BULAN malam itu tampak bulat, menghias Jembatan Ampera yang ramai hilir-mudik kendaraan. Sementara angin malam musim kemarau berhembus kencang, membuat sejuk orang-orang yang duduk di bantaran Sungai Musi. Inilah salah satu tempat favorit masyarakat Palembang, ibukota Provinsi Sumatera Selatan, yang selalu ramai di malam hari. Masyarakat Palembang mengenalnya dengan nama Plaza Kuto Besak, yaitu lahan luas di depan Benteng Kuto Besak yang dijadikan pasar malam.
Wisata Pasar Malam Sungai Musi sudah ramai mulai pukul empat sore. Semakin malam, pasar akan semakin ramai oleh wisatawan. Hal tersebut tidak mengherankan, mengingat di pasar malam ini dijajakan beragam kuliner khas Palembang, seperti pempek, lenggang, dan tekwan. Tempat yang ditawarkan juga beraneka ragam, dari yang lesehan hingga menikmati makanan di atas perahu.
Jauh sebelum Jembatan Ampera dibangun dan Pasar Malam Sungai Musi didirikan, Sungai Musi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Palembang dan wilayah lainnya di Sumatera Selatan. Mereka telah lama beraktivitas di sepanjang Sungai Musi dan atas perahu sejak Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7.
Sungai Musi membentang sejauh 750 kilometer dari selatan ke utara. Sungai ini membelah Sumatra Selatan jadi dua dan melewati kota Palembang dengan kelebaran yang berbeda-beda. Keberadaan Sungai Musi sangat penting sebagai urat nadi perekonomian. Melalui sungai ini, orang-orang di wilayah hulu di pedalaman pergi ke hilir di pesisir dengan naik perahu untuk berdagang dan berinteraksi.
Sungai Musi menghidupkan jejaring perdagangan. Sebab, jaringan utama transportasi di Sumatera Selatan terbentuk dari anak Sungai Musi yang berjumlah sembilan sehingga disebut Batanghari Sembilan.
Sungai Musi juga berperan membuka hubungan Sumatra Selatan dengan wilayah luar. Sungai Musi menjadi tempat bertemunya perahu pedagang dari hulu dengan kapal-kapal dari pesisir Sumatera. Titik pertemuan ini berada di kota Palembang sekarang.
“Dukungan dari Sungai Musi itulah yang menjadikan Palembang pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya pada abad VII,” catat Ida Farida dkk dalam “Peran Sungai Musi Dalam Perkembangan Peradaban Islam di Palembang” termuat di Jurnal Sejarah Peradaban Islam, Volume 3 Nomor 1, Juli 2019.
Peran Sungai Musi masih bertahan ketika Kesultanan Islam Palembang Darussalam berdiri pada pertengahan abad ke-16. Bahkan sejumlah pasar muncul di simpul-simpul pertemuan antara anak sungai dan sungai. Masa ini pula orang-orang Eropa mulai berdatangan ke Palembang. Mereka punya sebutan khusus untuk Palembang: “Venesia dari Timur”.
“Ditujukan untuk menggambarkan keterikatan penduduk terhadap lalu-lintas perairan sambil melukiskan kesibukan perahu dayung dan kapal yang berlalu-lalang melewati Sungai Musi,” ungkap Melisa dalam “Ampera dan Perubahan Orientasi Ruang Perdagangan Kota Palembang 1920-an-1970-an” termuat di Lembaran Sejarah, Volume 9 Nomor 1, 2012.
Perahu-perahu dari hulu membawa aneka rupa barang dagangan. Kebanyakan hasil bumi seperti sayur-mayur dan buah buahan. Sebagian mereka membuat rumah rakit untuk menetap beberapa hari di Sungai Musi. Rumah ini dibangun mengapung di sungai dengan kayu petanang yang ringan tapi tahan terhadap air. Atapnya terbuat dari daun nipah.
“Selain sebagai tempat tinggal, rumah-rumah rakit ini berfungsi sebagai toko atau warung yang menyediakan segala kebutuhan khusus,” lanjut Melisa. Dari pembuatan rumah rakit inilah istilah pasar terapung berasal.
Setelah Kesultanan Palembang Darussalam runtuh, pemerintah kolonial Belanda memegang kendali atas wilayah Palembang. Mereka mulai mengubah kebudayaan masyarakat Palembang dari kebudayaan sungai ke kebudayaan darat dengan membangun sejumlah jalan.
Makmun Abdullah dkk dalam Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri menyebut pembuatan jalan darat memudahkan komunikasi. Tapi akibat pembangunan jalan, aktivitas perdagangan di Palembang menjadi terpecah dua: darat dan sungai.
Pemerintah kolonial juga mulai membangun pasar-pasar di darat. Caranya dengan menguruk beberapa bagian anak Sungai Musi di beberapa tempat, antara lain di Sungai Tengkuruk. Akibatnya pasar terapung menghilang di wilayah ini.
Saat Presiden Sukarno memerintah pada 1965, sebuah rencana baru tentang pengembangan kota Palembang muncul. Salah satunya pembangunan jembatan yang menghubungkan wilayah hulu dan hilir. Jembatan ini disebut Jembatan Bung Karno. Pada masa Orde Baru namanya berubah jadi Jembatan Ampera.
Kehadiran Jembatan Ampera mengubah wilayah di pinggiran Sungai Musi yang berada dekat jembatan. Wilayah di sekitar benteng Kuto Besak mulai dibeton. Di sinilah kelak pasar baru berdiri menggantikan pasar apung. Listrik pun mulai dipasang di sekitar wilayah jembatan. Aliran listrik membuat Palembang lebih terang pada malam hari.
Palembang berkembang pesat berkat kehadiran Jembatan Ampera. Berbagai aktivitas perdagangan berlangsung lebih lama daripada sebelumnya. Pasar yang tadinya tutup pada sore hari, mulai tetap buka hingga malam hari. Maka muncullah pasar malam di sekitar Jembatan Ampera dan Benteng Kuto Besak.
Barang dagangan di pasar malam berbeda dari pasar pagi atau siang hari. Pasar malam tak hanya menjual makanan, tapi juga pakaian dan berbagai macam kebutuhan rumah tangga modern.
Bahkan sekarang, pasar malam ini dilengkapi dengan penjual pernak-pernik berupa kaos bertemakan Palembang, gantungan kunci, hingga cincin perak. Tidak hanya itu, tersedia pula banyak permainan anak, sehingga anak-anak tidak akan pernah bosan untuk berlama-lama di tempat ini.
Mengunjungi Pasar Malam Sungai Musi seperti menguak kearifan lokal masyarakat Palembang. Hilir-mudik ketek, barisan para pemancing di bantaran sungai, kuliner khas, serta senyum dan sambutan hangat masyarakat Palembang menjadi satu di pasar malam ini. Tidak heran jika banyak orang merekomendasikan Pasar Malam Sungai Musi sebagai salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika melancong ke Palembang.*
Baca juga: Pasar Terapung Kalimantan Selatan, Kemeriahan Menjelang Fajar