Dari sekian banyak novel Indonesia klasik, Sengsara Membawa Nikmat (1928) tampak sangat layak untuk mendapatkan penghargaan Judul Buku Terbaik. Judul yang bakal membuat para pembacanya penasaran, “Kesengsaraan macam apa yang bisa memberi kenikmatan?”
Dalam Bahasa Inggris sendiri, terdapat istilah oksimoron—yaitu dua kata bertentangan yang berada dalam satu kalimat. Dalam penerapannya pada judul dan keseluruhan cerita, novel karya Toelis Soetan Sati ini ada benarnya juga. Apalagi salah satu tema besar yang diangkat oleh Sengsara Membawa Nikmat adalah kebaikan melawan keburukan. Keburukan mungkin akan datang bertubi-tubi. Tapi, dengan penuh kesabaran dan ketabahan, maka kebaikan bisa menang.
Keburukan mungkin akan datang bertubi-tubi. Tapi, dengan penuh kesabaran dan ketabahan, maka kebaikan bisa menang.
Itulah kenikmatan yang datang setelah kesengsaraan.
Kesengsaraan Midun
Sengsara Membawa Nikmat berkisah tentang Midun yang berasal dari Padang. Ia adalah pemuda yang sangat disukai orang-orang di desa karena ia tertib, sopan, santun, gagah berani, dan baik hati. Namun ada satu orang yang sangat membenci Midun, yakni Kacak yang memiliki karakter bertolak belakang—tinggi hati, sombong, dan congkak. Warga desa menghormati Kacak hanya karena dia kemenakan bangsawan di desa, Tuanku Laras.
Kebencian Kacak timbul dari rasa irinya melihat Midun yang begitu dielu-elukan oleh penduduk desa. Ketika Midun diberi tugas oleh ayahnya untuk mengirik sawah, semua warga turut membantu dengan semangat. Sementara beberapa orang yang membantu Kacak di ladangnya, pada saat bersamaan, justru berwajah muram. “Jika dibiarkan, akhirnya Midun mau menjadi raja di kampung ini,” ucap Kacak bersungut-sungut.
Kebencian Kacak timbul dari rasa irinya melihat Midun yang begitu dielu-elukan oleh penduduk desa.
Bahkan ketika Midun menyelamatkan istri Kacak dari terjangan arus sungai deras, ia tetap berburuk sangka, karena Midun dianggap lancang telah merangkul tubuh istrinya yang telanjang. Kacak pun senantiasa mencari alasan untuk menyerang Midun. Untungnya, Midun jago silat—keahlian yang diajarkan oleh paman dan bapak keduanya, Haji Abbas. Walau begitu, kedua bapak Midun khawatir akan nasibnya dan menganjurkan Midun untuk tetap berhati-hati.
Ketika Midun dengan Lenggang (kroco Kacak yang bekerja sebagai semacam pembunuh bayaran) berkelahi di acara pacuan kuda, terjadi kerusuhan dan berujung kematian beberapa orang. Benar saja, Midun ditangkap oleh polisi dan dijatuhi hukuman penjara. Di dalam penjara, kesengsaraan Midun berlanjut. Ia sempat diserang oleh sesama napi dan dipaksa untuk kerja rodi oleh sipir-sipir penjara yang bengis. Untungnya, Midun mendapat perlindungan dari Turigi, seorang napi tua yang dihukum seumur hidup. Ia juga disegani oleh orang-orang di penjara karena ketangkasan bela dirinya.
Di tengah tugasnya membersihkan jalan, Midun bertemu dan jatuh hati dengan Halimah, anak orang kaya yang tinggal di sebuah rumah besar bersama ibu dan ayah tirinya. Ketika sang ayah tiri memaksa Halimah untuk menjadi istrinya selepas sang ibu meninggal, Midun menyelamatkannya. Mereka pun kabur ke Bogor untuk bertemu dengan ayah asli Halimah.
Memulai hidup baru di tanah Jawa, Midun bekerja menjual kain di kota Betawi. Namun, lagi-lagi, ia ditimpa kesengsaraan ketika ditipu soal uang pinjaman oleh seorang rentenir. Lagi-lagi, ia kembali berurusan dengan polisi.
Berakit-rakit ke Hulu
Kala membaca novel Sengsara Membawa Nikmat—yang pernah diadaptasi menjadi serial TVRI di tahun 1991 dan dibintangi oleh Desy Ratnasari —pembaca mungkin akan teringat pada peribahasa “Berakit-rakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Perjalanan berakit-rakit tokoh utama Midun memang kadang terasa tiada habisnya, bermula dari kedengkian Kacak yang membuat dia senantiasa waspada, lalu berlanjut ke kebengisan para sipir penjara dan kelicikan rentenir.
Meski ditempa segala kesengsaraan, Midun tetap sabar dan tabah. “Dalam segala hal hendaklah berlaku sabar. Apalagi kalau ditimpa malapetaka, haruslah diterima dengan tulus ikhlas,” ayahnya bertuah. Segala derita yang dialami Midun, disajikan sebagai sebuah perumpamaan oleh sang penulis—kebajikan dan keteguhan iman akan menjadi kunci atas segala ujian hidup.
“Dalam segala hal hendaklah berlaku sabar. Apalagi kalau ditimpa malapetaka, haruslah diterima dengan tulus ikhlas,” ayahnya bertuah.
Sama seperti Hamka, penulis novel Di Bawah Lindungan Ka’bah yang juga berasal dari Minangkabau, Toelis Soetan Sati menempatkan cerita dengan latar tanah kelahirannya. Namun, berbeda dengan Hamka yang condong kritis, Toelis mengambil jalan yang lebih positif, baik dalam Sengsara Membawa Nikmat maupun novel-novel berikutnya seperti Tak Disangka (1929) dan Tidak Membalas Guna (1932). Toelis merupakan pendongeng apik yang sangat deskriptif dalam menyajikan cerita dan interaksi antar karakter.
Namun, bukan berarti Toelis tak memiliki kelemahan. Penuturan ceritanya terkadang agak bertele-tele dan ia sangat gemar menulis tatanan kata yang bersifat negatif ganda (struktur kalimat yang memiliki dua kata negatif), seperti pada kalimat “Mereka itu semua menyangka, tak dapat tiada Midun ahli silat,”yang bisa membuat para pembaca bingung dengan maksudnya.
Walau begitu, gaya penulisan Sengsara Membawa Nikmat mampu menyajikan alur cerita yang seru, seperti pada adegan perkelahian Midun dengan orang-orang yang hendak melukainya. Penggambaran karakternya cenderung sederhana—di mana tokoh seperti Midun digambarkan sebagai orang yang sangat baik dan mulia, sementara Kacak adalah seseorang yang sangat jahat (dan bermata juling pula), sehingga gampang bagi pembaca untuk membencinya.
Sisanya, beberapa karakter pendukung seperti Turigi dan Gempa Alam, sipir baik hati yang bertugas mengantarkan Midun ke penjara, memiliki sedikit kompleksitas yang mampu menambah warna pada cerita.
Penulis Optimis
Warisan Toelis Soetan Sati dalam dunia sastra Indonesia adalah keoptimisannya. Pria yang pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka ini menaburkan berbagai petuah yang bisa menjadi bahan renungan bagi pembaca. Ada sejumlah wejangan membekas dalam novel Sengsara Membawa Nikmat, salah satunya “Jangan dengan sembarang orang saja berteman. Kerap kali sahabat itulah yang akan membinasakan kita. Daripada bersahabat dengan seribu orang bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai.”
“Jangan dengan sembarang orang saja berteman. Kerap kali sahabat itulah yang akan membinasakan kita. Daripada bersahabat dengan seribu orang bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai.”
Buku Dunia Kepengarangan Toelis Soetan Sati dan Analisis Karyanya karangan Anita K. Rustapa, juga menyebutkan bahwa “Pesan pengarang dalam karya-karyanya sangat jelas. Hampir semua pesannya mengandung nilai didik. Pada umumnya, nilai didik itu diwujudkan dalam cerita yang mengandung nilai moral bahwa yang baik akan mendapat ganjaran dan yang buruk akan mendapat hukuman.”
Maka, bersabarlah orang-orang yang tengah dirundung kesusahan, karena menurut penulis yang optimis satu ini, kesengsaraan kelak akan berujung pada kenikmatan.