Ca-Bau-Kan, Buku Karya Remy Sylado - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Ca Bau Kan Remy Sylado

Ca-Bau-Kan, Buku Karya Remy Sylado

Novel Remy Sylado yang secara apik merekam jejak kaum Tionghoa pada masa kolonial.

Kesenian

Banyak novel Indonesia klasik yang menyodorkan cerita berlatar masa penjajahan. Novel Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa) karangan Remy Sylado salah satunya. Namun, yang membuat Ca-Bau-Kan unik adalah tokoh-tokoh sentralnya yang terdiri atas kaum Tionghoa.

Sejatinya, Cau-Ba-Kan adalah sebuah novel roman sejarah. Disebut roman, lantaran ceritanya yang terpercik dari kisah cinta antara seorang gadis pribumi bernama Tinung dan pengusaha berkebangsaan Tionghoa bernama Tan Peng Liang. Disematkan label sejarah, karena ceritanya mengambil latar kota Batavia pada awal abad ke-20 yang masih dikuasai Belanda.

Namun, novel yang terbit pada 1999 ini tak hanya berkisar tentang roman dan segala implikasinya. Novel ini berfungsi sebagai ‘jendela’ atas kehidupan kaum Tionghoa di Indonesia masa lampau. Ditulis sangat detail oleh sang penulis (yang bukan berkebangsaan Tionghoa)—lengkap dengan beragam footnote yang menjelaskan setiap istilah, bahasa asing, nama tokoh dan organisasi, serta tradisi yang berlangsung di dalam cerita. Hasilnya adalah novel historis yang sangat edukatif. 

Novel ini berfungsi sebagai ‘jendela’ atas kehidupan kaum Tionghoa di Indonesia masa lampau.

Si Chixiang

Sama seperti novel berlatar masa kolonialisme lainnya, Gadis Pantai karangan Pramoedya Ananta Toer, misalnya, Cau-Bau-Kan bertolak dari kisah seorang gadis lugu bernama Tinung yang mesti menjual kemolekan tubuh demi bertahan hidup. Ia sempat menikah ketika berusia 14 tahun dan mempunyai anak. Namun, setelah suaminya yang bekerja sebagai nelayan tewas ditelan laut, ia diusir oleh ibu mertua karena dianggap membawa kutukan yang menyebabkan anaknya meninggal. 

Ia kemudian diperkenalkan ke dunia pelacuran di Kalijodo oleh sahabatnya Saodah, yang sudah lebih dulu berkiprah di sana. Selain menjadi lokasi dari para perempuan yang menjajakan jasa di atas perahu, Kalijodo juga terkenal sebagai tempat para pria Tionghoa mencari gundik, atau yang disebut juga cabaukan (yang sebetulnya bermakna “perempuan”). Dan memang itulah tujuan dari Saodah membawa Tinung ke Kalijodo: agar menjadi simpanan pria kaya.

Karena kecantikannya, Tinung dengan segera menjadi primadona di Kalijodo. Dia mendapat julukan chixiang atau “sangat masyhur dan dicari-cari.” Ia kemudian menarik perhatian seorang rentenir bernama Tan Peng Liang asal gang Tamim Bandung, yang lalu membawanya hidup di sebuah rumah di tengah perkebunan. Namun, Tinung akhirnya kabur setelah mengetahui kelaliman Tan Peng Liang dan anak-anak buahnya terhadap orang yang tak sanggup melunasi hutang. Maka, kembalilah Tinung ke Kalijodo.

Dia mendapat julukan chixiang atau “sangat masyhur dan dicari-cari.”

Untuk menaikkan pamor sebagai chixiang di Kalijodo, atas anjuran Saodah, Tinung pun berlatih bernyanyi dengan Njoo Tek Hong, seorang guru nyanyi nyentrik yang selalu mengakhiri tiap perkataan dengan “ngarti nggak lu.” Ternyata, Tinung punya bakat untuk menjadi penyanyi, yang lantas menawan hati seorang pengusaha yang kebetulan bernama sama dengan sang rentenir kejam, Tan Peng Liang, yang kali ini berasal Gang Pinggir Semarang.  

Untungnya, Tan Peng Liang yang satu ini memiliki watak berbeda. Lebih halus, lebih penyayang, dan, di luar itu, lebih kaya. Tinung pun menjadi gundik Tan Peng Liang dan hidup mewah hingga ia bisa menghambur-hamburkan kepingan uang receh ke anak-anak kampung saat ia pulang ke rumah. 

Tapi, tanpa sepengetahuan Tinung, Tan Peng Liang ternyata menjalankan bisnis ilegal yang menimbulkan konflik dengan pengusaha Tionghoa lainnya serta pihak aparat. Apalagi dia juga ikut membantu gerakan pejuang Republik melalui saudara sepupunya, R. M. Soetardjo Rahardjo, yang aktif menjadi anggota Partai Nasional Indonesia.

Kiau-Seng

Sinopsis di atas adalah penyederhanaan alur cerita dari Ca-Bau-Kan. Sebab, memasuki bagian tengah novel, cerita menjadi makin kompleks dan berbelit dengan kehadiran berbagai tokoh baru. Terutama yang berhubungan dengan Tan Peng Liang asal Gang Pinggir Semarang, yang kemudian malah mendesak Tinung untuk menjadi tokoh pendengar pasif dari balik pintu. 

Porsi cerita Tan Peng Liang memang melebar di tengah cerita. Ia digambarkan sebagai tokoh Tionghoa yang lebih mencolok di tengah kaumnya sendiri. Karena perangai yang dingin dan angkuh, Tan Peng Liang dibenci oleh anggota Kong Koan, majelis khusus Tionghoa yang bertugas mengurus segala hal yang berhubungan dengan penduduk Tionghoa di tanah Hindia Belanda. 

Tan Peng Liang digambarkan sebagai tokoh Tionghoa yang lebih mencolok di tengah kaumnya sendiri.

Para anggota Kong Koan termasuk golongan hoa kiau, yaitu “golongan perantauan yang menganggap dirinya murni, yang hanya tinggal sementara di Hindia Belanda, sekadar untuk mencari kekayaan sebelum pulang kembali ke tanah leluhur.” 

Sementara itu, Tan Peng Liang adalah seorang kiau seng, yaitu “bukan asli orang Tionghoa, yang telah lama tinggal di Hindia Belanda, dianggap kurang beradat dan tidak menguasai bahasa resmi Kuo-Yu kecuali bahasa lokal.” Bahasa yang ia pakai adalah ‘adonan’ Bahasa Melayu, Jawa, dan Hok-Kian. 

Umbaran kekayaan Tan Peng Liang tidak disukai oleh anggota Kong Kuan—dan Tan Peng Liang menyadari hal itu. Di acara Cio-Ko, pesta khas Tionghoa di Batavia, Tan Peng Liang menghujani rakyat miskin dengan uang hanya untuk memanas-manasi mereka. Dalam suatu acara lelang, ia diam-diam menyamar dan menawar harga paling tinggi hanya untuk membuat kesal dan mempermalukan Oey Eng Goan, anggota Kong Kuan yang paling membencinya. Karena itulah, Oey Ong Guan bertekad untuk menjatuhkan Tan Peng Liang dengan segala cara. 

Ada pula sekilas cerita tentang Tan Soe Bi, kemenakan Tan Peng Liang yang beranjak dewasa dan berkarakter dhao atau “jagoan tanggung.” Ia menjadi semacam algojo bagi ayah angkatnya, dengan berusaha menipu Thio Boen Hiap (musuh lain Tan Peng Lian dari Kong Kuan) perkara bisnis tembakau yang dijalani oleh keduanya. Suasana menjadi kian keruh karena aksinya ini.

Selain itu, ada juga karakter Max Awuy, seorang juru warta blasteran Indonesia-Tionghoa. Beliau tak lelah mengangkat berita soal perseteruan Tang Peng Liang dan anggota Kong Kuan, yang kemudian membahayakan nyawanya. Lalu, ada pula Tjia Wan Sen, seorang pendekar shan-tung dan antek Kong Koan yang jatuh cinta dengan Tinung. 

Jendela Budaya Tionghoa

Dengan banyaknya cerita dan nama karakter untuk dihafal, penulis kerap mengulang hubungan keluarga antara karakter yang satu dengan karakter yang lain. Karena itu pula, alur novel jadi terasa kurang fokus. Tak lagi berpusat pada Tinung, sang ca bau kan yang menjadi judul novel, porsi cerita malah lebih banyak dialokasikan untuk Tan Peng Liang dan segala permasalahannya. 

Meski begitu, Ca-Bau-Kan tak pernah membosankan. Apalagi sang penulis kerap membumbuinya dengan elemen humor, intrik politik, sekilas perjuangan kemerdekaan, serta aksi laga yang melibatkan pendekar. 

Novel yang sukses digarap oleh Nia Dinata menjadi film layar lebar pada 2002 ini diawali dan diakhiri dengan tokoh Nyonya Dijkhoff. Ia adalah sosok wanita tua dari Belanda yang berkunjung ke Jakarta untuk menapak tilas silsilah keluarga yang berkaitan dengan Tinung dan Tan Peng Liang. Bisa dibilang, ia adalah narator cerita Ca Bau Kan.  

Seperti telah diutarakan di atas, yang membuat Ca-Bau-Kan berbeda dari novel roman sejarah lainnya adalah penggambaran yang begitu detail akan kehidupan, budaya, dan peran kaum Tionghoa pada saat itu. Mereka bahkan diperlakukan dengan lebih hormat dan memiliki privilese lebih tinggi daripada kaum pribumi sendiri. 

Yang membuat Ca-Bau-Kan berbeda dari novel roman sejarah lainnya adalah penggambaran yang begitu detail akan kehidupan, budaya, dan peran kaum Tionghoa pada saat itu.

Sangat impresif hasil riset Remy Sylado yang berasal dari Minahasa ini terkait latar belakang, penokohan, dan tradisi yang lekat dengan budaya Tionghoa. Sang penulis memang terkenal akan rangkaian karya ambisius nan tebal yang sarat detail sejarah, termasuk Orexas (1978), Paris Van Java (2003), dan Pangeran Diponegoro (2007). 

Remy menunjukkan minat besar terhadap bahasa. Dari Ca-Bau-Kan, pembaca bisa belajar banyak tentang kosakata Tionghoa—dan gabungannya dengan bahasa daerah seperti Betawi, Jawa, dan Sunda—yang menurun ke Bahasa Indonesia. Untuk memahami Remy Sylado lebih jauh sebagai pakar linguistik, buku-buku non-fiksinya seperti 9 Dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Bahasa Asing (2003) dan Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005) perlu juga dibaca. 

Yang pasti, Remy Sylado adalah storyteller sejati—dan aspek itu terasa kuat dalam Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa). Novel klasik Indonesia yang menjadi homage dari peran penting bangsa Tionghoa dalam membentuk tatanan sosial dan budaya Indonesia. 

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Google Books, Goodreads, Ensiklopedia Sastra Indonesia