Cerita rakyat Aceh: Atu Belah Atu Bertangkup. Aceh adalah salah satu provinsi yang berada di ujung barat dari Pulau Sumatra, Indonesia. Selain memiliki keindahan alam yang memukau, daerah yang dijuluki Serambi Makkah ini memiliki budaya yang kental dan warisan sejarah yang tak sedikit. Salah satu objek wisata yang cukup terkenal di Aceh selain Masjid Raya Baiturrahman adalah Atu Belah.
Dalam Bahasa Indonesia, Atu Belah berarti batu terbelah. Destinasi yang menyimpan legenda secara turun-temurun ini terletak di Takengon, Aceh Selatan.
Dalam Bahasa Indonesia, Atu Belah berarti batu terbelah.
Legenda Atu Belah Atu Bertangkup sendiri bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga miskin yang terdiri atas seorang ayah, ibu, dan dua anak laki-laki. Dalam keadaan seperti itu, mereka mengalami pertengkaran lantaran kelalaian salah seorang anak yang menyebabkan hilangnya sang ibu.
Sang ayah diketahui memiliki sifat keras, yang menjadi salah satu alasan keluarga ini mengalami pertengkaran. Sementara itu, sang ibu memiliki sifat penyayang dan rela berkorban untuk anak-anaknya agar tidak mengalami kesulitan. Simak kisah lengkap cerita rakyat Aceh berikut.
Kehidupan Keluarga Miskin di Tengah Hutan
Di sebuah desa yang terletak di Tanah Gayo, hiduplah keluarga petani yang sangat miskin. Mereka terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak yang masih kecil. Anak tertua berusia tujuh tahun, sedangkan adiknya masih menyusui.
Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, sang ayah bekerja sebagai petani di sebuah ladang. Namun, jika hasil di ladang sedang tidak terlalu baik, sang ayah kerap berburu di hutan. Apabila sedang beruntung, ia bisa mendapatkan hasil buruan berupa rusa. Tapi sayangnya, tidak setiap hari ia bisa mendapatkan rusa.
Agar istri dan anak-anaknya tak kelaparan, sang ayah pun sering menangkap belalang untuk dibawa ke rumah. Biasanya, belalang-belalang tangkapan itu diolah menjadi makanan oleh sang istri. Belalang-belalang ini sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan makanan mereka sehari-hari maupun pada saat musim paceklik tiba.
Hasil tangkapan belalang itu pun dikumpulkan sedikit demi sedikit di dalam lumbung. Sang ayah selalu mengingatkan istrinya untuk selalu menutup pintu lumbung, agar belalang-belalang yang ia kumpulkan dengan susah payah itu tidak terbang keluar.
Sang ayah selalu mengingatkan istrinya untuk selalu menutup pintu lumbung, agar belalang-belalang yang ia kumpulkan dengan susah payah itu tidak terbang keluar.
Si Sulung Lupa Menutup Pintu Lumbung
Suatu hari, sang ayah pergi meninggalkan rumah untuk berburu. Sebelum pergi, ia berjanji kepada anak dan istrinya untuk membawa pulang daging rusa yang banyak. Sementara ia berburu, istrinya menjaga anak-anaknya di rumah.
Hari sudah siang, sang ayah belum juga sampai di rumah membawa hewan buruan. Padahal, kedua anaknya sudah merengek menahan lapar. Melihat kedua anaknya menangis, sang ibu sangat sedih, sehingga ia pun bergegas ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan.
Karena tak menemukan bahan yang bisa dimakan, sang ibu langsung berniat untuk memasak belalang yang tersimpan di lumbung. Namun, karena anak bungsunya menangis, sang ibu meminta anak sulungnya untuk mengambil belalang di lumbung. Si sulung pergi menuju lumbung yang tidak jauh dari rumah mereka. Ternyata, hal yang tidak diinginkan terjadi. Anak sulung lupa menutup pintu lumbung.
Setelah membukanya, ia langsung asyik menangkap belalang-belalang yang beterbangan di dalam lumbung. Akibatnya, lepaslah semua belalang-belalang di dalam lumbung yang telah dikumpulkan sang ayah setiap hari.
Kemurkaan Sang Ayah
Anak sulung kembali ke rumah sambil menangis di hadapan ibunya. Ia menceritakan apa yang ia lakukan hingga menyebabkan belalang simpanan ayahnya menghilang. Meski takut dimarahi suami, sang ibu tetap menenangkan anak sulungnya dan segera membuat makanan dari belalang yang sempat terambil.
Tak berselang lama, sang ayah tiba di rumah tanpa membawa hasil buruan. Ia juga semakin kesal ketika mengetahui persediaan belalang di rumahnya itu lenyap lantaran si anak bungsu yang lupa menutup pintu lumbung. Sang ayah pun murka dan melampiaskan amarahnya kepada sang istri dengan cara mengusirnya dari rumah.
Sang ayah pun murka dan melampiaskan amarahnya kepada sang istri dengan cara mengusirnya dari rumah.
Sang ibu tidak menyangka bahwa suaminya tega memperlakukannya seperti itu. Sambil menangis terisak-isak, sang ibu pergi dari rumah dan berpesan kepada si anak sulung untuk selalu menjaga adiknya.
Sang Ibu Ditelan oleh Atu Belah
Putus asa tanpa tujuan, sang ibu kemudian berjalan menuju tengah hutan sambil menangis. Di hutan itu, ia melihat sebuah batu ajaib, yang konon bisa menelan manusia yang putus asa. Namun, untuk bisa menelan manusia, batu itu harus dinyanyikan sebuah mantra dalam Bahasa Gayo.
“Atu belah, atu bertangkup nge sawah pejaying te masa dahulu…” Yang kurang lebih berarti, “Batu belah, batu bertangkup, sudah tiba janji kita masa lalu…”
Setelah menyanyikan mantra itu, batu tersebut tiba-tiba membelah dan menarik sang ibu masuk ke dalamnya. Sang ibu pun perlahan menghilang ditelan batu. Tak disangka, kedua anaknya yang merasa bersalah ternyata mengikutinya di belakang. Melihat ibunya yang perlahan hilang ditelan batu, kedua anak tersebut merasa sangat sedih dan terpukul.
Jimat dari Tujuh Helai Rambut Ibu
Menyaksikan sang ibu ditelan batu secara langsung, kedua anak laki-laki tersebut menangis. Anak sulung bahkan sampai meminta maaf kepada ibunya atas kesalahan yang ia lakukan. Tapi, tubuh sang ibu sudah terlanjur ditelan oleh atu belah dan hanya tujuh helai rambutnya yang tersisa.
Saat kedua anak laki-laki tersebut sedang meratapi ibunya, tiba-tiba cuaca buruk, langit gelap, dan hujan turun dengan lebat. Bumi bergetar menyaksikan atu belah menelan manusia. Menurut cerita warga setempat, tujuh helai rambut sang ibu yang tersisa kemudian dijadikan sebagai jimat oleh anak-anaknya.
Menurut cerita warga setempat, tujuh helai rambut sang ibu yang tersisa kemudian dijadikan sebagai jimat oleh anak-anaknya.
Pesan Moral dari Atu Belah Atu Bertangkup
Ada beberapa pelajaran yang bisa didapatkan dari cerita rakyat Aceh: Atu Belah Atu Bertangkup. Pertama, kita harus selalu teliti dan tidak ceroboh dalam melakukan sesuatu. Hanya karena sedikit kecerobohan, kita dapat merugikan orang lain yang tidak bersalah.
Terakhir, kita juga harus memiliki sifat pemaaf, karena setiap manusia tak akan luput dari perbuatan salah. Bila saja sang ayah memiliki sifat pemaaf, maka kedua anak laki-lakinya tidak akan kehilangan sosok ibu mereka.