Ngiling Bumbu: Tradisi Pemersatu Khas Warga Merangin Jambi - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Tradisi Ngiling Bumbu JAMBI

Ngiling Bumbu: Tradisi Pemersatu Khas Warga Merangin Jambi

Tak sekadar menyiapkan masakan, ngiling bumbu menjadi ruang pertemuan, gotong royong, dan warisan nilai yang terus dijaga oleh warga Merangin, Jambi.

Tradisi

Di sudut Desa Rantau Panjang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, berdiri kokoh rumah tuo, sebuah saksi bisu perjalanan sejarah yang telah berusia 700 tahun. Rumah ini bukan sekadar bangunan, tetapi juga pusat kehidupan budaya, tempat tradisi ngiling bumbu terus diwariskan sebagai bagian dari identitas masyarakat setempat. Tradisi ini mengandung nilai kebersamaan, solidaritas, dan gotong royong yang menjadi inti kehidupan komunal.

Ngiling bumbu biasanya digelar dalam berbagai momen penting, seperti persiapan turun ke ladang, panen raya, kenduri pernikahan, hingga pembangunan rumah baru. Sebagai bagian dari tradisi beselang, prosesi ini menciptakan suasana penuh canda tawa yang mempererat ikatan masyarakat, sekaligus menjaga nilai-nilai warisan leluhur agar tetap hidup di tengah perkembangan zaman.

Ngiling bumbu biasanya digelar dalam berbagai momen penting, seperti persiapan turun ke ladang, panen raya, kenduri pernikahan, hingga pembangunan rumah baru.

Para gadis sibuk menumbuk rempah-rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, dan serai, sementara yang lain asyik memarut kelapa untuk diolah menjadi santan. Semua bahan bumbu ini dikumpulkan dari ladang-ladang subur di sepanjang Sungai Lamuih, yang airnya mengalir hingga ke Sungai Tabir dan bermuara ke Sungai Batanghari. Aktivitas ini mencerminkan harmoni antara manusia dan alam yang menjadi bagian penting dari tradisi.

Namun, ngiling bumbu pada masa lalu bukan hanya soal menyiapkan bahan masakan. Tradisi ini juga dikenal dengan istilah ba usik sirih bergurau pinang, yang menggambarkan pertemuan jodoh antara pemuda dan pemudi. Dengan pantun-pantun jenaka yang dilantunkan, pemuda memulai perkenalan mereka, menciptakan suasana hangat dan penuh keakraban di tengah prosesi gotong royong tersebut.

Tradisi ini juga dikenal dengan istilah ba usik sirih bergurau pinang, yang menggambarkan pertemuan jodoh antara pemuda dan pemudi.

Batang salih di tepi rimbo

Rebah sebatang ke dalam payo

Kalun bulih abong betanyo

Kak baju abang siapo namo?”

Pantun ini menjadi pembuka interaksi, diikuti dengan sesi balas-membalas pantun yang diselingi perkenalan nama. Para gadis pun menyambut pantun tersebut dengan gaya khas mereka:

Eee, Bong eh

Dari mano hendak ke mano

Dari Jepun ke Bando Cino

Dado salah abong betanyo

Adik nak malang Miah namonyo.”

Selesai berbalas pantun, barulah belut hasil tangkapan para pemuda diserahkan kepada para gadis untuk dimasak.

Setelah para gadis selesai menggiling bumbu, tradisi berlanjut dengan ngukuih, yaitu memasak gulai belut yang dicampur daun pakis. Hidangan khas ini dimasak perlahan di atas tungku kayu, menghadirkan aroma harum yang menggugah selera. Untuk melengkapi sajian, nasi dari padi ladang yang baru dipanen disiapkan sebagai pendamping.

Proses penyajian makanan dilakukan di beberapa rumah sepanjang kompleks rumah tuo. Para tamu disuguhi gulai belut yang telah dipotong-potong dan dimasak bersama daun pakis hingga matang sempurna. Tidak perlu khawatir dengan bau amis atau lumpur, karena daging belut telah dimasak dengan berbagai rempah, cabai, dan santan gurih, selama sekitar satu setengah jam, menciptakan cita rasa yang kaya dan lezat.

Belut, Simbol Ketahanan dan Kegigihan

Dalam tradisi ini, belut tak hanya dianggap sebagai bahan makanan, tetapi juga sebagai simbol yang melambangkan kekuatan dan kegigihan. Memancing belut menjadi perlombaan tradisional yang sekaligus menguji kemahiran, kegagahan, dan mempererat ikatan sosial di antara para pemuda.

Belut tak hanya dianggap sebagai bahan makanan, tetapi juga sebagai simbol yang melambangkan kekuatan dan kegigihan.

Lebih dari itu, kegiatan memancing belut juga mengajarkan nilai kerja sama tim dan keterampilan, yang merupakan bagian dari kehidupan agraris masyarakat Rantau Panjang dan Tabir, mengingat merekalah orang-orang yang bertempat di kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, dan memang dekat dengan berbagai perkebunan. Tradisi ini memberikan pelajaran bagi generasi muda tentang pentingnya ketahanan pangan dan kearifan lokal, sekaligus mengajarkan mereka cara memanfaatkan sumber daya alam secara bijak dan berkelanjutan.

Namun, modernisasi telah membawa perubahan pada ritual ngiling bumbu. Tradisi yang dulu menjadi ajang silaturahmi dan pertemuan bagi muda-mudi kini lebih banyak dilakukan oleh para ibu. “Sekarang, ngiling bumbu hanya jadi bagian dari beselang untuk memasak, dan itu dilakukan induk-induk. Kalau muda-mudi, perkenalan sekarang di HP bae,” kata Ramuini (19), pelajar SMAN 2 Merangin.

Tantangan Pelestarian Tradisi

Ngiling bumbu merupakan bagian tak terpisahkan dari beselang, tradisi gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Rantau Panjang. Setiap hentakan batu tumbuk dalam proses ini mengandung nilai-nilai yang memperkuat solidaritas dan mempererat hubungan antarwarga.

Pada masa lalu, ngiling bumbu juga berfungsi sebagai ajang pendidikan informal bagi generasi muda. Melalui kegiatan ini, mereka belajar untuk memanfaatkan sumber daya alam secara bijak, menjaga ketahanan pangan, dan menghayati pentingnya gotong royong. Tradisi ini tidak hanya mengajarkan cara memasak gulai belut, tetapi juga bagaimana menjaga harmoni antara manusia dan alam.

Meskipun menghadapi tantangan modernisasi, masyarakat Rantau Panjang terus berupaya mempertahankan ngiling bumbu agar tetap hidup. Tradisi ini lebih dari sekadar memasak; ia mencerminkan identitas budaya dan kearifan lokal yang telah diwariskan dari leluhur. Dengan menjaga tradisi ini, mereka memastikan bahwa nilai-nilai luhur tersebut tetap relevan di tengah perubahan zaman.

Tradisi ini lebih dari sekadar memasak; ia mencerminkan identitas budaya dan kearifan lokal yang telah diwariskan dari leluhur.

Namun, tradisi ngiling bumbu kini menghadapi tantangan besar. Penambangan emas ilegal yang masif telah menyempitkan aliran Sungai Tabir, merusak ekosistem sawah, dan mengancam ketahanan pangan. Aliran sungai yang semakin sempit mengakibatkan sawah kehilangan suplai air, yang berdampak pada kegagalan panen yang berulang. Sawah-sawah yang dulunya subur kini dibiarkan kosong, dan belut—bahan utama gulai khas Tabir—semakin sulit ditemukan. Perlombaan menangkap belut pun semakin jarang dilakukan, menambah ancaman terhadap kelangsungan tradisi dan warisan kuliner khas Tabir.

“Kalau sawah dak dikerjakan lagi, tradisi mancing belut pun hilang. Makanan khas kami juga bisa lenyap,” keluh Sholihin, seorang pemuda setempat.

Meski begitu, masyarakat Desa Rantau Panjang tidak menyerah. Berbagai upaya terus dilakukan untuk mempertahankan ngiling bumbu sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas budaya mereka. Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek, menekankan pentingnya pelestarian tradisi ini. “Ngiling bumbu adalah cerminan kearifan lokal yang menghubungkan kita dengan masa lalu dan harus terus dijaga di masa depan,” ujarnya.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Ramuini, diwawancarai oleh penulis.

    Sholihin, diwawancarai oleh penulis.