DOL (bedug) dan alat musik tradisional lainnya bergema layaknya genderang perang. Para penari, dengan busana warna cerah, bergerak lincah, menari, menggambarkan kisah kepahlawanan Husain bin Ali bin Abi Thalib (cucu Nabi Muhammad SAW) beserta pasukannya dalam peperangan melawan pasukan Ubaidillah bin Zaid di Padang Karbala.
Itulah tari tabot dari Bengkulu, tari kreasi baru yang menggambarkan upacara tabot –kadang juga ditulis tabut. Inti dari tarian ini adalah menceritakan kisah kepahlawanan Husain.
Tari Piriang Suluah, Visualisasi Kehidupan Masyarakat Petani Padang Panjang
Kata “tabot” berasal dari bahasa Arab yang artinya “peti mati”. Tapi dalam perayaan ini, tabot ditujukan untuk menyebut sebuah bangunan serupa pagoda atau menara masjid bertingkat yang terbuat dari kayu atau bambu. Tabot itu nantinya diarak oleh sejumlah orang dalam perayaan.
Para penari mengenakan pakaian adat Bengkulu berupa baju longgar lengan pendek, celana panjang, dan hiasan kepala. Semua warnanya cerah dan senada. Perempuan dan lelaki boleh ambil bagian. Para penari juga mengenakan aksesoris kepala yang menyerupai tabot, mahkota, membawa tongkat, dan selendang.
Tari tabot tak mempunyai pakem. Masing-masing kelompok bebas membuat kreasi baru dengan tetap menyimbolkan suasana dalam perang di Karbala.
Tari tabot biasanya ditampilkan dalam upacara tabot yang digelar setiap 1-10 Muharram (bulan pertama dalam kalender Islam/Hijriah), bertepatan dengan wafatnya Husain. Tradisi ini berasal dari orang-orang Syiah, salah satu sekte di kalangan umat Islam, dari Iran (Persia).
Hariadi, Refisrul, dan Rois Leonard Arios dalam Inventarisasi Perlindungan Karya Budaya Bengkulu: Tabut menyebut bukti tertulis kapan dan siapa yang melaksanakan upacara tabot kali pertama belum ditemukan. Namun, anggota Keluarga Kerukunan Tabot meyakini perayaan ini sudah dimulai sejak kedatangan Imam Maulana Ichsad, keturunan Ali Zainal Abidin bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib. Pelaut ulung asal Punjab, Pakistan, ini datang bersama rombongan di Bandar Sungai Serut, Bengkulu, pada 1336 M.
“Perayaan tabot diteruskan Syah Bedan dan anaknya, Burhanuddin Imam Senggolo. Untuk periode berikutnya, keturunan Imam Senggolo yang mempertahankan dan melanjutkan tradisi tabot di Bengkulu,” catat mereka.
Imam Senggolo menjejakkan kakinya di Bengkulu bersama Inggris untuk memimpin pembangunan benteng sekaligus pangkalan dagang Fort Marlborough pada 1685. Para pekerja lalu menetap dan mendirikan permukiman. Mereka berasimilasi dengan masyarakat setempat dan menghasil kan keturunan yang dikenal dengan sebutan orang Sipai. Mereka juga mewariskan tradisi tabot yang dibawa dari Madras dan Benggali kepada keturunan mereka.
“Tradisi berkabung yang dibawa dari negara asalnya tersebut mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat, dan kemudian diwariskan dan dilembagakan menjadi apa yang kemudian dikenal dengan sebutan upacara tabot,” catat Katalog Warisan Budaya Tak Benda Indonesia 2018, Buku Dua.
Dari Bengkulu, ritual ini menyebar ke wilayah lain di Sumatra. Namun zaman berubah. Sejak lepasnya pengaruh Syiah, upacara tabot dilakukan hanya sebagai kewajiban keluarga untuk memenuhi wasiat leluhur.
Michael Feerner dalam “Tabut: Muharram Observanse in the History of Bengkulu” di Studia Islamika Vol. 6 No. 2 1999 menyatakan ada sejumlah perlengkapan untuk menggelar tabot. Antara lain tabotnya sendiri, sesaji, dol (semacam beduk), tessa (semacam rebana), tombak, panji-panji, sorban (kain penutup kepala), dan replika pedang milik Nabi Muhammad.
“Jumlah tabot sakral dalam upacara berjumlah 17 buah yang menunjukkan kepada jumlah keluarga awal yang melaksanakan tabut,” catat Hariadi, Refisrul, dan Rois Leonard Arios.
Ada sembilan tahapan dalam perayaan tabot. Urutannya: ambik tanah (mengambil tanah), duduk penja (mencuci jari-jari/tembaga berbentuk telapak tangan manusia), menjara (mendatangi kelompok lain untuk mengadu mahir memukul dol), meradai (mengumpulkan dana), arak penja (mengarak jari-jari), arak serban (mengarak surban), gam (masa tenang/berkabung), arak gedang (mengarak tabot masing-masing grup), dan tabot tebuang (membuang tabot). Tiap tahapan berlangsung selama satu hari dan menggambarkan tahapan perang di Karbala.
Selama tahap arak-arakan itulah biasanya peserta tabot akan menari mengikuti irama alat musik. Sebagian mereka membawa panji-panji, tombak, dan pedang. Lainnya membawa tabot. Gerakan mereka terdiri dari melompat sana-sini, terlentang, duduk, dan berdiri kembali. Gerakan itu menggambarkan suasana senang, tegang, dan duka.
Seiring waktu, masyarakat Bengkulu mulai kedatangan orang-orang Tionghoa, Jawa, dan daerah Sumatra lainnya. Mereka kemudian kawin-mawin dan ikut mempengaruhi perubahan pemaknaan terhadap tabot.
“Ia digunakan sebagai wahana untuk menyatukan identitas mereka. Untuk mengakomodasi fungsi baru tersebut, unsur agama dalam tabut ditekan, sementara aspek lokal ditonjolkan sedemikian rupa sehingga ia sekarang dianggap sebagai budaya lokal,” catat Feerner.
Semasa Orde Baru, tari tabot mulai dikenal luas dan menjadi agenda rutin dalam program turisme seperti “Visit Indonesia Year”. Selain itu, pemerintah menggunakan tabot untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Termasuk pula gerakan tari-tarian dalam perayaan tabot. Fungsi upacara tabot kemudian berubah dari ritual bernuansa keagamaan menjadi festival kebudayaan belaka.
Setelah Reformasi hingga sekarang, tabot masih digelar tiap tahun dan tetap menjadi agenda rutin program turisme nasional atau pemerintah setempat. Bedanya, kini tabot juga masuk dalam festival atau lomba. Salah satunya berupa pengembangan tari tabot hingga ke sekolah dasar.
“Belakangan, sejak satu dekade terakhir, selain melaksanakan wasiat leluhur, upacara ini juga dimaksudkan sebagai wujud partisipasi orang-orang Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya daerah Bengkulu setempat,” catat Katalog Warisan Budaya Tak Benda Indonesia 2018.
Dengan demikian, tari tabot terus lestari dengan ekspresi dan pemaknaan baru. Tak heran jika perayaan tabot dan tari-tariannya menjadi ajang paling ditunggu wisatawan yang berkunjung ke Bengkulu.*