Saat berkunjung ke Dataran Tinggi Dieng, terutama di dekat kompleks percandian, Anda akan melihat lubang-lubang besar yang berjajar. Ukuran diameter lubang-lubang ini tidak sama satu dengan yang lain. Ada yang hanya 1-2 meter tapi ada yang hampir 5 meter. Masyarakat sekitar menyebut lubang-lubang ini Gangsiran Aswotomo.
Secara etimologi, “gangsiran” berasal dari kata “gangsir” yang berarti galian. Sementara, Aswotomo merupakan nama salah seorang tokoh dalam epos Mahabarata – diberikan seperti halnya pada candi-candi yang ada di kawasan ini.
Gangsiran Aswotomo diperkirakan dibangun bersamaan dengan pembangunan candi-candi yang ada di Dataran Tinggi Dieng, sekitar abad 8 Masehi. Sejak awal, Gangsiran Aswotomo diperkirakan berfungsi sebagai saluran air.
Sebelum dibangun kompleks candi, Dataran Tinggi Dieng merupakan kawasan yang tanahnya mengandung begitu banyak air – menyerupai kawasan rawa. Dibuatnya saluran air ini agar diperoleh lahan yang layak untuk mendirikan bangunan.
Di kawasan Dataran Tinggi Dieng, ditemukan 44 buah Gangsiran Aswotomo yang saling terhubung. Dengan kompleks candi sebagai pusat, Gangsiran Aswotomo tersebut tersusun berderet mengarah ke selatan dan utara.
Hanya beberapa saluran yang dirawat dengan baik. Dibuatkan pagar dan diberi atap serta keterangan yang menunjukkan saluran ini merupakan peninggalan kebudayaan dari generasi terdahulu dan dilindungi sebagai cagar budaya. Sementara, sebagian besar yang lain terkesan dibiarkan begitu saja. Keberadaannya dapat ditemukan di antara ladang pertanian milik warga atau bahkan pemukiman.
Terdapatnya situs ini menjadi bukti bahwa di masa lalu masyarakat nusantara sudah memiliki pengetahuan yang maju. Ilmu pengetahuan berkembang dan meninggalkan situs-situs yang sangat berharga. Akan sangat disayangkan jika peninggalan-peninggalan berharga tersebut tidak dipelihara, dibiarkan, bahkan dirusak karena ketidaktahuan.