“Genuine poetry can communicate before it is understood,” sebuah kutipan dari T.S. Eliot yang terasa hakiki soal karya sastra puisi. Maksudnya, penghayatan suatu puisi yang baik bisa hadir lebih dulu sebelum dipahami artinya. Begitu juga rasanya saat membaca karya pujangga Sapardi Djoko Damono lewat setiap kata yang disusunnya menjadi bait puisi dalam Hujan Bulan Juni.
Sapardi Djoko Damono adalah salah satu “warisan” sastra Tanah Air. Tulisannya abadi, terekam dalam memori pembacanya, bahkan mereka yang tak memiliki minat akan puisi sebelumnya. Namun disitulah kekuatan Sapardi, rangkaian puisinya tenar berkat gaya penulisan sederhana tapi bermakna kompleks dan sarat ambiguitas. Membuat karyanya menarik untuk dibedah.
Penulis kelahiran Surakarta ini telah giat menulis sejak tahun 60-an, membukukan sejumlah karya puisinya dalam setidaknya 18 buku termasuk di antaranya Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1984), dan Hujan Bulan Juni (1994). Tak sampai di situ, profesor di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini juga menulis beberapa judul buku fiksi dan non-fiksi, serta mengartikan beberapa judul karya sastra terkenal dunia ke dalam Bahasa Indonesia.
Hujan Bulan Juni sendiri mewadahi 102 karya tulis Sapardi—puisi, sajak, cerpen—yang ia tulis dari tahun 1964 hingga 1994 dan bisa dikatakan sebagai kompilasi syairnya yang paling populer. Judulnya sendiri diambil dari puisi yang ia tulis tahun 1989 dengan titel sama.
Hujan Bulan Juni pertama kali diterbitkan Grasindo tahun 1994 berupa buku kumpulan puisi, kemudian diterbitkan lagi tahun 2015 oleh Gramedia Pustaka Utama sebagai bagian pertama dari novel trilogi yang menafsirkan puisi-puisinya. Kedua lanjutan trilogi ini berjudul Pingkan Melipat Jarak (2017) dan Yang Fana Adalah Waktu (2018).
Berawal dari Memperhatikan Cuaca
Seperti diutarakan dalam berbagai wawancara, Sapardi mengungkap alasan di balik judul Hujan Bulan Juni. Cerita ini dilatari oleh keheranannya menyaksikan guyuran hujan saat mengunjungi kota Jakarta. Pasalnya, di Yogyakarta dan Solo—dua kota di mana ia bermukim dan bekerja saat itu—bulan Juni identik dengan musim kemarau dengan hawa panas yang mendekap. Anomali cuaca tersebut yang menjadi inspirasi sang puisi tenar. Meskipun penggalian makna tiap larik dapat menyingkap sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perubahan iklim yang tak bisa ditebak.
Cerita ini dilatari oleh keheranannya menyaksikan guyuran hujan saat mengunjungi kota Jakarta.
Hujan Bulan Juni, 1989
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Menginterpretasikan tiap bait puisi Hujan Bulan Juni tentu akan berbeda-beda bagi tiap pembaca, terkadang bergantung pada kedewasaan emosi serta bentang pengalaman. Namun secara garis besar dapat dipahami kalau puisi itu bercerita tentang cinta yang tak terungkap. Tentang rintik rindu yang dirahasiakan kepada pohon dan bunga, tentang terhapusnya jejak-jejak cinta yang ragu-ragu, dan tentang yang tak terucapkan tapi bisa dirasakan.
Tak dimungkiri ada yang menyejukkan saat membaca puisi Hujan Bulan Juni. Perpaduan elemen alam dengan rangkaian kata puitis nan romantis yang sederhana dan tak terasa gombal sama sekali. Dan di situlah memang kekuatan Sapardi Djoko Damono, ia menyampaikan sesuatu yang bermakna intens melalui kata-kata ringan bak kapas. Kekhasan yang telah membuat kata-katanya kerap terkutip dalam janji pernikahan, seperti rangkaian kata dalam puisi Aku Ingin.
Di situlah memang kekuatan Sapardi Djoko Damono, ia menyampaikan sesuatu yang bermakna intens melalui kata-kata ringan bak kapas.
Aku ingin, 1989
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
Aku Ingin merupakan salah satu puisi paling dikenal dari buku Hujan Bulan Juni berkat keringkasan dalam menyampaikan, lagi-lagi, cinta yang tak terucap yang tampaknya kerap jadi leitmotif (motif utama)—-puisi Sapardi. Namun Aku Ingin sedikit berbeda dari puisi Hujan Bulan Juni lantaran jadi pengakuan cinta yang tak kuasa dibendung lagi.
Aku Ingin merupakan salah satu puisi paling dikenal dari buku Hujan Bulan Juni berkat keringkasan dalam menyampaikan, lagi-lagi, cinta yang tak terucap yang tampaknya kerap jadi leitmotif (motif utama)—-puisi Sapardi.
Satu lagi karya yang mencuat dari buku Hujan Bulan Juni adalah puisi Pada Suatu Hari Nanti.
Pada Suatu Hari Nanti, 1991
Pada Suatu Hari Nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari
Kali ini ada kegelapan yang tersirat dari karya Sapardi. Sajak Pada Suatu Hari Nanti lebih eksistensial, sadar akan keterbatasan hidup, tapi optimistis akan kelanggengan kenangan melalui karya, apapun itu bentuknya. Tema tersebut Sapardi juga pernah eksplor sebelumnya dalam puisi pendek Yang Fana Adalah Waktu (1978) yang juga jadi bagian dalam buku Hujan Bulan Juni.
Yang Fana Adalah Waktu, 1978
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Dari Puisi ke Film dan Musik
Kumpulan puisi dan sajak yang terangkum dalam buku Hujan Bulan Juni memang bisa dibilang masterpiece Sapardi Djoko Damono, dan hebatnya kumpulan puisi tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jepang, Arab, Rusia, dan Mandarin.
Kumpulan puisi dan sajak yang terangkum dalam buku Hujan Bulan Juni memang bisa dibilang masterpiece Sapardi Djoko Damono.
Melalui perjalanannya, Hujan Bulan Juni—dan pengarangnya—telah mengoleksi banyak pengikut dan apresiasi. Penghargaan terakhir yang diperoleh Sapardi adalah Anugerah Buku Asean 2018 kategori Anugerah Kompilasi Buku Terbaik untuk Hujan Bulan Juni yang diselenggarakan Kuala Lumpur International Book Fair.
Walau begitu tentu tak hanya Hujan Bulan Juni yang jadi testimoni akan keunggulan Sapardi sebagai penulis puisi karena masih banyak buku-buku kumpulan puisinya yang wajib baca seperti Perahu Kertas dan Akuarium. Bagi pembaca yang ingin lebih memahami soal karya seni puisi, Sapardi juga pernah mengarang buku mengenai topik tersebut, yaitu Bilang Begini, Maksudnya Begitu dan Alih Wahana, yang bisa jadi companion piece sempurna seiring pembaca meresapi karya-karya puisi dan sajak Sapardi.
Di tahun 2017, sutradara Reni Nurcahyo Hestu Saputra dan penulis naskah Titien Wattimena mengambil kisah Sarwono dan Pingkan dari novel Hujan Bulan Juni untuk digarap menjadi film. Kemudian film dengan judul sama rilis pada 2017 dengan merangkul Adipati Dolken sebagai Sarwono dan Velove Vexia sebagai Pingkan. Pada beberapa adegan film itu seluruh bait puisi bahkan diintegrasikan ke dalam dialog word-for-word. Dan untuk menjadikannya semakin autentik, Sapardi ikut digandeng sebagai pemeran ayah Sarwono.
Namun tak hanya film, Hujan Bulan Juni sebetulnya sudah sering diadaptasi jadi bentuk karya seni lainnya. Yang paling dikenal adalah versi rekam-nyanyi Ari Malibu dan Reda Gaudiamo alias Ari Reda. Pada 1987, duo folk singer itu diajak oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk terlibat dalam proyek ambisius yang memiliki misi mengapresiasi puisi lewat wujud lagu sehingga bisa lebih dimengerti khalayak luas. Maka lahirlah album musikalisasi puisi Hujan Bulan Juni (1990). Dan dalam film Indonesia klasik, Cinta Dalam Sepotong Roti (1991), musikalisasi Aku Ingin jadi soundtrack yang dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Sapardi Djoko Damono berpulang di usia 80 tahun, tepatnya di tanggal 19 Juli 2020. Namun berkat kesederhanaan yang memicu penghayatan dalam setiap bait karyanya, seorang Sapardi Djoko Damono pun menjadi abadi.
Baca juga: Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Buku Karya Hamka