Wayang golek sohor sebagai kesenian khas masyarakat Jawa Barat. Tapi, ternyata masyarakat Betawi juga punya wayang golek sendiri. Ceritanya bermula pada 1970-an. Tizar Muhammad Purbaya, seniman kelahiran Banten tapi tumbuh di Jakarta, memikirkan bagaimana pertunjukan wayang golek dapat dinikmati oleh khalayak lebih luas.
Pada 1970-an, pertunjukan wayang golek di Jakarta umumnya menggunakan Bahasa Sunda.
Pertunjukan wayang golek di Jakarta umumnya menggunakan Bahasa Sunda. Sedangkan di Jakarta, orang-orangnya memiliki beragam latar belakang bahasa. Dari Jawa Tengah, Sumatra, Kalimantan, sampai Sulawesi. Mereka lebih paham bahasa Indonesia ketimbang Sunda.
“Saya punya gagasan untuk menampilkan wayang golek berbahasa Indonesia dengan gaya lebih teatrikal sehingga semua orang bisa memahami pertunjukan wayang golek,” kata Tizar dalam Voice of the Puppet Masters: the Wayang Golek Theater of Indonesia yang disunting Mimi Herbert dan Nur S. Rahardjo. Dia berhasil mementaskannya dalam Festival Wayang di Jakarta pada 1974.
Tampil dalam lakon Secamuka, pertunjukan wayang golek berbahasa Indonesia garapan Tizar memperoleh pujian dari Boediardjo, menteri penerangan kala itu. “Inilah bentuk baru pertunjukan wayang golek. Dalang pentas dalam gaya teater,” kata Boediardjo.
Inilah bentuk baru pertunjukan wayang golek, yaitu dalang berpentas dalam gaya teater.
Dari pujian itu, muncul lagi ide baru dari Tizar. Dia telah tinggal di Jakarta sejak kecil dan merasakan sumsum kehidupan masyarakat Betawi. Dia melihat kesenian Betawi seperti gambang kromong dan teater lenong dengan takzim. Dia berpikir bagaimana jika dua kesenian itu berkawin dengan wayang golek. Pasti menarik, katanya.
Masyarakat Betawi kala itu telah memiliki kesenian wayang kulit Betawi. Lahir dari masyarakat Betawi Tambun, pertunjukan ini menggunakan bahasa dan cerita rakyat Betawi. Tizar berupaya mengadaptasinya. Dia menggunakan bahasa, idiom, nyanyian, alat musik, dan cerita yang tumbuh dalam masyarakat Betawi untuk pementasan wayang golek Betawi.
Tizar mulai membuat figur wayang golek baru untuk menyesuaikan dengan cerita masyarakat Betawi. Dibantu istri dan dua kawannya, pengerjaannya memakan waktu enam bulan. Lalu berlanjut ke latihan beberapa kali menjelang pentas. Akhirnya hari pentas pun tiba.
Pada hari Minggu 22 Juni 1975, pukul 10.00-11.30, Tizar memperkenalkan kreasi eksperimennya dalam sebuah acara anak-anak di Teater Arena Taman Ismail Marzuki Jakarta dengan nama Teater Boneka Jakarta Lenggang atau biasa disebut wayang lenggang.
Nama lenggang merujuk pada kebebasan dalam berkarya.
Nama lenggang merujuk pada kebebasan dalam berkarya. Tapi bukan berarti seenaknya. Wayang lenggang mengawinkan unsur-unsur kebudayaan Betawi dan Sunda dengan penekanan lebih pada kebudayaan Betawi. Dalam penampilan perdana itu, wayang lenggang garapan Tizar mengusung cerita pertemuan tiga lelaki Betawi dengan Gatotkaca. Menurut Kompas, 8 Juli 1975, ceritanya cukup berbobot dan dikarang orang yang mengerti agama dan kehidupan riil Betawi.
Tiga lelaki Betawi dalam figur wayang golek berbicara dalam bahasa Betawi. Mereka membicarakan apa saja, termasuk keseharian orang Betawi seperti penggusuran, pekerjaan, dan tanah. Sedangkan Gatotkaca muncul dalam figur wayang golek berbalut busana khas Sunda dan logat bicara Sunda.
Djaduk Djajakusuma, ketua Pusat Pewayangan Indonesia sekaligus pengajar Institut Kesenian Jakarta, berkomentar wayang lenggang masih perlu penyempurnaan. “Terutama dekornya. Harus dibikin indah,” kata Djaduk dalam Kompas.
Setelah itu, Tizar mementaskan wayang lenggang ke sudut-sudut kumuh Jakarta. Dia paling suka pentas di depan anak-anak di gang-gang sempit.
Tizar juga memperkenalkan wayang lenggang ke Singapura dan Jepang pada 1978 dan memperoleh sambutan baik. Tapi di dalam negeri, wayang lenggang justru kurang berkembang.
Sebagian seniman Betawi menganggap wayang lenggang bukan bagian dari kesenian Betawi. Beberapa lainnya cukup berterima terhadap kehadiran wayang lenggang.
Pada 2001, ama lenggang berubah jadi wayang golek Betawi.
Nama lenggang berubah jadi wayang golek Betawi pada 2001. Saat itu, Tizar pentas untuk menyambut hari ulang tahun Jakarta ke-474. Lakonnya tentang Si Jampang Jago Betawi. Dalam pertunjukan ini, Tizar menggunakan keterampilan merekacipta figur wayang. Ada adegan hidung figur wayang itu bergerak, kepalanya terbelah, terluka, dan lidahnya melet.
Secara penampilan, wayang golek Betawi tahun 2001 tak jauh beda dari wayang lenggang 1975. Masih dengan paduan gambang kromong dan lenongnya. Menjawab kritik Djaduk Djajakusuma, Tizar memperbaiki dekor panggung. Menurut catatan Kompas, 19 Juni 2001, setting panggungnya mengingatkan orang pada gaya panggung wayang Poo Tay Hie yang dikenal dalam masyarakat Tionghoa.
Setting panggung wayang golek Betawi mengingatkan orang pada gaya panggung wayang Poo Tay Hie yang dikenal dalam masyarakat Tionghoa.
Ornamen tugu Monas, sado, becak, pohon kelapa, dan ondel-ondel dalam panggung menambah unsur kebudayaan Betawi. Tapi rasa Betawi yang paling kuat dalam pentas ini adalah gaya lenong. Setiap orang bisa nyeletuk dengan bahasa Betawi nyablak (terus terang) serta ditanggapi oleh dalang dan pemegang wayang golek.
Sepeninggal Tizar pada April 2015, pentas wayang golek beralih ke tangan Reza Purbaya, putra Tizar. Dia mengenal wayang golek sejak kecil dan berkeliling kampung melihat ayahnya menjadi dalang wayang golek Betawi. Mengikuti jejak ayahnya, Reza berupaya membuat wayang golek semakin diterima masyarakat Betawi sebagai bagian dari kesenian mereka.