Di Lampung, hidup sebuah tradisi seni yang memikat lewat ekspresi kayu dan cerita—disebut tupping. Seni topeng ini tumbuh di daerah Kalianda, Lampung Selatan, dan diwariskan turun-temurun sebagai bagian dari pertunjukan adat maupun upacara keagamaan. Setiap topeng dipahat dengan detail, menghadirkan beragam karakter yang menggambarkan sifat manusia dan nilai kehidupan masyarakat Lampung.
Dalam satu pertunjukan tupping, penonton dapat menjumpai berbagai sosok: ksatria gagah nan sakti, tetua bijaksana, bangsawan berwibawa, hingga tokoh jenaka yang mengundang tawa. Ada pula wajah putri lembut, anak yang bersedih, dan prajurit berwatak keras—semuanya hidup dalam tarian, musik, dan kisah yang menyatu dalam harmoni. Tupping bukan sekadar hiburan, tetapi juga cermin kearifan lokal yang mengajarkan keberanian, kesetiaan, dan kebijaksanaan.
Setiap topeng dipahat dengan detail, menghadirkan beragam karakter yang menggambarkan sifat manusia dan nilai kehidupan masyarakat Lampung.
Pada masa lampau, topeng-topeng ini dipandang suci dan dijaga dengan aturan yang ketat. Jumlahnya di setiap wilayah bersifat tetap—tidak boleh ditambah, dikurangi, apalagi dibuat tiruannya. Kesakralannya pun menuntut penghormatan khusus: hanya orang dari garis keturunan tertentu yang berhak mengenakannya. Di Kuripan, misalnya, terdapat dua belas topeng yang diwariskan turun-temurun, sementara di Canti, jumlahnya sama, tetapi hanya boleh dipakai oleh para pemuda berusia sekitar dua puluh tahun sebagai simbol kedewasaan dan tanggung jawab.
Kini, warisan leluhur itu tetap hidup dalam bentuk pertunjukan drama tari bertema kepahlawanan. Dalam setiap pentas, para penari membawakan kisah perjuangan tokoh-tokoh besar seperti Radin Inten I, Radin Imba II, dan Radin Inten II—pahlawan Lampung yang berani menentang penjajahan Belanda. Melalui gerak, irama, dan karakter para tokoh bertopeng, masyarakat Lampung terus merayakan semangat juang serta kebanggaan akan identitas budayanya.