Kekayaan Indonesia akan objek wisata indah sering kali diiringi cerita legendaris di baliknya. Layaknya provinsi lain di Indonesia, Gorontalo pun menyimpan banyak cerita rakyat di balik objek wisatanya. Salah satunya adalah cerita di balik batu besar di pesisir Pantai Pohe, Kecamatan Hulonthalangi.
Konon, seorang pemuda bernama Lahilote dilanda kesedihan mendalam setelah ditinggal sang istri yang kembali ke Kayangan. Berbagai usaha dilakukannya untuk membawa sang istri kembali ke Bumi, namun usahanya berakhir tragis. Kisah pilu ini pun terpatri abadi pada batu besar yang dikenal sebagai Botu Liodu Lei Lahilote.
Kisah pilu ini pun terpatri abadi pada batu besar yang dikenal sebagai Botu Liodu Lei Lahilote.
Siapakah gerangan Lahilote dan kisah apa yang tersembunyi di balik batu tersebut?
Kejutan Indah saat Berburu
Pada zaman dahulu di tanah U Duluo lo’u Limo lo Pohite, Gorontalo, hiduplah seorang pemuda bernama Piilu de Lahilote. Akrab dipanggil Lahilote oleh warga sekitar, sang pemuda memiliki paras tampan dan perawakan gagah. Ia hidup sebatang kara di sebuah rumah kecil dan terbiasa bekerja keras untuk bertahan hidup, dengan cara mengembara ke hutan dan berburu hewan liar.
Suatu hari saat sedang menyusuri hutan, Lahilote kelelahan dan duduk beristirahat di pinggir sebuah telaga. Sayup-sayup, ia mendengar suara tawa sejumlah wanita. Dengan hati-hati, ia menghampiri sumber suara tersebut dan mengintip dari sebuah pohon besar. Ia terkejut ketika melihat tujuh gadis sedang bersenda gurau selagi mandi di telaga.
Dari kejauhan, Lahilote mengamati gerakan mereka. Awalnya, ia mengira ketujuh gadis itu adalah penduduk Bumi. Namun, saat melihat tumpukan selendang bersayap di tepi telaga, ia baru menyadari bahwa mereka adalah para Putri Io Owabu, atau Putri Kayangan dalam bahasa Gorontalo.
Terpesona akan kecantikan mereka, ia bertekad untuk memperistri salah satu dari tujuh gadis tersebut. Setelah lama hidup sebatang kara, Lahilote merasa bahwa seorang istri akan melengkapi hidupnya.
Terpesona akan kecantikan mereka, ia bertekad untuk memperistri salah satu dari tujuh gadis tersebut.
Tiba-tiba, timbul niat jahat dalam benak Lahilote. Ia mengambil selendang milik salah satu gadis dan memasukkannya ke dalam bambu yang dibawanya. Kemudian, ia bergegas pulang dan menyembunyikan bambu berisi selendang tersebut di antara periuk-periuk berisi padi.
Fajar mulai menyingsing, para bidadari bersiap untuk kembali ke Kayangan. Namun, bidadari termuda, Boilode Hulawa, panik bukan kepalang saat menyadari selendang yang ia tanggalkan tidak dapat ditemukan. Tanpa selendang itu, ia tak dapat terbang kembali ke Kayangan. Boilode terus mencari selendangnya yang hilang, sementara keenam saudari perempuannya yang lain sudah berangkat ke Kayangan.
Kembalinya Selendang Bersayap
Agar tak menimbulkan kecurigaan, Lahilote kembali ke tepi telaga dan berpura-pura menawarkan bantuan kepada Boilode yang sedang menangis tersedu-sedu. Lahilote pun mengajak Boilode untuk berdiam di rumahnya sambil terus mencari selendang yang hilang. Merasa tak punya pilihan, Boilode menerima tawaran tersebut.
Seiring waktu, Lahilote semakin jatuh cinta kepada Boilode dan memutuskan untuk menikahinya. Karena tidak yakin akan nasibnya, Boilode menerima ajakan Lahilote. Selama tinggal di Bumi, Boilode menghabiskan waktunya dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti menumbuk padi dan memasak nasi, layaknya manusia Bumi pada umumnya.
Satu tahun berlalu, Boilode mulai merasa jenuh dengan pekerjaan rumah tangga yang dilakukannya. Meski ia tahu bahwa pekerjaan rumah tangganya itu dapat meringankan beban sang suami yang sibuk mencari kayu dan berburu hewan untuk bahan pangan, Boilode tetap saja merasa jenuh.
Suatu hari, Boilode tergerak untuk menggunakan kesaktian yang telah lama ia sembunyikan. Alih-alih memasak berbutir-butir beras, ia hanya menanak satu butir saja. Dengan kesaktiannya, Boilode dapat mengubah sebutir beras menjadi satu piring nasi yang disajikan setiap makan malam. Hal ini memungkinkannya untuk menghemat tenaga dan waktu.
Dengan kesaktiannya, Boilode dapat mengubah sebutir beras menjadi satu piring nasi yang disajikan setiap makan malam.
Awalnya, Lahilote tidak curiga dan merasa bersyukur karena kebutuhan makan mereka berdua selalu terpenuhi dengan baik. Namun, setelah setahun berlalu, ia heran mengapa persediaan lumbung padinya masih penuh. Bukankah selama ini mereka cukup banyak makan?
Ia juga tak pernah sekalipun melihat Boilode menumbuk padi menjadi beras sebagaimana mestinya. Jika Boilode benar-benar menumbuk padi menjadi nasi, bukankah seharusnya terdapat dedak sisa tumbukan padi tersebut? Terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan ini, Lahilote mulai mengawasi gerak-gerik sang istri. Hingga akhirnya ia mengetahui apa yang benar-benar terjadi.
Ketika Boilode pergi ke sumur untuk mandi, ia membuka tutup periuk dan menemukan istrinya hanya memasak sebutir beras. Lahilote pun mendapati bahwa padi yang telah susah payah ia tanam selama ini masih penuh di lumbung. Merasa kerja kerasnya sia-sia, ia menegur Boilode saat kembali ke rumah.
Akhirnya, Boilode mengakui kesaktiannya dan berjanji untuk memasak nasi dari lumbung-lumbung padi di rumahnya. Namun, karena telah mengumbar rahasianya, kesaktian Boilode lenyap seketika.
Boilode pun menangis karena merasa semakin hilang harapan untuk kembali ke Kayangan bersama saudari-saudarinya. Meski demikian, dia tetap patuh pada perintah sang suami dan menggunakan seluruh isi lumbung padi untuk dimasak. Lama kelamaan, persediaan padi semakin menipis.
Ketika mengambil sisa padi terakhir untuk ditumbuk, Boilode melihat sebatang bambu di dalam periuk. Ia pun membuka bambu itu dan menemukan selendang bersayap yang selama ini ia cari. Boilode akhirnya menyadari bahwa suaminyalah yang menyembunyikan sayap tersebut agar ia tidak dapat kembali ke Kayangan. Sayangnya, karena telah tersimpan lama, selendang bersayap itu telah robek di beberapa bagian. Namun, Boilode yakin bahwa sayap tersebut masih dapat berfungsi dengan baik.
Ia pun membuka bambu itu dan menemukan selendang bersayap yang selama ini ia cari.
Keesokan harinya, Boilode berpura-pura mual dan mengaku hamil kepada suaminya. Ia memohon pada suaminya untuk mencarikan ikan laut yang ia idamkan saat itu juga. Begitu gembira mendengar kabar ini, Lahilote menuruti permintaan sang istri. Tanpa curiga sedikit pun, ia segera pergi ke laut untuk memancing.
Ketika sang suami pergi, Boilode langsung menjalankan rencananya. Ia menjahit selendangnya yang terkoyak hingga kembali ke kondisi semula. Tanpa menanti kepulangan suaminya dari laut, ia mengenakan selendang bersayap itu dan terbang ke Kayangan.
Sebelum pergi, Boilode berpesan kepada semua perabotan rumah untuk merahasiakan kepergiannya kepada Lahilote. Begitu pula kepada tumbuhan dan rerumputan di pekarangan rumah mereka. Hanya satu pohon, yaitu pohon rotan atau hutia mala, yang tidak ia titipkan pesan.
Konon, hutia mala adalah satu-satunya pohon yang tak dapat dipengaruhi oleh siapa pun. Pohon ini akan selalu berkata jujur sesuai kenyataan kepada setiap orang yang bertanya kepadanya.
Konon, hutia mala adalah satu-satunya pohon yang tak dapat dipengaruhi oleh siapa pun.
Dari kejauhan, Boilode melihat suaminya sedang tertidur di pinggir pantai. Perlahan, ia terbang mendekat dan meludahi suaminya dengan air sirih pinang. Setelahnya, ia melanjutkan perjalanan menuju pintu langit.
Kedatangan di Kayangan
Air liur itu mendarat tepat di dada Lahilote dan membangunkannya seketika. Merasakan kehangatan di dadanya, ia mengendus air itu dan tersadar bahwa itu adalah Iuwa Io pomama. Aroma air itu persis seperti bau yang keluar dari mulut Boilode. Kecurigaannya pun muncul, sehingga ia bergegas pulang ke rumah.
Setibanya di rumah, dia tak mendapati istrinya, juga tabung bambu berisi selendang Boilode. Ia pun sadar bahwa sang istri telah kembali ke Kayangan. Dengan penuh harap, Lahilote menanyai perkakas rumah dan tanaman di sekitarnya tentang keberadaan istrinya. Namun, mereka enggan membocorkan rahasia Boilode. Tanpa lelah, Lahilote menjelajahi hutan untuk mencari sang istri. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan pohon hutia mala.
Kepada pohon itu, dia bertanya ke mana sang istri pergi. Hutia mala memberi tahu Lahilote bahwa Boilode sudah kembali ke Kayangan. Merasa putus asa, Lahilote memohon bantuan kepada hutia mala untuk membawanya pergi ke Kayangan.
Pohon rotan itu mau membantu Lahilote dengan sejumlah persyaratan yang harus dia penuhi. Hutia mala meminta Lahilote untuk bersedia dihempaskan ke negeri Palestina atau Damaskus, ke Timur dan Barat, serta ke empat penjuru alam. Syarat ini harus dipenuhi untuk mencari seekor kucing yang akan menjaga batang hutia mala dari gigitan tikus, serta menyediakan tujuh buah kelapa berkulit keras (bongo pi’ita) sebagai makanannya.
Pohon rotan itu mau membantu Lahilote dengan sejumlah persyaratan yang harus dia penuhi.
Lahilote menerima persyaratan tersebut dan berhasil memenuhinya dengan baik. Ia pun memanjat pohon hutia mala, dan seketika diterbangkan secepat kilat ke seluruh penjuru mata angin menuju Kayangan oleh hutia mala. Ketika mendarat di Kayangan, Lahilote terpaku pada tujuh bidadari di hadapannya. Di matanya, seluruh bidadari tersebut memiliki paras cantik yang serupa. Sulit baginya untuk membedakan keenam bidadari itu dari Boilode Hunawa.
Lahilote pun dilanda rasa lapar yang luar biasa, tapi bingung harus berbuat apa. Akhirnya, ia hanya bisa menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba, seorang lelaki tua menghampirinya dan terheran melihat keberadaan manusia di Kayangan. Lelaki itu memerintahkannya untuk mencari seorang gadis dengan kunang-kunang di antara garis keningnya. Begitulah cara membedakan Boilode Hunawa dari keenam saudarinya.
Setelah memberi nasihat, lelaki itu menghilang tanpa jejak. Mengikuti perkataan lelaki tua itu, Lahilote berhasil menemukan Boilode. Namun, saat bertemu Lahilote, Boilode meronta dan menolak mengakuinya sebagai suami. Lahilote menangis dan memberitahukan Boilode bahwa dia sangat merindukannya.
Boilode masih enggan berbicara dengan Lahilote. Namun, karena Lahilote terus mendesak, Boilode pun memberikan syarat kepada suaminya jika ia masih ingin memperistrinya.
Pertama, ia memerintahkan Lahilote untuk menebang sebatang pohon besar hanya dengan sebuah pisau kecil. Di tengah permintaan yang sulit itu, sekawanan burung pelatuk datang membantu Lahilote dengan menggerogoti batang pohon tersebut hingga tumbang.
Pertama, ia memerintahkan Lahilote untuk menebang sebatang pohon besar hanya dengan sebuah pisau kecil.
Selanjutnya, Boilode menyuruh Lahilote untuk membawa kayu besar itu ke suatu tempat, tanpa meninggalkan sehelai daun pun. Sekali lagi, dengan bantuan hewan-hewan Kayangan, Lahilote berhasil memenuhi persyaratan tersebut.
Akhirnya, Boilode Hunawa menepati janjinya dan kembali menjadi istri Lahilote. Sejak saat itu, mereka hidup di Kayangan dan Lahilote diperlakukan bak seorang pangeran. Namun, kebahagiaan itu tak berumur panjang. Suatu hari, saat Lahilote berbaring di pangkuan Boilode, Boilode menemukan sehelai uban di rambut suaminya.
Sejatinya, tidak ada satu pun penghuni Kayangan yang boleh memiliki uban. Karena, Kayangan melambangkan keabadian dan rambut beruban adalah simbol ketuaan. Keduanya panik, tetapi Boilode berusaha tenang. Lahilote mengusulkan kepada sang istri untuk membakar uban itu agar tidak diketahui oleh para penghuni Kayangan. Namun, Boilode menolak ide tersebut karena bau uban yang dibakar dapat menimbulkan kecurigaan.
Putus asa, Boilode akhirnya berkata kepada suaminya bahwa dia bersedia dibawa kembali ke Bumi jika itu satu-satunya cara agar mereka bisa hidup bersama. Untuk kembali ke Bumi, Boilode bisa terbang menggunakan selendang bersayapnya. Namun, bagaimana dengan Lahilote? Tiba-tiba, dia teringat pohon hutia mala yang dulu membantunya mencapai Kayangan.
Sayangnya, setibanya di pintu langit, Lahilote menemukan hutia mala dalam keadaan yang sudah lapuk terkikis oleh tikus. Kucing yang seharusnya menjaga hutia mala mungkin telah meninggalkan pohonnya karena kehabisan makanan kelapa yang dulu disediakan Lahilote.
Pantang menyerah, Boilode mulai mencabut rambutnya satu per satu untuk mengantarkan Lahilote kembali ke Bumi. Boilode memerintahkan suaminya untuk berpegangan erat pada salah satu ujung rambutnya tanpa henti hingga mereka tiba di Bumi.
Pantang menyerah, Boilode mulai mencabut rambutnya satu per satu untuk mengantarkan Lahilote kembali ke Bumi.
Pada awalnya, cara itu berhasil, tetapi rambut Boilode perlahan habis hingga tak tersisa sehelai pun. Sementara itu, Lahilote masih melayang di antara batas Kayangan dan Bumi, jauh dari tujuannya. Tiba-tiba, cuaca berubah menjadi mendung. Petir dan halilintar bersahutan dan menyambar, pertanda akan turun hujan di Bumi. Angin kencang bertiup, menerjang tubuh Lahilote ke seluruh penjuru. Tak kuasa menahan, pegangan Lahilote pada salah satu ujung rambut Boilode pun terlepas dan ia jatuh dengan keras diterjang angin topan.
Nahas, tubuh Lahilote terbelah dua dalam sekejap. Tubuh kirinya terhempas ke Pulau Boalemo, Gorontalo, sedangkan tubuh kanannya jatuh di Kelurahan Pohe, Hulonthalangi, Gorontalo. Jejak telapak kaki kirinya tertinggal di atas batu yang dipijaknya saat terjatuh. Bekas telapak kaki di batu itu kini dikenal sebagai Botu Liodu Lei Lahilote.
Moral Cerita
Dari kisah Lahilote dan Putri Kayangan, kita dapat memetik pelajaran berharga bahwa mimpi, setinggi apa pun, tidak dapat diraih dengan kecurangan dan tipu daya. Seperti Lahilote yang berusaha merebut hati sang putri dengan mencuri selendangnya, kelicikan pada akhirnya akan terbongkar. Impian mungkin saja terwujud melalui cara licik, namun konsekuensi pahit akan mengikutinya. Capailah mimpi dengan cara yang bijaksana dan tetaplah berada di jalan yang benar. Dengan langkah yang terhormat, niscaya segala mimpi akan tercapai karena kerja keras dan ketulusan tidak pernah mengkhianati hasil.