Watu Pinawetengan, yang secara harfiah berarti “batu pembagian”, adalah sebuah situs Megalitikum yang menjadi lambang awal mula peradaban Suku Minahasa, yakni suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Utara. Situs ini memiliki nilai historis dan budaya yang penting bagi masyarakat Minahasa, serta memberikan wawasan berharga mengenai perkembangan peradaban Suku Minahasa yang terbagi menjadi berbagai sub-etnis berbeda.
Hubungan Suku Minahasa dengan Watu Pinawetengan
Minahasa, yang terletak di sebelah utara Pulau Sulawesi, adalah sebuah daerah dengan ukuran yang relatif kecil namun memiliki kebudayaan yang beragam. Nama “Minahasa” sendiri memiliki arti “menjadi satu” yang berasal dari kata “esa” dengan awalan “minaha”. Secara tertulis, sebutan ini pertama kali muncul dalam laporan Residen Manado J.D. Schierstein untuk Gubernur Maluku pada tahun 1789 yang mencatat perdamaian antara kelompok sub-etnis Bantik dan Tombulu dalam Perang Tateli.
Mengacu pada mitologi Minahasa, suku Minahasa adalah keturunan Toar dan Lumimuut. Awalnya, mereka terbagi menjadi tiga kelompok yakni Makarua Siouw yakni golongan pengatur ibadah dan adat, Makatelu Pitu yakni golongan pengatur pemerintahan, dan Pasiowan Telu yakni para rakyat, yang kemudian berkembang memenuhi wilayah pemukiman Tu’ur Intana. Hingga suatu masa mereka dihadapkan pada musibah dan bencana alam beruntun yang menjadi pertanda untuk menemukan tempat tinggal yang baru.
Mengacu pada mitologi Minahasa, suku Minahasa adalah keturunan Toar dan Lumimuut.
Akhirnya setelah melalui ekspedisi panjang, mereka tiba di sebuah bukit bernama Tonderukan. Tempat ini dikelilingi keindahan alam, luas, subur, dekat dengan sumber mata air, bebas dari gangguan hewan buas, serta terletak di tengah-tengah area Minahasa. Segeralah mereka membangun pemukiman yang baru. Para pemimpin adat yang disebut tona’as kemudian memilih lokasi di mana terdapat sebuah bongkahan batu besar untuk menjadi tempat pertemuan mereka.
Dalam pertemuan tersebut, terjadi tiga pembagian penting yakni Pahasiwohan (pembagian wilayah), Pinawetengan un Nuwu (pembagian bahasa), dan Pinawetengan un Posan (pembagian ritual). Berdasarkan pembagian ini, keturunan mereka pun dibagi menjadi beberapa suku sub-etnis yang disebut sebagai pakasa’an yakni Suku Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tondano, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik, Babontehu, Borgo, dan Siau. Batu di lokasi pertemuan ini kemudian disebut dengan Watu Pinawetengan.
Namun dari sembilan marga tersebut, ada pendapat yang mengatakan jika tak semua terbentuk langsung saat pembicaraan di Watu Pinawetengan. Seperti dalam tulisan Graafland tahun 1991 yang menyebutkan empat sub-suku yang pertama terbentuk adalah Tou’mbulu untuk Tombulu, Tou’nsea untuk Tonsea, Toulour untuk Tondano, dan Tounpakewa untuk Tontemboan. Kata “tou” sendiri berarti orang. Mereka disebut sebagai “mereka yang bersatu” karena memiliki leluhur, adat, dan bahasa yang sama. Namun dari catatan Johann Gerard Friedrich Riedel dalam tulisannya tahun 1870, ia hanya menyatakan tiga pakasa’an yakni Tombulu, Tonsea, dan Tontemboan. Sedangkan pakasa’an Tondano disebut sebagai pecahan dari Tonsea, dan ada juga yang berkata jika Tondano ikut serta dalam pertemuan Watu Pinawetengan dengan nama Tousendangan atau Tousingal.
Seperti dalam tulisan Graafland tahun 1991 yang menyebutkan empat sub-suku yang pertama terbentuk adalah Tou’mbulu untuk Tombulu, Tou’nsea untuk Tonsea, Toulour untuk Tondano, dan Tounpakewa untuk Tontemboan.
Sedangkan sub-etnis Bantik mendiami Kota Manado dan sekitarnya; pakasa’an Pasan, Ponosokan, dan Tonsawang mendiami kawasan selatan Minahasa Raya; pakasa’an Babontehu mendiami Pulau Manado Tua dan sekitarnya; pakasa’an Borgo adalah para keturunan orang Minahasa yang menikah dengan orang-orang Eropa seperti Belanda, Portugis, dan Spanyol; dan pakasa’an Siau mendiami Pulau Siau.
Watu Pinawetengan Sebagai Pusat Budaya
Hasil pembagian-pembagian ini dituliskan pada Watu Pinawetengan dalam bentuk goresan dan simbol. Namun sayangnya hingga kini, meskipun telah banyak peneliti yang mempelajarinya, belum ada yang berhasil mengartikan goresan-goresan tersebut. Tidak jauh dari Watu Pinawetengan, terdapat dua batu lain yang dikenal sebagai Watu Kopero dan Watu Siouw Kurur. Kedua batu tersebut menjadi petunjuk adanya makam para leluhur Suku Minahasa di tempat tersebut.
Selain digunakan sebagai tempat pertemuan dan diskusi, Watu Pinawetengan juga menjadi tempat para keluarga Minahasa berkumpul untuk mempererat ikatan kekeluargaan. Dari pertemuan-pertemuan tersebut, muncul beberapa prinsip dan amanat seperti masawawangan yang berarti saling tolong-menolong, masasan yang berarti persatuan dan kesatuan, serta malioliosan yang berarti saling berbuat baik.
Selain digunakan sebagai tempat pertemuan dan diskusi, Watu Pinawetengan juga menjadi tempat para keluarga Minahasa berkumpul untuk mempererat ikatan kekeluargaan.
Amanat ini konon menginspirasi Sam Ratulangi, seorang tokoh kemerdekaan Indonesia, mencetuskan slogan “Si Tou Timou Tumou Tou” yang memiliki makna bahwa hidup bukanlah hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk menghidupi orang lain
Bukti pentingnya Watu Pinawetengan sebagai titik awal peradaban suku Minahasa di wilayah Nusantara akhirnya membuat HV Worang, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Utara, secara resmi meresmikan situs Watu Pinawetengan pada tanggal 1 Desember 1974. Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang No 11 tahun 2010, Situs Watu Pinawetengan dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah. Status ini semakin menegaskan bahwa Watu Pinawetengan bukan hanya sekadar batu biasa, tetapi tempat di mana peradaban Minahasa dimulai dan nilai-nilai kemanusiaan diperoleh.