Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan novel sastra Indonesia karangan Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih populer dengan nama pena Hamka atau Buya Hamka. Novel ini awalnya merupakan cerita bersambung yang terbit pada 1938 dalam majalah Pedoman Masyarakat. Kemudian dikumpulkan dan diterbitkan di Medan sebagai sebuah novel pada 1939 lewat penerbit milik kawannya M. Syarkawi. Mulai terbitan ketiga hingga delapan sejak 1951, Hamka beralih ke Balai Pustaka saat penerbit ini sudah dimiliki negara.
Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan novel yang kental dengan penggambaran budaya Minangkabau. Pembaca dapat mengenal berbagai aturan dalam adat Minangkabau, dari mulai hubungan antara mamak (paman) dan kemenakan (keponakan), aturan perkawinan adat, budaya merantau, hingga pembagian harta warisan. Penggambaran budaya Minang dalam novel ini tidak bisa dilepaskan dari asal-usul sang penulis yang lahir di budaya matrilineal. Hamka yang merupakan keturunan seorang pemuka agama Islam bernama Haji Abdul Karim Amrullah ini banyak menuliskan buku yang bersifat keagamaan seperti Tafsir Al-Azhar dan Kedudukan Perempuan dalam Islam, serta kisah dengan infusi unsur Islam seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah..
Novel yang kental dengan penggambaran budaya Minangkabau.
Hamka juga turut mempraktikkan budaya merantau di usia sangat m’uda. Ia sempat tinggal di Jawa untuk melihat kehidupan masyarakat muslim yang bertujuan memajukan umat Islam. Ternyata umat muslim di Jawa berbeda dengan di Minangkabau yang menurutnya hanya berkutat dalam perdebatan praktik Islam. Hamka fasih berbahasa Arab, juga sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah yang membuka pandangannya akan kehidupan Islam di sana. Kemudian ia merantau ke Medan dan Makassar tempat Hamka menggali bakat menulisnya.
Hasil perantauan dan latar belakang hidupnya banyak memengaruhi Hamka dalam berkarya. Masa kecilnya dalam budaya matrilineal yang kental, ditambah kepahitan menyaksikan perceraian adat orang tuanya, ditambahkan dengan pengetahuannya akan Islam dan budaya modern, membuat novel-novel Hamka seakan membenturkan adat istiadat Islam dengan kehidupan modern. Selain novel roman, Hamka juga menelurkan karya ilmiah Islam seperti Tasawuf Modern dan Tafsir Al-Azhar, yang banyak jadi rujukan dalam pendidikan Islam modern di Tanah Air.
Sinopsis Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck bercerita tentang kisah cinta antara Zainuddin dan Hayati, dua remaja yang saling jatuh cinta tetapi terhalang aturan adat Minangkabau. Zainuddin adalah anak dari Pandekar Sultan yang berasal dari Minangkabau dan Daeng Habibah, seorang wanita Makassar. Setelah sang ayah wafat, Zainuddin ingin belajar ke Minangkabau sekaligus melihat tanah kelahiran ayahnya. Kedatangan Zainuddin ke Padang justru menjadi pengalaman tidak menyenangkan. Di Padang, ia dianggap sebagai pria tak bersuku dan terbuang karena dilahirkan dari wanita yang bukan orang Minang. Kecewa dengan sambutan orang-orang sekampungnya, Zainuddin memutuskan pergi.
Ketika hendak meninggalkan tanah Minang, Zainuddin malah bertemu dengan seorang perempuan Minang bernama Hayati. Keduanya saling jatuh cinta dan menjalin komunikasi. Sayangnya keinginan untuk menikah terhalang ibunda Hayati yang tidak mau memberikan restu. Karena baginya Zainuddin tidak jelas asal-usulnya sehingga tak layak bersanding dengan Hayati yang berasal dari keluarga terpandang. Menuruti kemauan keluarganya, Hayati kemudian memilih menikahi pria yang dijodohkan dengannya, Aziz, seorang pria terpandang dan berasal dari suku yang sama dengan Hayati.
Menuruti kemauan keluarganya, Hayati kemudian memilih menikahi pria yang dijodohkan dengannya, Aziz, seorang pria terpandang dan berasal dari suku yang sama dengan Hayati.
Awalnya pernikahan keduanya tampak bahagia, tetapi waktu memperlihatkan karakter Aziz yang asli, gemar berfoya-foya dan menindas istrinya. Sementara Zainuddin yang memilih untuk pergi dan melupakan Hayati akhirnya pindah ke Pulau Jawa dan memulai kariernya sebagai penulis. Ketika Zainuddin semakin sukses, justru Hayati dan Aziz yang kian terpuruk, dan mendorong pasangan suami istri tersebut untuk pindah ke Surabaya. Di sanalah Hayati dan Zainuddin dipertemukan kembali.
Lika-liku percintaan kedua manusia ini dibangun lewat surat-surat yang saling dikirimkan oleh para tokohnya. Meskipun tak memiliki porsi besar dalam membangun alur cerita, surat-surat ini justru membangun perasaan sentimental yang membuat pembaca seakan menyaksikan pertukaran rasa antara manusia yang rahasia dan sakral. Bisa jadi ini salah satu alasan mengapa novel ini memiliki pesona yang diminati oleh banyak pembaca hingga dicetak berulang kali.
Polemik Terkait Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Dua puluh tiga tahun setelah novel ini terbit, pada tahun 1961, muncul tuduhan bahwa novel Hamka merupakan hasil jiplakan. Tuduhan dilayangkan oleh penulis Abdullah Said Patmadji. Tuduhan tersebut dituliskan Abdullah pada lembaran kebudayaan Lentera dalam harian Bintang Timur, yang terbit tahun 1962. Menurut Abdullah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan jiplakan dari Magdalaine karya Alphonse Care yang diterjemahkan Said Mustafa al-Manfaluthi dalam bahasa Arab. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa gaya penulisan, jalan pikiran, dan filsafat dalam novel Hamka sangat mirip dengan milik Al-Manfaluthi. Tenggelamnya Kapal van der Wijck bahkan memiliki begitu banyak kemiripan dengan kisah Magdalaine baik dari tema dan isinya. Hanya karakter dan latar yang diganti agar sesuai dengan lokasi setempat.
Menurut Abdullah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan jiplakan dari Magdalaine karya Alphonse Care yang diterjemahkan Said Mustafa al-Manfaluthi dalam bahasa Arab.
Tuduhan Abdullah S. P. ini kemudian dikutip Kantor Berita Antara pada 19 September 1962, yang membuat pemberitaan mengenai kontroversi makin meluas. Bahkan Pramoedya Ananta Toer sebagai pimpinan Bintang Timur yang juga seorang sastrawan dan pengagum Hamka, mengaku kecewa dengan tuduhan ini. Ia mengharapkan agar Hamka meminta maaf kepada seluruh pembacanya.
Namun tak sedikit pula pihak yang membela Hamka. Salah satunya Ali Audah, seorang penerjemah yang telah menerjemahkan karya Al-Manfaluthi dalam bahasa Indonesia. Ia menyatakan meski ada persamaan antara karya Hamka dan Al-Manfaluthi, tetapi gaya penulisan dan kreativitas milik Hamka masih dapat dilihat dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Hamka juga bercerita tentang kekuasaan dan adat Minangkabau, yang menegaskan bahwa karya ini masih merupakan buah pikir Hamka. Sementara kritikus sastra Indonesia yang juga mantan redaktur Balai Pustaka, Zuber Usman, menyebutkan bahwa memang Hamka banyak terpengaruh Al-Manfaluthi, tetapi tidak semata-mata menjiplaknya.
Selama polemik tentang karyanya bergulir, Hamka memilih diam. Hingga akhirnya ia berkomentar pada harian Berita Minggu (No. 31, 30 September 1962). Hamka tidak membantah bahwa ia banyak terpengaruh dari Al-Manfaluthi, tetapi ia menolak secara tegas disebut sebagai penjiplak. Hamka menyebutkan bahwa ia percaya pada keadilan Tuhan. Jika seandainya ia bersalah, maka pastilah ia sudah jatuh. Menurutnya tuduhan plagiarisme yang dituduhkan hanyalah upaya politis untuk menjatuhkan namanya.
Pembuktian pun dilakukan dengan menerjemahkan karya Al-Manfaluthi ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian H. B. Jassin, kritikus sastra menjelaskan bahwa meskipun terdapat persamaan tema, plot, dan pikiran, karya Hamka jelas bersumber dari pikiran dan pengalaman pribadi sang seniman. Keterangan H. B. Jassin memperkuat bukti bahwa Hamka tidak menjiplak. .
Kritikus sastra menjelaskan bahwa meskipun terdapat persamaan tema, plot, dan pikiran, karya Hamka jelas bersumber dari pikiran dan pengalaman pribadi sang seniman.
Meskipun sempat tersandung kontroversi, tak membuat pesona karya sastra Indonesia ini padam. Tenggelamnya Kapal van der Wijck masih menjadi salah satu novel Indonesia yang terus dicari, dibaca, dan dikaji baik dari segi sastra maupun pengaruh sosial dan budaya dalam naskahnya. Isu mengenai aturan adat, pertentangan budaya serta status sosial juga dianggap masih relevan dengan kondisi di Indonesia saat ini, yang membuat novel ini tak pernah kehilangan daya tariknya.
Hal ini juga yang membuat Soraya Intercine Film mengadaptasi karya Hamka dalam sebuah film. Dirilis pada tahun 2013 lalu, Tenggelamnya Kapal van der Wijck menghabiskan waktu pra-produksi hingga lima tahun dan biaya yang besar, hingga membuatnya menjadi film termahal yang pernah diproduksi Soraya Intercine Film ketika itu. Film ini dibintangi banyak aktor kenamaan, yaitu Herjunot Ali sebagai Zainuddin, Pevita Pearce sebagai Hayati, dan Aziz yang diperankan Reza Rahadian.