Sejauh ini, tidak ada sineas Indonesia yang mengungguli rekor kemenangan Piala Citra untuk kategori Sutradara Terbaik selain Teguh Karya. Enam Piala Citra telah ia raih, berkat karya-karyanya seperti Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), November 1828 (1979), Di Balik Kelambu (1982), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1989). Lebih dari itu, film-film garapannya secara keseluruhan telah membawa pulang sekitar 54 Piala Citra, membuktikan dominasinya di dunia perfilman Indonesia pada masanya.
Hingga kini, puluhan piala yang pernah diraih Sanggar Teater Populer masih dapat disaksikan di sanggar mereka yang berlokasi di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tersimpan rapi dalam lemari kaca, piala-piala tersebut turut mencatat nama-nama besar seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, dan Niniek L. Karim yang pernah berkarya di sana. Menariknya, kita mungkin saja melihat wajah para seniman legendaris ini dalam film-film terbaru yang dirilis tahun ini.

“Mau saya jual tapi nggak ada yang mau,” kata Slamet Rahardjo seraya menunjukkan piala-piala itu saat ditemui tim Indonesia Kaya.
Mungkin, piala-piala itu sebaiknya tidak dijual. Sebagai bagian penting dari sejarah perfilman Indonesia, benda-benda berharga ini lebih cocok disimpan bersama dalam satu tempat sebagai arsip.
Ruangan tempat piala dipajang bagaikan sebuah album kenangan. Dinding-dindingnya dipenuhi bingkai-bingkai besar. Di dalamnya, terpajang foto-foto bersejarah yang mengisahkan perjalanan Teater Populer. Mulai dari proses syuting film, pementasan teater, hingga momen-momen penghargaan. Para tokoh di balik kesuksesan kelompok teater ini, termasuk Teguh Karya, juga turut diabadikan dalam foto-foto tersebut.
Cinta Teater Sejak Kanak-Kanak
Teguh, yang lahir di Maja, Banten, pada 22 September 1937 dengan nama Liem Tjoan Hok, merupakan putra seorang perantau Tiongkok dan seorang ibu asal Bekasi. Setelah dibaptis, ia diberi nama tambahan ‘Steve’. Namun, saat dewasa dan menjadi sutradara, ia memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Teguh Karya agar sesuai dengan kebijakan pemerintah Indonesia pada masa itu.
Teguh, anak sulung dari lima bersaudara, menikmati masa kecil yang cukup berkecukupan. Ayahnya menjalankan usaha toko kelontong yang menyediakan kebutuhan sehari-hari keluarga.
Ibu Teguh sangat berharap anak sulungnya kelak menjadi pendeta. Saat kecil, Teguh memang aktif terlibat dalam kegiatan gereja dan sering kali berperan dalam drama-drama pementasan gereja, terutama saat perayaan Natal. Demi menghormati harapan ibunya, Teguh kemudian mengambil jurusan Teologi di perguruan tinggi. Namun, tak lama kemudian ia memutuskan untuk berhenti karena minatnya yang sebenarnya terletak pada dunia teater.
Ibu Teguh sangat berharap anak sulungnya kelak menjadi pendeta.
Ketertarikan Teguh pada seni dan sastra mulai tumbuh sejak tinggal bersama pamannya dari pihak ibu. Sang paman, seorang guru Bahasa Indonesia lulusan perguruan tinggi, menjadi pengaruh besar baginya. Di rumah pamannya yang kaya akan buku, saat berusia 14 tahun, Teguh sudah berkenalan dengan karya-karya sastrawan seperti Sutan Takdir Alisjahbana.
Sewaktu remaja, Teguh menemukan sebuah iklan koran yang menarik perhatiannya. Iklan itu memberitakan tentang adanya sekolah teater di Yogyakarta yang terbuka untuk lulusan SMP. Setelah lulus SMP pada 1953, ia pun merantau ke Yogyakarta untuk belajar di Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI). Agar orang tuanya tenang, Teguh mengatakan bahwa ia akan sekolah pertanian di sana. Mereka pun mengizinkan dan memberinya bekal uang Rp50.
Itu adalah kali pertama bagi Teguh untuk pergi keluar dari Banten. Uang yang diberikan orang tuanya tentu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untungnya, Teguh dinyatakan lulus dalam tes seleksi masuk ASDRAFI. Untuk membiayai hidupnya, Teguh bekerja sebagai penjaga toko sepeda pada pagi hari sebelum melanjutkan sekolah. Namun, kesulitan keuangan yang berkepanjangan membuatnya memutuskan untuk kembali kepada orang tuanya.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1957, ia melihat iklan di surat kabar mengenai peresmian Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang terbuka untuk lulusan SMA. Meski belum menyelesaikan pendidikan SMA, ia kembali termotivasi. Akhirnya, Teguh diterima sebagai mahasiswa luar biasa yang hanya diperbolehkan mengikuti kelas pada sore hari. Pagi harinya, ia bekerja di Pusat Perfilman Nasional. Malam harinya, ia mengikuti les privat untuk dapat lulus SMA.
Setahun kemudian, Teguh resmi menjadi mahasiswa di ATNI. Ia menorehkan banyak prestasi dan sempat mendapat beasiswa untuk bersekolah di Hawaii. Di ATNI, Teguh bertemu guru-guru yang cukup ia kagumi dan menjadi inspirasi dalam berkarya. Di antaranya adalah Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma.
“Di ATNI inilah saya berkenalan dengan teater barat. Repertoar dunia, dramaturgi barat, sejarah teater barat, penataan artistik barat, dan yang lainnya mengenai barat,” demikian yang tertulis di buku Teguh Karya dan Teater Populer 1968-1993.
Di ATNI inilah saya berkenalan dengan teater barat.
Setelah menamatkan studinya di ATNI, Teguh Karya melanjutkan kariernya sebagai pengajar di almamaternya. Bersamaan dengan itu, ia juga mengemban tanggung jawab sebagai Manajer Panggung di Hotel Indonesia. Di sela-sela kesibukannya, Teguh menginisiasi sebuah kursus akting yang ditujukan bagi mahasiswa. Melalui seleksi yang ketat, Teguh memilih beberapa mahasiswa berbakat untuk mengikuti kursus tersebut, di antaranya N. Riantiarno, Slamet Rahardjo, dan Mieke Widjaja.
Di Hotel Indonesia, Teguh ditugaskan untuk menyusun program kebudayaan dengan tujuan memperkenalkan seni dan budaya Indonesia kepada para wisatawan dan tamu hotel. Program ini merupakan inisiatif langsung dari Presiden Soekarno. Peran tersebut menuntut Teguh untuk menjelajahi berbagai daerah di Indonesia guna mengamati beragam bentuk seni. Melalui pengalaman tersebut, ia semakin mendalami dan mengagumi dunia teater.
Teater Populer Hotel Indonesia
Teguh mantap menginisiasi pementasan teater rutin sebagai program budaya di Hotel Indonesia. Ia mengumpulkan rekan-rekan seprofesi yang memiliki kecintaan yang sama terhadap teater. Beberapa di antaranya adalah Tuti Indra Malaon, Iskandar Zulkarnain, Ishaq Iskandar, Franky Rorimpandey, Dewi Sawitri Matindas, Henky Sulaiman, N. Riantiarno, Slamet Rahardjo, Sylvia Nainggolan, Mieke Wijaya, Rahayu Effendi, Boyke Roring, dan Bustami.
Pada 14 Oktober 1968, Teater Populer Hotel Indonesia diresmikan. Pementasan kedua mereka yang bertajuk Kammerherre Alving dan Antara Dua Perempuan, langsung menyedot perhatian publik dengan dihadiri 800 penonton di Bali Room Hotel Indonesia.
Berbagai media massa memberikan pujian terhadap pementasan ini. Majalah Pelopor Barumenyebut pementasan ini berhasil membuat penonton tertawa dan menyajikan nuansa segar di tengah rutinitas kehidupan sehari-hari. Sementara itu, Mingguan Angkatan Bersenjatamengapresiasi penampilan memukau Slamet Rahardjo sebagai salah satu pemainnya.
Pada malam itu, setiap tamu menerima formulir pendaftaran untuk menjadi anggota penonton tetap Teater Populer Hotel Indonesia. Dengan iuran bulanan sebesar Rp250, metode promosi ini terbukti efektif. Tercatat sekitar 3.000 orang mendaftar sebagai anggota.
Dalam kurun waktu 1968-1970, terdapat 18 pementasan yang diadakan di Bali Room Hotel Indonesia. Seluruh pementasan tersebut merupakan adaptasi dari naskah-naskah barat. Setelah Taman Ismail Marzuki (TIM) diresmikan, kelompok Teater Populer Hotel Indonesia memutuskan untuk berpentas secara rutin di TIM dan melepaskan diri dari manajemen hotel tersebut. Nama kelompok pun diubah menjadi Teater Populer, dan jumlah anggota kelompok juga bertambah.
“Teguh Karya membuat karya yang mudah dicerna orang. Itu lebih sulit dibanding buat karya jelek banget atau bagus banget,” cerita Slamet Rahardjo. Dengan gaya “mudah dicerna”, Teguh ingin teater bisa dinikmati oleh siapa saja. Ia tidak ingin membatasi penonton teater hanya pada kelompok tertentu.
Dengan gaya “mudah dicerna”, Teguh ingin teater bisa dinikmati oleh siapa saja.
Setelah meninggalkan Hotel Indonesia, Teguh Karya mulai mengeksplorasi dunia perfilman. Namun, berbeda dengan karya teaternya, film-film garapan Teguh Karya justru menuai banyak kritik. Kritikus film ternama, J.B. Kristanto atau lebih dikenal sebagai Kris J.B., berpendapat bahwa Teguh kurang berhasil menyampaikan pesan yang ingin ia sampaikan melalui film-filmnya.
“Film-filmnya menjadi samar atau inti persoalan yang ingin disampaikan jadi kurang jelas tertangkap. Bahkan kalau dilihat dari runtutan karya film ke filmnya, terkesan tidak ada satu jelujuran pemikiran atau benang merah yang segaris,” tutur Kris J.B. dalam Teguh Karya & Teater Populer 1968-1993.
Kritik boleh berdatangan, tetapi piala-piala tetap sampai di tangan.
Selain menyutradarai teater dan film, Teguh Karya juga aktif menyutradarai sinetron. Ia telah menghasilkan sekitar 20 judul sinetron. Naskah-naskah sinetron tersebut ada yang merupakan adaptasi dari cerita barat, ada yang ditulis sendiri olehnya, dan ada pula yang digarap oleh anggota Teater Populer.
Pada saat itu, ia menjadi salah satu orang yang paling produktif dan jelas-jelas seorang pekerja keras. Slamet ingat bahwa ia sering dibangunkan pada pukul 02.00 atau 03.00 dini hari untuk berlatih. Padahal, beberapa jam sebelumnya mereka baru saja selesai berlatih. “Dan, dia selalu menyapa ‘selamat pagi’. Walaupun itu bukan waktu pagi. Ucapan itu artinya, ‘ayo bekerja’,” ujar Slamet.
Bagi Slamet, latihan yang sering dilakukan Teguh merupakan bentuk kecintaan Teguh terhadap pekerjaannya. “Dia selalu bilang, cintai pekerjaanmu. Kalau kamu mau bekerja di teater, cintai teater,” lanjut Slamet yang saat ini berusia 75 tahun.
Badai Berlalu, Teguh Abadi
Bagi Teguh Karya, membuat film ibarat sebuah peperangan dalam menyatukan idealisme, penguasaan teknik, dan tanggung jawab. Teguh Karya menyutradarai 13 film dalam rentang waktu 1971-1993. Bila karya teater Teguh Karya menuai pujian dan jadi gebrakan, karya filmnya nampak berkebalikan. Film pertama Teguh Karya di tahun 1972, Wajah Seorang Laki-Laki,menuai kritik tajam.
Bagi Teguh Karya, membuat film ibarat sebuah peperangan dalam menyatukan idealisme, penguasaan teknik, dan tanggung jawab.
Harian Kompas yang terbit Sabtu, 13 Mei 1972, memuat tulisan Emmanuel Subangun yang mengulas Wajah Seorang Laki-Laki. Ia menulis bahwa akting para pemain seperti WD Mochtar, Slamet Rahardjo, dan Rima Melati terasa kurang tepat karena terlalu dibuat-buat. Emmanuel melanjutkan, editing tidak rapi, tidak ada kepaduan, unsur dramatis lemah, klimaks terasa datar.
“Itulah kesan sehabis melihat WAJAH SEORANG LAKI-LAKI, yang rupa-rupanya harus diubah saja menjadi Wajah Seribu Ekor Kuda dalam jaman kompeni. Dan kita tak bisa berkata lain selain menegaskan kembali bahwa watak yang prosais, teater, bertele-tele menyebabkan bahasa gambar film tidak efektif dan mengambang, membosankan, dan (dengan sendirinya!) cukup mengecewakan,” tulis Emmanuel.
Tapi Teguh terus berupaya berbenah diri. Pada 17 Mei 1979, harian Kompas kembali menayangkan ulasan film karya Teguh, November 1828, yang ditulis kritikus Kris JB.
“Film ini menjadi tonggak, tidak hanya karena dia mungkin akan menimbulkan genre tersendiri dalam film, tapi juga karena dia berhasil menembus hambatan teknis yang mengungkung dunia film Indonesia pada lingkaran setan,” tulis Kris.
November 1928 meraih delapan Piala Citra untuk kategori Aktor Pembantu Terbaik (El Manik), Ilustrasi Musik Terbaik (Franki Raden), Sinematografi Terbaik (Tantra Suryadi), Penata Artistik Terbaik (Benny Benhardi), Sutradara Terbaik (Teguh Karya), Film Cerita Terbaik, Aktor Terbaik kedua (Maruli Sitompul), Editing Terbaik kedua(Tantra Suryadi).
Selanjutnya, publik terbiasa melihat film Teguh Karya yang meraih banyak Piala Citra. Ibundaadalah film yang meraih Piala Citra terbanyak (9). Aktris Terbaik (Tuti Indra Malaon), Aktris Pembantu Terbaik (Niniek L. Karim), Sinematografi Terbaik (George Kamarullah), Ilustrasi Terbaik (Idris Sardi), Cerita Asli Terbaik (Teguh Karya), Penata Artistik Terbaik ( Aji Mamat Borneo), Rekaman Suara Terbaik (Zakaria Rasyid), Sutradara Terbaik, dan Film Cerita Terbaik.
Ada pula film yang memenangkan sedikit Piala Citra tapi masih bisa dikatakan populer di kalangan anak muda saat ini; Badai Pasti Berlalu. Film yang kisahnya diadaptasi dari novel karya Marga T itu menang tiga kategori yakni Editing Terbaik (Tantra Suryadi), Ilustrasi Musik Terbaik (Eros Djarot), dan Rekaman Suara Terbaik (Suparman Sidik). Film monumental ini juga diperankan oleh sejumlah aktor kawakan seperti Christine Hakim, Roy Marten, Slamet Rahardjo, Mieke Wijaya, dan Rahayu Effendi. Untuk lagu tema filmnya, Eros Djarot menggandeng Chrisye dan Berlian Hutauruk.
Penghargaan-penghargaan untuk karya Film Teguh, semakin melambungkan berbagai nama yang terlibat di dalamnya. Orang-orang yang sesungguhnya telah bekerjasama dengan Teguh dalam Teater Populer. Kelak kita mengenal nama-nama itu dengan kesan ‘orang-orangnya Teguh Karya’.
Selain membuat karya Film, Teguh juga menyutradarai beberapa judul sinetron. Karya sinetron ini diproduksi sejak 1968-1993. Naskah ceritanya tidak hanya buah pikiran Teguh Karya tetapi juga anggota Teater Populer seperti N.Riantiarno dan juga naskah-naskah hasil adaptasi penulis internasional seperti Anton Chekov.
Teguh sang Pendidik
“Yang membedakan Teguh Karya dengan yang lain adalah dia sadar kaderisasi,” ujar Slamet.
Tanpa Teguh Karya, kita mungkin tidak akan mengenal sosok-sosok seperti Slamet Rahardjo, N. Riantiarno, Tuti Indra Malaon, Niniek L. Karim, Christine Hakim, Alex Komang, dan para anggota Teater Populer lainnya seperti sekarang ini.
Penyair W.S. Rendra memandang Teguh sebagai seorang dermawan. Jika tidak ada motivasi dari Teguh, Rendra tidak akan sebegitu serius dalam mengelola Bengkel Teater. Teguh menjalin hubungan yang baik dengan para pegiat teater lainnya pada waktu itu, seperti Arifin C. Noer (Teater Kecil) dan Putu Wijaya (Teater Mandiri). Ia tidak menganggap rekan-rekannya sebagai pesaing, melainkan sebagai teman yang harus didukung. Menurutnya, kemajuan bersama dapat tercapai melalui karakter yang berbeda-beda.
Jika tidak ada motivasi dari Teguh, Rendra tidak akan sebegitu serius dalam mengelola Bengkel Teater.
Kini, Teater Populer hampir berusia 55 tahun. Slamet sebagai ketua Teater Populer sekaligus penerus Teguh, tengah mempersiapkan pementasan berjudul Dag Dig Dug yang akan dipentaskan pada akhir 2024. Pemainnya Slamet dan Niniek L. Karim.
Teater Populer memang tidak fokus mencari anggota baru dalam jumlah besar. Mereka yang masih aktif terlibat adalah mereka yang bergabung sejak awal pembentukan kelompok kecil beranggotakan belasan orang tersebut.
Kita dapat memandang mereka sebagai sebuah kelompok seni yang berkolaborasi menciptakan karya melalui berbagai media. Slamet menegaskan bahwa semangat adalah hal utama yang mereka jaga. “Kreativitas tidak boleh mati.” Pesan itu yang berulang disampaikan Teguh kepada anggota Teater Populer. Kata-kata yang juga terpatri pada batu nisannya saat meninggal dunia pada 11 Desember 2001.
Kini, suasana di sanggar Teguh Karya terasa tenang. Rumah yang juga menjadi kediaman beliau masih menyimpan tumpukan naskah karya-karyanya. “Saya mau terbuka saja. Masih ada hal yang harus saya bereskan tapi belum sempat,” ujar Slamet. Di depannya menjulang tumpukan binder tebal yang harus diarsipkan dengan rapi. Ruangan itu sudah sesak penuh oleh naskah, furnitur, dan lemari-lemari yang terisi penuh. Suasana ruangan terasa sesak, berbeda dengan ruangan lain yang lapang dan menenangkan.
Ada hari-hari ketika mahasiswa datang ke perpustakaan sanggar untuk mencari buku tentang teater, film, dan kebudayaan. Tempat itu masih menghidupkan natur pedagogis Teguh Karya.