Satu hal yang patut dikagumi dari Pramoedya Ananta Toer adalah produktivitasnya yang luar biasa sebagai seorang penulis. Bahkan ketika menghadapi masa-masa sulit sebagai tahanan politik, Pramoedya tetap produktif. Tetralogi Bumi Manusia yang monumental—meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca—yang mengukuhkan posisinya sebagai sastrawan kelas dunia, berhasil ia selesaikan saat ditahan di Pulau Buru pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Kreativitas Pram, sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer, tidak hanya tertuang dalam Tetralogi Buru. Selama masa penahanannya di Pulau Buru, ia juga berhasil menyelesaikan novel epos roman Arok Dedes pada Desember 1976. Novel fiksi sejarah ini baru diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada tahun 1999.
Novel Arok Dedes memberikan gambaran yang sangat luas tentang intrik politik di Kerajaan Singasari, yang berpusat di sekitar Malang. Kerajaan ini berjaya antara tahun 1222 hingga 1292 dengan Ken Arok sebagai raja pertamanya. Sebelum berdirinya Singasari, terjadi serangkaian peristiwa penting seperti perebutan kekuasaan, perseteruan antar kasta (terutama antara brahmana dan sudra), kezaliman pemimpin, permainan politik, operasi militer, peperangan, revolusi rakyat kecil, aksi kudeta (dianggap sebagai kudeta pertama di Indonesia), dan, tentu saja, pertautan asmara antara kedua tokoh utamanya, Arok dan Ken Dedes.
Novel Arok Dedes memberikan gambaran yang sangat luas tentang intrik politik di Kerajaan Singasari, yang berpusat di sekitar Malang.
Semua elemen itu terkemas apik dalam Arok Dedes.
Gerakan Kudeta dalam Kerajaan
Arok Dedes menceritakan asal-usul Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari yang sebelumnya bernama Tumapel. Sebagai seorang pemuda sudra, Arok dibesarkan oleh keluarga angkat. Namun, karena kecanduan judi yang mengancamnya dengan perbudakan, Arok terpaksa meninggalkan keluarganya dan kemudian bergabung dengan kelompok penjahat. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan seorang brahmana bernama Lohgawe yang melihat potensi besar dalam dirinya. Sejak saat itu, Arok mulai mempelajari ilmu-ilmu brahmana.
Pada masa itu, kaum brahmana di Kerajaan Tumapel hidup dalam ketegangan dengan raja (akuwu) mereka, Tunggul Ametung. Sebagai seorang raja yang kejam dan bengis, Tunggul Ametung memanfaatkan kekuatan fisik dan bersikap sewenang-wenang dalam memerintah. Ia memberlakukan pajak yang sangat memberatkan rakyatnya dan secara sistematis menekan pengaruh kaum brahmana. Konflik antara brahmana dan sudra sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak zaman Kerajaan Medang. Raja Airlangga, pendiri Kerajaan Medang, telah menerapkan sistem meritokrasi yang memungkinkan siapa pun, tanpa memandang kasta, untuk menjadi raja. Namun, sistem ini justru memicu perselisihan antara berbagai kasta, termasuk brahmana dan sudra.
Walaupun pemberontakan rakyat Tumapel semakin memanas, Tunggul Ametung justru meminta bantuan kepada kaum brahmana. Lohgawe, pemimpin kaum brahmana yang sejak lama menyimpan dendam kepada Tunggul Ametung, melihat hal ini sebagai kesempatan. Ia menyarankan agar Arok diangkat menjadi kepala penumpas pemberontakan. Dengan demikian, Lohgawe berharap dapat melancarkan kudeta dari dalam kerajaan.
“Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu,” Lohgawe menjelaskan rencananya kepada Arok.
Setelah berhasil meyakinkan Tunggul Ametung, Arok pun masuk ke dalam lingkar dalam orang-orang kepercayaan sang akuwu. Di dalam tembok kerajaan, Arok mendapat bantuan dari Dedes, putri seorang brahmana yang diculik dan dikawin paksa oleh Tunggul Ametung. Arok pun jatuh cinta kepada Dedes, yang diramalkan oleh Lohgawe bakal menjadi seseorang yang melahirkan keturunan raja-raja besar.
Arok pun jatuh cinta kepada Dedes, yang diramalkan oleh Lohgawe bakal menjadi seseorang yang melahirkan keturunan raja-raja besar.
Kitab Para Raja
Versi singkat Arok Dedes bisa ditemukan dalam Pararaton, kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang memuat secara singkat (hanya 32 halaman) sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit. Tokoh utama dalam kitab tersebut adalah Ken Arok (1222–1292).
Pram, melalui riset mendalam dan imajinasi yang ambisius, lantas memperluas kisah Kitab Pararaton menjadi novel Arok Dedes setebal 553 halaman. Novel ini tidak hanya mengedepankan tokoh utama Arok dan Dedes, tetapi juga menyoroti peran penting tokoh-tokoh lain dalam sejarah kerajaan Jawa. Selain Lohgawe dan Tunggul Ametung, ada juga Brahmana Belakangka, wakil Kerajaan Kediri di Tumapel yang licik; Kebo Ijo, prajurit pemberani tapi polos yang beraspirasi jadi akuwu karena ia berasal dari kasta satria; Umang, perempuan desa yang terlibat dalam gerakan pemberontakan melawan Tunggul Ametung (sekaligus istri pertama dari Ken Arok); Oti, seorang budak perempuan; dan Mpu Gandring, sang pembuat keris tersohor.
Namun, Arok Dedes juga dapat dianggap sebagai sebuah karya literatur revisionis. Pram menyajikan interpretasi unik, terutama dalam karakterisasi tokoh-tokoh yang terdapat dalam Pararaton. Jika dalam naskah asli, Mpu Gandring digambarkan sebagai pembuat keris yang dibunuh oleh keris ciptaannya sendiri karena ketidaksabaran Arok, Pram justru melukiskan sosok Mpu Gandring sebagai individu yang manipulatif dan berambisi merebut tahta. Dalam versi Pram, citra mistis Mpu Gandring yang terdapat dalam Pararaton seakan-akan ditanggalkan.
Pram menyajikan interpretasi unik, terutama dalam karakterisasi tokoh-tokoh yang terdapat dalam Pararaton.
Melalui kacamata Pram, kedua sosok perempuan utama dalam Arok Dedes, Dedes dan Umang, digambarkan memiliki karakteristik yang sangat kontras. Dedes, sebagai seorang brahmani terpelajar, membantu Arok menggulingkan Tunggul Ametung. Motivasi Dedes tidak hanya didorong oleh kebencian terhadap suaminya, tetapi juga oleh ambisi untuk meraih kekuasaan sebagai pemimpin Kerajaan Tumapel. Sementara Umang, yang kemudian dipanggil juga dengan Ken Umang, lebih digambarkan sebagai seorang prajurit andal dengan keterampilan memanah yang mumpuni.
Oti, sosok perempuan lain dalam cerita ini, memiliki latar belakang yang jauh lebih menarik. Melalui karakter fiksi ini, kita dapat merasakan kompleksitas relasi antara pemerintah dan rakyat pada masa itu. Saat pertama kali melihat Paramesywari (ratu) Ken Dedes tampil di hadapan masyarakat, Oti mengungkapkan perasaan mendalamnya, “Dia dewi di atas bumi itu. Dan aku? Diriku sendiri pun tidak, dan selama ini tak pernah jadi milikku sendiri.”
Oti, seorang gadis pulau yang kemudian diperbudak, terheran-heran akan tendensi pendewaan sosok pemimpin oleh rakyat (atau raja yang mengklaim dirinya sebagai titisan dewa). Hal itu adalah sesuatu yang terasa sangat asing di tanah kelahirannya. “Di pulaunya tak pernah orang didewikan atau didewakan. Orang berperang dan mati, mengaduk hutan dan laut tanpa pernah jadi budak. Orang bersesaji hanya untuk para leluhur. Di sini semua untuk orang itu saja.”
Mitologi yang Membumi
Sama halnya dengan kitab-kitab suci lainnya, Kitab Pararaton sering kali dianggap sebagai kisah mitologi oleh para pengamat. Kisah ini sarat dengan unsur religi dan mistis, dengan tokoh sentralnya, Arok atau Sri Ranggah Rajasa, yang diyakini menjadi cikal bakal wangsa rajasa.
Pramoedya Ananta Toer berhasil memberikan napas baru pada kisah Ken Arok dengan pendekatan yang lebih membumi. Dalam Arok Dedes, Pram lebih fokus pada aspek kemanusiaan tokoh-tokoh Pararaton dan dampak sosial dari peristiwa yang terjadi, seperti ketimpangan sosial dan kepercayaan masyarakat pada abad ke-13 yang beragam, melibatkan penganut Siwa, Wisnu, dan roh leluhur.
Pram mampu menjadikan mitologi Ken Arok dan Ken Dedes lebih mudah dicerna dan nyata, tidak hanya bagi pecinta sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia, tetapi juga bagi pembaca sastra umum. Hal ini ia lakukan dengan menyisipkan banyak interaksi dialog antar karakter yang membuat alur cerita mudah diserap. Penokohan dalam novel ini pun sangat kuat. Tokoh-tokoh pendukung seperti Oti dan Kebo Ijo bahkan mencuri perhatian lebih dibandingkan dua nama utama pada judul.
Tokoh-tokoh pendukung seperti Oti dan Kebo Ijo bahkan mencuri perhatian lebih dibandingkan dua nama utama pada judul.
Sebenarnya, Arok Dedes adalah bagian dari tetralogi yang kemudian dikenal sebagai Tetralogi Arok Dedes. Namun, hanya naskah Arok Dedes, sebagai cerita pertama, yang bertahan utuh, sementara tiga naskah buku lainnya—Mata Pusaran, Arus Balik, dan Mangir—menghilang setelah disita oleh perwakilan pemerintah. Meski begitu, sebagian naskah Mata Pusaran, novel kedua yang berkisah tentang intrik politik Kerajaan Majapahit, sempat ditemukan dalam bentuk lembaran-lembaran fotokopi.
Jika Tetralogi Buru mengajak kita untuk menyusuri sejarah Nusantara pada masa penjajahan, maka melalui Arok Dedes, Pram membawa kita lebih jauh ke masa lalu. Dari sejarah, kita selalu dapat belajar dan mengagumi banyak hal. Bukan hanya tentang heroisme, tetapi juga tentang kepemimpinan, kodrat manusia, kepercayaan, dan sifat dasar manusia yang cenderung berulang dari masa ke masa. Manusia, pada dasarnya, mampu menciptakan kedamaian maupun peperangan.
Melalui Arok Dedes, Pram tampaknya ingin menyadarkan pembaca akan bahaya kepemimpinan yang otoriter dan sewenang-wenang. Sebuah tema yang sangat relevan dengan pengalamannya sendiri, terutama di bawah pemerintahan dua presiden pada masa hidupnya. Seperti kata Ken Arok kepada Lohgawe, “Apa gunanya pengetahuan jika tidak bisa berpendapat?”
Arok Dedes menjadi cara Pramoedya Ananta Toer berpendapat.