Saat musim kemarau panjang, tak ada yang lebih menyegarkan selain menikmati hidangan dingin. Jika yang dicari bukan sekadar minuman, tetapi juga kudapan yang segar sekaligus mengenyangkan, es pisang ijo adalah pilihan yang tepat. Rasa manisnya yang lembut berpadu dengan tekstur kenyal dan dingin, membuatnya nikmat disantap kapan saja.
Es pisang ijo merupakan kudapan khas Makassar, Sulawesi Selatan. Hidangan ini menggunakan pisang matang—seperti pisang raja, ambon, atau kepok—yang dibalut adonan tepung beras, santan, dan air daun pandan. Adonan inilah yang memberikan warna hijau cerah serta aroma pandan yang khas.
Sebagai pelengkap, es pisang ijo biasanya disajikan bersama tepung terigu rebus yang kenyal atau bubur sum-sum, lalu disiram dengan sirup merah khas Makassar dan lelehan susu kental manis. Setumpuk es serut atau bongkahan kecil es batu menambah kesegaran dalam setiap suapan.
Meski tampilannya sederhana, es pisang ijo menawarkan perpaduan rasa dan tekstur yang menjadikannya pelepas dahaga yang memuaskan.
Hidangan ini umumnya disajikan di mangkuk atau piring ceper, sering kali ditemani camilan ringan seperti jalangkote (mirip pastel) dan lumpia. Meski tampilannya sederhana, es pisang ijo menawarkan perpaduan rasa dan tekstur yang menjadikannya pelepas dahaga yang memuaskan.
Membuat es pisang ijo sebenarnya tidaklah sulit. Bahan-bahannya pun mudah ditemukan di warung-warung sekitar rumah. Namun, yang justru sulit adalah melacak jejak sejarah dan nilai filosofis dari kudapan ini. Catatan lengkap mengenai asal-usulnya nyaris tak ditemukan dalam naskah maupun lontara kuno Sulawesi Selatan. Yang terekam hanyalah penyebutan tentang pisang, yang muncul beberapa kali dalam sumber-sumber sejarah tradisional.
Meski asal mula es pisang ijo masih samar, kisahnya bisa ditelusuri melalui tiap bahan yang menyusunnya. Sebab, dalam setiap sendok es pisang ijo, tersimpan cerita yang saling terhubung. Tidak ada makanan yang hadir tanpa jejak sejarah—begitu pula dengan es pisang ijo.
Asal-usul Pisang Nusantara
Pisang sebagai bahan utamanya menyimpan kisah panjang. Dalam buku Pisang: Budi Daya, Pengolahan, dan Prospek Pasar karya Suyanti dan Ahmad Supriyadi, disebutkan bahwa tanaman pisang telah ada sejak awal peradaban manusia. Namun, pada masa itu, pisang masih berupa tanaman liar yang belum dibudidayakan. Pembudidayaan baru dilakukan seiring berkembangnya kebudayaan pertanian yang menetap.
“Di kalangan masyarakat Asia Tenggara, diduga pisang telah lama dimanfaatkan, terutama tunas dan pelepahnya yang diolah sebagai sayur. Saat ini, bagian-bagian lain dari tanaman pisang pun juga telah dimanfaatkan,” tulis Suyanti dan Supriyadi.
Tanaman pisang telah ada sejak awal peradaban manusia.
Asia Tenggara dikenal sebagai wilayah asal tanaman pisang. Tak mengherankan jika Indonesia menjadi salah satu negara produsen pisang terbesar di dunia. Di Pulau Jawa, daerah dengan produksi tertinggi mencakup Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sementara itu, di luar Jawa, Sulawesi Selatan menempati posisi teratas sebagai penghasil pisang terbanyak—sebagaimana dicatat oleh Suyanti dan Supriyadi.
Pisang tidak hanya dikonsumsi secara langsung, tetapi juga diolah menjadi beragam sajian kuliner, termasuk es pisang ijo yang populer di Makassar. Namun, muncul pertanyaan menarik: bagaimana es—bahan utama lain dalam hidangan ini—masuk dan mulai dikonsumsi di Nusantara?
Dari Boston ke Batavia
Petunjuk awal mengenai konsumsi es di wilayah ini dapat ditemukan dalam catatan seorang penjelajah Prancis bernama Delmas yang mengunjungi Batavia pada tahun 1895. Dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya 2: Jaringan Asia, sejarawan Denys Lombard mencatat bahwa Delmas pernah mencicipi “segelas besar sidre-syampane, minuman lezat yang dibuat dari buah-buahan setempat, es, dan soda.”
Pada masa itu, es merupakan simbol kemewahan bagi keluarga-keluarga kaya di Batavia. Harganya mahal karena harus diimpor dari negara-negara jauh seperti Boston, Amerika Serikat. Baru setelah berdirinya pabrik-pabrik es milik pengusaha Eropa di berbagai kota di Pulau Jawa, es mulai tersedia secara lokal dan lebih luas dikonsumsi.
Es merupakan simbol kemewahan bagi keluarga-keluarga kaya di Batavia
Masyarakat Tionghoa juga berperan penting dalam penyebaran produksi es di Hindia Belanda. Salah satu tokohnya, Kwa Wan Hong dari Semarang, tercatat mengembangkan tiga pabrik es di Semarang, Tegal, dan Pekalongan pada dekade 1910-an—sebagaimana ditulis Sam Setyutama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.
Masuknya es ke Makassar kemungkinan besar berkaitan dengan jejaring perdagangan antara Makassar dan Jawa yang telah terjalin sejak abad ke-17. Hubungan ini semakin intensif pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ketika pemerintah kolonial Belanda menetapkan Makassar sebagai pelabuhan bebas.
Pada periode tersebut, Maskapai Pelayaran Kerajaan Belanda (KPM) memegang kendali penuh atas jalur perdagangan antarpelabuhan, termasuk Makassar. Armada KPM yang kuat memungkinkan ekspor dan impor antara Makassar dan pelabuhan-pelabuhan utama lain di Nusantara berlangsung lancar dan masif.
Masuknya es ke Makassar kemungkinan besar berkaitan dengan jejaring perdagangan antara Makassar dan Jawa yang telah terjalin sejak abad ke-17.
“Yang mengakibatkan impor dan ekspor meningkat dalam hubungan perdagangan Makassar-Jawa,” catat Nahdia Nur, Bambang Purwanto, dan Djoko Suryo dalam “Perdagangan dan Ekonomi di Sulawesi Selatan pada Tahun 1900-an sampai dengan 1930-an” termuat di Jurnal Ilmu Budaya, Juni 2016.
Kehadiran es di Makassar kemungkinan besar turut memengaruhi cara masyarakat setempat mengolah makanan berbahan dasar pisang. Menurut Taufik, seorang penjual es pisang ijo asli Makassar, kudapan ini dulunya belum sepopuler atau seenak sekarang.
Kehadiran es dalam budaya konsumsi harian di Makassar kemungkinan besar mendorong inovasi pada bahan pelengkap es pisang ijo—khususnya pada bagian kuah. “Dulu kuahnya dari tepung beras dan santan, kurang enak di lidah karena rasanya hambar. Sekarang sudah enak karena diganti tepung maizena dan ditambahkan sirup,” kata Taufik dikutip diamma.com, majalah kampus Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Jakarta.
Lebih dari Sekadar Kudapan
Kedekatan masyarakat Makassar dengan pisang sebenarnya bukan hal baru. Hal ini tercermin dari banyaknya penyebutan pisang dalam lontarak, naskah-naskah kuno, serta cerita lisan yang diwariskan turun-temurun. Pisang bukan hanya dianggap sebagai sumber pangan, tetapi juga hadir dalam peribahasa lokal dan nilai-nilai budaya.
Salah satunya adalah konsep ilmu ta’bang untia atau ilmu panjang umur. Dalam budaya setempat, kehidupan yang terus memberi meski menghadapi keterbatasan diibaratkan seperti pohon pisang. “Walaupun telah dipotong, pohon pisang akan tumbuh terus hingga berbuah,” demikian dicatat tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Ceritera Rakyat Daerah Sulawesi Selatan.
Dalam budaya setempat, kehidupan yang terus memberi meski menghadapi keterbatasan diibaratkan seperti pohon pisang.
Dari potongan-potongan sejarah dan budaya ini, kita bisa melihat bagaimana es pisang ijo menyatu dengan identitas kuliner dan kearifan lokal Makassar. Tak hanya soal rasa, tapi juga tentang warisan.
Kini, es pisang ijo dapat ditemukan di berbagai penjuru kota Makassar. Beberapa tempat yang dikenal dengan sajian khas ini antara lain Warung Bravo, Kios La Galigo, Rumah Makan Muda Mudi, dan Warung Raja Pisang Ijo. Popularitasnya pun meluas ke berbagai kota di Indonesia—mulai dari warung kaki lima hingga restoran mewah dan hotel berbintang.