamen khas (ricikan) ditambahkan, serta pola pamor mulai menghiasi permukaan bilah, menandai transisi menuju bentuk yang lebih modern.

Pembuatan bilah keris modern umumnya melibatkan perpaduan dua jenis logam, seperti besi, baja, dan pamor—yang bisa berupa nikel atau bahkan batu meteorit. Penyatuan bahan-bahan ini dilakukan melalui proses tempa dan pelipatan berulang kali pada suhu tinggi, biasanya di atas 1.000 derajat Celsius, hingga tercapai struktur logam yang kuat dan estetis.

Keindahan bilah ditentukan dari seberapa banyak proses pelipatan yang dilakukan, atau disebut saton.

Keindahan bilah ditentukan dari seberapa banyak proses pelipatan yang dilakukan, atau disebut saton. Semakin tinggi jumlah pelipatan, semakin halus dan rumit corak pamor yang muncul di permukaan. Setelah melalui tahap ini, batangan logam yang telah menjadi aloi dipotong seukuran, lalu disisipkan sebatang baja di tengahnya. Ketiga lapisan tersebut kembali ditempa hingga membentuk bilah mentah.

Bilah tersebut kemudian dikikir untuk membentuk siluet akhir dan direndam dalam larutan arsenik atau warangan guna menguatkan kontras pamor. Di sinilah ornamen ukir atau ricikan mulai ditambahkan sebagai penanda artistik sekaligus makna simbolik. Setelah bentuknya rampung, dilengkapi dengan gagang (gaman) dan sarung kayu (warangka), barulah pusaka ini dianggap lengkap. Perawatan rutin dengan minyak pewangi dan warangan menjadi bagian penting dalam menjaga kilau dan nilai estetikanya dari waktu ke waktu.

Informasi Selengkapnya
  • Ardee

  • Indonesia Kaya