Pawai Tatung adalah parade atraksi kesaktian warga Dayak-Tiongkok dalam rangkaian perayaan Cap Go Meh. Atraksi ini mengikuti tradisi Tionghoa yang berbaur dengan budaya Dayak dan hanya bisa ditemukan di Singkawang, Kalimantan Barat. Sesuai namanya, pawai dimeriahkan oleh para tatung, sebutan bagi orang yang menusukkan benda tajam ke tubuhnya.
Meskipun perayaan Cap Go Meh dirayakan oleh semua orang Tionghoa di seluruh dunia, tetapi Pawai Tatung hanya dapat disaksikan di Indonesia. Secara harfiah, Tatung dalam bahasa Hakka memiliki arti orang yang dirasuki roh, dewa, leluhur, ataupun kekuatan supranatural.
Secara harfiah, Tatung dalam bahasa Hakka memiliki arti orang yang dirasuki roh, dewa, leluhur, ataupun kekuatan supranatural.
Ritual Persiapan Pawai
Sebelum Cap Go Meh berlangsung, biasanya warga Tionghoa Singkawang bergantian bersembahyang di vihara. Ritual ini dilakukan selama 13-15 hari setelah Tahun Baru Imlek. Hari itu disebut sebagai harimau putih, sehingga masyarakat Tionghoa bersembahyang dengan harapan tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Menjelang sore hari, banyak suhu atau pendeta yang keluar dan bersembahyang di vihara dengan tujuan meminta izin kepada para dewa, agar ritual Tatung berjalan lancar.
Upacara pemanggilan Tatung dipimpin oleh seorang pendeta, dengan cara mendatangkan roh orang yang sudah meninggal untuk merasuki para Tatung. Roh-roh yang dipanggil diyakini sebagai roh-roh baik, yang mampu menangkal roh jahat yang hendak mengganggu keharmonisan hidup masyarakat. Roh-roh baik tersebut adalah roh pahlawan dalam legenda Tiongkok, seperti panglima perang, hakim, sastrawan, pangeran, pelacur yang sudah bertobat dan orang suci lainnya.
Para Tatung diwajibkan berpuasa selama tiga hari sebelum hari perayaan dan dilarang memakan daging. Bagi yang sudah memiliki pasangan, harus tidak berhubungan badan selama tujuh hari sebelum hari perayaan tiba. Hal ini memiliki maksud agar para Tatung berada dalam keadaan suci sebelum perayaan. Tatung juga diyakini memiliki kekuatan supranatural yang mampu melakukan pengobatan dan pengusiran unsur-unsur jahat (tolak bala).
Orang yang menjadi Tatung pun bukanlah orang sembarangan. Biasanya mereka yang menjadi Tatung adalah seseorang yang memiliki garis keturunan baik, dan ayah atau kakeknya pernah menjadi Tatung. Tatung yang boleh mengikuti parade dalam festival Cap Go Meh di Singkawang pun harus memenuhi beberapa persyaratan. Salah satunya adalah memiliki legalitas berupa surat pernyataan lurah yang menyatakan bahwa ia benar-benar adalah seorang Tatung.
Biasanya mereka yang menjadi Tatung adalah seseorang yang memiliki garis keturunan baik, dan ayah atau kakeknya pernah menjadi Tatung.
Surat pernyataan tersebut akan digunakan untuk mendaftarkan diri ke sekretariat Tao. Surat Tatung dari sekretariat Tao itulah yang akan digunakan untuk mendaftar Festival Cap Go Meh. Tanpa surat tersebut, orang-orang yang mengaku sebagai Tatung akan dianggap sebagai Tatung ilegal dan tidak diperkenankan ikut serta dalam Pawai Tatung. Jika mereka memaksa ikut tampil, panitia tidak akan memberikan bantuan dana.
Proses seleksi ini bertujuan untuk memilih Tatung yang pantas tampil dalam acara budaya yang disaksikan oleh banyak wisatawan dan menjadikan magnet kota Singkawang. Hal ini dirasa penting karena ada saja Tatung yang beratraksi secara sadis atau menyeramkan, misalnya memakan hewan seperti anjing, ular, ayam secara hidup-hidup ketika tengah beraksi dalam kondisi tidak sadar/dirasuki roh.
Kemeriahan Pawai Tatung
Perayaan Cap Go Meh dilakukan setelah pawai lampion, arak-arakan barongsai, dan pawai naga. Pada perayaan Cap Go meh inilah Pawai Tatung dilaksanakan. Pawai Tatung dilaksanakan setelah mendapat berkat dan restu dari klenteng atau vihara.
Pawai dimulai dari altar Vihara. Pada awalnya para pendeta memberikan persembahan kepada Dewa To Pe Kong. Setelah minta diberkati keselamatan, mereka kemudian memanggil roh. Tubuh para Tatung ini dirasuki roh supaya menjadi kebal untuk kemudian diarak keliling kota dengan dandanan pakaian mewakili kelompok masyarakat Tionghoa atau Dayak.
Tubuh para Tatung ini dirasuki roh supaya menjadi kebal untuk kemudian diarak keliling kota dengan dandanan pakaian mewakili kelompok masyarakat Tionghoa atau Dayak.
Diiringi genderang, peserta pawai Tatung mengenakan kostum gemerlap pakaian kebesaran Suku Dayak dan Tiongkok di masa silam. Atraksi Tatung sarat akan hal mistik dan menegangkan. Misalnya, ada Tatung yang berdiri tegak di atas tandu menginjakkan kaki di sebilah mata pedang atau pisau, berjalan di atas pecahan beling, dan ada juga yang menancapkan kawat-kawat baja runcing ke pipi kanan hingga menembus pipi kiri.
Hal yang menarik dari atraksi ini adalah, para Tatung tidak sedikitpun merasakan sakit, tergores, atau terluka saat atraksi mengerikan ini dilakukan. Mereka melakukan atraksi mempertunjukkan kekebalan mereka dengan sesekali meminum arak atau menghisap darah ayam yang secara khusus disiapkan sebagai ritual. Saat pawai, para Tatung sebagian diarak dengan berjalan kaki, dan sebagian lain berdiri di atas takhta yang dipanggul oleh 4 orang, layaknya pembesar dari negeri Tionghoa.
Tatung diarak berkeliling kota Singkawang, dengan menempuh rute Lapangan Krisadana menuju Jalan Pelita, kemudian mengarah ke Jalan Yohana Godan dan Jalan GM Situt. Perjalanan kemudian berlanjut ke Jembatan Pasar Ikan, mengarah ke Jalan Setia Budi, ke Jalan Toko Obat 1001 dan ke Jalan Budi Utomo, serta melewati Jembatan Rusen.
Dari Jembatan Rusen, perjalanan mengarah ke Vihara Tri Dharma Bumi Raya dan ke Jalan Sejahtera. Setelah itu, pawai diarahkan menuju Jalan Kepol Mahmud dan berakhir di Muka Altar Elang. Terakhir, mereka berkumpul untuk melakukan sembahyang bersama kepada Thian (Tuhan) di altar pusat perayaan Cap Go Meh di Singkawang.
Asimilasi Budaya
Keberadaan Tatung dalam jumlah besar merupakan budaya khas Kota Singkawang saat perayaan Cap Go Meh. Sebagai pesta kebudayaan, pawai Tatung memiliki sisi ritual religi yang cukup kental dan mencerminkan pembauran kepercayaan Taoisme kuno dengan animisme lokal yang hanya terdapat di Kota Singkawang.
Daerah Singkawang memiliki penduduk asli Suku Dayak dan juga Melayu yang berbaur dengan warga Tionghoa yang sudah lama di sana. Ketiganya tidak memiliki agama atau dikenal dengan animisme. Wilayah Singkawang awalnya merupakan bagian dari wilayah Sambas yang melingkupi Kota Singkawang, Kabupaten Sambas, dan Kabupaten Bengkayang.
Sambas memiliki makna sam (tiga) bas (etnis) yang berarti penduduknya terdiri dari tiga etnis. Yang pertama adalah etnis Melayu Sambas yang beragama Islam. Mereka adalah peleburan dari berbagai suku atau etnis yaitu Melayu, campuran Tionghoa-Dayak Islam, serta Bugis Jawa yang beragama Islam.
Sambas memiliki makna sam (tiga) bas (etnis) yang berarti penduduknya terdiri dari tiga etnis.
Kedua, etnis Tionghoa yang beragama Samkaw (Tao, Buddha dan Konfusius), Katolik, dan Protestan. Mereka merupakan keturunan Tionghoa perantauan, keturunan campuran Tionghoa Dayak yang mengidentifikasi diri dalam etnis Tionghoa Indonesia. Dan ketiga, etnis Dayak yang memeluk agama Katolik, Protestan, Islam dan sebagian kecil animisme mengidentifikasi diri dengan suku Dayak (penduduk asli Kalimantan).
Awal Mula Kehadiran Tatung di Singkawang
Dalam buku ”70 Tradisi Unik Suku Bangsa Indonesia”, tradisi Tatung bermula dari kedatangan etnis Tionghoa di Nusantara 4 abad silam. Khususnya suku Khek atau Hakka, dari Cina Selatan ke Pulau Borneo, sebutan untuk Kalimantan. Sultan Sambas yang merupakan penguasa Singkawang, pada saat itu mempekerjakan masyarakat pendatang tersebut di pertambangan emas di Monterado. Bertahun-tahun lamanya mereka tinggal di perkampungan Kalimantan Barat.
Pada suatu ketika, masyarakat setempat terserang wabah penyakit, warga pun meyakini wabah penyakit tersebut disebabkan adanya roh jahat. Karena belum ada pengobatan kedokteran secara modern, masyarakat Tionghoa pendatang itu kemudian mengadakan ritual tolak bala. Ritual ini dalam bahasa Hakka disebut dengan Ta Ciau. Tradisi Ta Ciau inilah yang menjadi cikal bakal tradisi Tatung di Singkawang.
Saat ini, tradisi Tatung masih lestari dan menjadi tradisi unik kota Singkawang yang setiap tahun dilaksanakan ketika berlangsungnya Cap Go Meh. Tradisi ini menjadi daya tarik wisata budaya Kota Seribu Kelenteng yang tidak bisa ditemukan di wilayah lain. Sejak tahun 2009 tradisi Pawai Tatung ditetapkan sebagai salah satu momen penting di Kalender Wisata Nasional.
Tradisi Tatung masih lestari dan menjadi tradisi unik kota Singkawang yang setiap tahun dilaksanakan ketika berlangsungnya Cap Go Meh.