Menjamu Benua, Mengabarkan Erau ke Dunia Gaib - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

menjamu_benua_1200.jpg

Menjamu Benua, Mengabarkan Erau ke Dunia Gaib

Ritual yang mengharapkan keselamatan dan kelancaran selama Festival Erau berlangsung.

Tradisi

Masyarakat Kutai masih memegang kepercayaan yang kuat mengenai hubungan antara kehidupan alam manusia dengan alam gaib. Hal ini tercermin dalam rangkaian Festival Erau yang diselenggarakan setiap tahun. Dalam penyelenggaraan acara ini, terdapat sejumlah ritual yang berfungsi sebagai pembuka komunikasi dengan ‘mahluk halus’ yang hidup di dimensi berbeda. Salah satunya adalah Menjamu Benua. Ritual ini diadakan sebelum Festival Erau berlangsung.

Dengan ritual ini, para ‘mahluk halus’ diharapkan tidak mengganggu penyelenggaraan acara.

Menjamu Benua merupakan sarana pemberitahuan kepada alam gaib bahwa Sultan Kutai telah memutuskan untuk menyelenggarakan Erau dan telah menentukan waktu pelaksanaannya. Ritual ini dilakukan untuk memohon keselamatan serta kelancaran selama Erau berlangsung. Dengan mengadakan Menjamu Benua, para ‘mahluk halus’ diharapkan tidak mengganggu penyelenggaraan acara.

Ritual Menjamu Benua diselenggarakan oleh sebuah rombongan yang terdiri dari 7 orang dewa (dukun wanita), 7 orang belian (dukun pria), 7 pangkon bini, dan 7 pangkon laki. Para penabuh gendang dan gamelan juga akan mengiringi sepanjang prosesi ritual dilakukan.

Rombongan ini membawa sesajian yang akan diletakkan di tiga titik.

Rombongan ini membawa sesajian yang akan diletakkan di tiga titik, yaitu Kepala Benua (Kelurahan Mangkurawang), Tengah Benua (depan keraton), dan Buntut Benua (Kelurahan Timbau). Selain itu, para dewa dan belian juga membawa pakaian Sultan sebagai pengganti kehadiran Sultan secara fisik sepanjang ritual ini diadakan.

Ketiga titik yang dijadikan tempat peletakan sesajian melambangkan batas dan pusat dari Kota Tenggarong yang pada masa lalu menjadi ibu kota dari Kesultanan Kutai. Kepala Benua merupakan titik paling utara (hulu) dari Tenggarong, Tengah benua merupakan simbol pusat dari wilayah Tenggarong, sementara Buntut Benua melambangkan sisi paling selatan (hilir) dari wilayah Tenggarong.

Sesajian yang dibawa oleh rombongan ini terdiri dari aneka macam jajak/jajanan pasar, nasi tambak, nasi ragi, ayam panggang, mandau, air minum, dan peduduk. Menurut Awang Imaluddin, salah satu pemangku ritual sakral di Keraton Kutai, jajak yang disiapkan terdiri dari 41 jenis kue basah.

Ritual dimulai di kediaman Sultan.

Ritual dimulai di kediaman Sultan. Di tempat ini, rombongan memohon restu dari Sultan untuk berangkat melaksanakan Menjamu Benua. Dari kediaman Sultan, rombongan menuju ke tiga titik yang telah ditentukan.

Ketika sampai di setiap titik, sesajian tersebut akan diletakkan di tempat yang telah ditentukan. Jajak yang diletakkan di tembelong ditempatkan di atas juhan bersama nasi tambak, ayam panggang, mandau, air minum, dan rokok. Sementara, peduduk dan ayam hitam diletakkan di bagian bawah dari juhan. Selain itu, diletakkan pula nasi tambak di atas telasak tunggal dan nasi ragi di atas telasak gantung.

Setelah semua sesajian siap, dewa menghadap ke Sungai Mahakam untuk melakukan memang (pembacaan mantra) dan melakukan besawai (membaca doa sambil menebarkan beras, bunga, dan lainnya). Selanjutnya rombongan menuju ke Tengah Benua dan terakhir ke Buntut Benua untuk melakukan ritual yang serupa.

Ada sedikit perbedaan pada ritual yang dilakukan di Buntut Benua. Di tempat ini, disediakan dua buah telasak gantung yang dipasang berlawanan arah dan hiasan janur yang diikat simpul sebagai pertanda ritual Menjamu Benua telah selesai. Setelah selesai melakukan ritual di tiga titik, rombongan kembali ke kediaman Sultan untuk melaporkan bahwa ritual telah selesai.

Informasi Selengkapnya
  • Elsa Dwi Lestari

  • Komunitas Fotografi Lensa Kreatif (Lenskraf) Tenggarong