Di antara berbagai objek wisata yang ada di Bukittinggi, Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan layak menjadi pilihan utama untuk dikunjungi. Kebun binatang ini menawarkan pengetahuan, nilai sejarah, sekaligus panorama alam Bukittinggi yang indah dalam satu kawasan. Posisinya yang masih terintegrasi dengan Fort de Kock, menjadi salah satu alasan mengapa kebun binatang ini menjadi rekomendasi utama.
Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan merupakan salah satu kebun binatang tertua yang ada di Indonesia. Prakarsa pendiriannya dimulai pada sekitar tahun 1900 atas ide seorang Controleur pemerintah Hindia Belanda yang bertugas di Fort de Kock (Bukittinggi) bernama Gravenzanden.
Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan merupakan salah satu kebun binatang tertua yang ada di Indonesia.
Sang Controleur terkesan dengan keindahan panorama di sebuah bukit bernama Bukit Malambuang atau dikenal dengan nama Cubadak Bungkuak yang tepat berada di seberang Bukit Jirek, tempat di mana Benteng Fort de Kock berdiri.
Dari atas bukit ini, pengunjung dapat mengamati bentangan alam di sekelilingnya yang bergelombang. Mulai dari pemandangan Gunung Singgalang, Gunung Sago, Gunung Marapi, hingga Ngarai Sianok tersaji di sekitar bukit ini. Keindahan panorama inilah yang membuat pemerintah Hindia Belanda kemudian membangun tempat ini sebagai wahana rekreasi orang-orang Belanda yang menetap di kota ini.
Awalnya, tempat ini hanya dibangun sebagai sebuah taman bunga.
Awalnya, tempat ini hanya dibangun sebagai sebuah taman bunga. Tetapi mulai tahun 1929, fungsinya dikembangkan menjadi sebuah kebun binatang, dengan nama resmi Kebun Binatang Bukittinggi atau dalam bahasa Belanda Fort de Kocksche Dieren Park.
Pada tahun 1933, dilakukan pertukaran koleksi antara kebun binatang ini dengan kebun binatang Surabaya (Soerabaiasche Planten-en Dierentuin). Melalui pertukaran ini, Kebun Binatang Bukittinggi memperoleh sejumlah koleksi spesies fauna Indonesia Timur, sedangkan Kebun Binatang Surabaya memperoleh koleksi spesies fauna asli Sumatra sebanyak 150 ekor.
Kebun binatang ini sempat mengalami masa sulit saat pendudukan Jepang.
Kebun binatang ini sempat mengalami masa sulit saat pendudukan Jepang. Tentara Jepang tidak menganggap penting keberadaan kawasan ini, sehingga sebagian besar hewan tidak terawat dengan baik, bahkan mati terlantar. Sejumlah fasilitas pun sempat dialihfungsikan untuk memenuhi kebutuhan militer tentara Jepang.
Kondisi berangsur membaik seiring era kemerdekaan RI di mana lokasi ini menjadi Taman Puti Bungsu dan kemudian menjadi Taman Marga Satwa Kinantan pada tahun 1995 hingga saat ini.
Kawasan ini juga berfungsi sebagai sebuah wahana yang tepat untuk menggali wawasan budaya.
Sesuai namanya, kawasan ini juga berfungsi sebagai sebuah wahana yang tepat untuk menggali wawasan budaya. Di sini, berdiri sebuah bangunan rumah adat Minangkabau yang disebut Rumah Adat Baanjuang. Rumah adat yang didirikan sekitar tahun 1935 ini hingga kini difungsikan sebagai sebuah museum yang mengangkat kebudayaan tradisional masyarakat Minangkabau.
Di dalam rumah beratap gonjong gajah maharam ini, dipajang aneka koleksi peninggalan budaya dan sejarah. Di antaranya, pakaian, perhiasan dan alat-alat kesenian khas Minang. Selain museum budaya, kompleks ini juga dilengkapi museum zoologi, akuarium ikan hias, dan panggung pertunjukan seni bernama “Medan Nan Bapaneh”.