MUSIK gamelan mengalun. Empat penari perempuan berjalan menuju tengah panggung. Mereka membawa bokor (nampan cekung) kuningan yang penuh aneka canang (bunga-bunga) di tangan kanan. Rambut mereka disasak dan dihias dengan rangkaian bunga berbentuk melengkung. Tubuh mereka terbalut kain tradisional Bali berwarna merah dan emas. Sangat anggun.
Tangan mereka bergerak gemulai. Diikuti gerakan halus jari-jemarinya. Kepala bergoyang seirama musik. Mata mendelik. Kemudian mereka bersimpuh dan menaruh canang. Tangan bersedekap lalu berayun ke atas dan bawah, kanan dan kiri. Setelah itu, mereka berdiri lagi membawa canang dan berbaris ke belakang. Pada akhir pementasan, bunga di dalam bokor di taburkan kepada para penonton sebagai ucapan selamat datang.
Itulah tari pendet asal Bali. Begitu tenang, gemulai, dan menghanyutkan. Tari pendet merupakan salah satu tarian selamat datang paling tua di Pulau Bali.
Pada awalnya tarian ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu di Bali. Ia dipakai sebagai pelengkap upacara piodalan di pura-pura atau tempat suci keluarga sebagai ungkapan rasa syukur, hormat, dan sukacita saat menyambut kehadiran para dewata yang turun dari khayangan.
Dalam upacara piodalan di pura ada ritus sakral yang disebut mamendet atau mendet. Mendet secara etimologis berasal dari mendak (menyambut). Prosesi mendet dilakukan setelah pendeta mengumandangkan puja mantra dan pementasan topeng sidakarya. Ritus ini bisa dibawakan semua orang, lelaki-perempuan, tua-muda, dengan menari penuh kegembiraan menyambut kehadiran para dewa. Dari prosesi inilah lahir tari pendet.
Ahmad Yunus dalam Ensiklopedi Tari Indonesia Seri P-J menjelaskan bahwa pendet merupakan tarian sajian untuk para leluhur yang disebut Bhatara dan Bruitari. Dipentaskan di halaman pura dan menghadap ke arah suci (pelinggih) di mana Bhatara dan Bhatari bersemayam.
Tari pendet dibawakan para perempuan dengan memakai pakaian adat. Para penari membawa sebuah bokor yang penuh berisi bunga/canang sari, kawangen, dan lain-lain. Sebagian lagi membawa alat-alat upacara seperti sangku, mangkuk perak, kendi, dan lain-lain. Tarian ini dibawakan secara massal, diiringi gamelan gong, dan dipimpin oleh seorang Pemangku (pemimpin upacara) dengan membawa sebuah pasepan (pedupaan) yang penuh dengan kemenyan terbakar.
“Pada bagian akhir tarian, para penari meletakkan alat-alat tadi pada pelinggih, dan ada juga yang menaburkan bunga kepada pratima (simbol dari Bhatara dan Bhatari) sebagai penghormatan,” ungkap Ahmad Yunus.
Anak Agung Gde Putra Agung dalam Beberapa Tari Upacara dalam Masyarakat Bali menggolongkan pendet sebagai tari wali atau sakral yang merupakan bagian dari upacara keagamaan. Sementara ditinjau dari segi gerak maupun karakternya, pendet dapat diklasifikasikan sebagai tari perempuan halus dan tarian massal.
“Penari-penarinya adalah dari kalangan warga desanya dan ada juga merupakan sekehe Pendet yang keanggotaannya diambil dari kelompok keluarga mereka sendiri sebagai suatu tradisi,” jelas Anak Agung Gde Putra Agung.
Lazimnya tari pendet dibawakan oleh para perempuan. Lengkap dengan pakaian adat dan canang berisi sesajian. Tapi di Karangasem, para lelaki juga tampil sebagai penari. Mereka memakai pakaian adat Bali berupa ikat kepala putih, kain saput (selendang), umpal (pengikat selendang), dan sarung tenun.
Secara umum di wilayah Bali, tari pendet melambangkan penyambutan manusia terhadap kedatangan para dewata dari kahyangan. Tapi seiring perkembangan zaman, pendet menjadi tarian untuk menyambut kedatangan sesama manusia. Terutama dipentaskan sebagai bagian promosi wisata Bali.
“Sebagai tari penyambutan, pendet difungsikan untuk menyambut kedatangan tamu atau sering disebut dengan istilah tarian selamat datang. Ungkapan kegembiraan, kebahagiaan, dan rasa syukur diwujudkan melalui gerak-gerak yang lembut dan indah,” catat Siluh Made Astini dan Usrek Tani Utina dalam “Tari Pendet Sebagai Tari Balih-Balihan” di jurnal Harmonia, Vol. 8 No. 2, 2007.
Di Bali, tari berjenis hiburan disebut balih-balihan. Ini kecenderungan umum di banyak tempat. Beberapa tarian lain juga mengalami proses serupa. Yang membedakan hanya pada kapan waktu pergeserannya.
Tari pendet penyambutan lahir tahun 1950. Penggagasnya adalah dua seniman kelahiran Desa Sumertha, Denpasar, yaitu I Wayan Rindi dan Ni Ketut Reneng. Keduanya menciptakan tari pendet penyambutan dengan empat penari yang dipentaskan sebagai bagian dari pertunjukan kepariwisataan di sejumlah hotel di Denpasar, Bali. Selain untuk menyambut tamu-tamu penting, tarian ini kemudian menjadi tarian pembuka dalam setiap pertunjukan tari-tarian Bali.
Lalu, pada 1961, I Wayan Beratha mengembangkan tarian ini dan menambah jumlah penarinya menjadi lima orang, seperti yang sering ditampilkan sekarang. Setahun kemudian, I Wayan Beratha dan kawan-kawan kembali mengembangkan tari pendet yang ditarikan secara massal, dengan jumlah penari tidak kurang dari 800 orang, dan ditampilkan dalam upacara pembukaan Asian Games di Jakarta.
Setelah itu, tari pendet kerap kali dipertunjukan di bandara atau hotel. Para turis asing di Bali disambut pertunjukan tari pendet setiap kali tiba di Bali. Ketika kembali ke negerinya, mereka bercerita tentang pengalaman disambut oleh perempuan penari yang anggun dan gemulai. Tari pendet pun mendunia.
Sekarang tari pendet masih terus disajikan di berbagai acara penyambutan tamu. Kursus-kursus tari pendet juga dibuka. Tak hanya di Bali, tapi juga di luar Bali. Sungguh membanggakan.*