Orang Betawi telah mendiami Jakarta selama ratusan tahun, sejak kota ini masih bernama Batavia. Selama kurun waktu tersebut, mereka berinteraksi dengan berbagai suku lain, seperti Tionghoa, Sunda, dan Jawa. Interaksi ini memperkaya budaya Betawi, termasuk dalam hal bahasa, adat istiadat, dan makanan. Salah satu contohnya adalah hidangan mi juhi atau rujak juhi.
Rujak juhi menggunakan juhi, yaitu cumi-cumi yang telah melalui proses fermentasi dan dikeringkan, sebagai bahan utamanya. Nama “juhi” sendiri diberikan oleh orang-orang Tionghoa yang menyukai jenis olahan ini. Selain itu, rujak juhi menggunakan bahan-bahan segar dan alami sebagai pelengkapnya, seperti kol, kentang, selada, dan timun.
Rujak juhi menggunakan olahan cumi-cumi sebagai bahan utamanya.
Layaknya rujak pada umumnya, rujak juhi menggunakan bumbu atau saus sebagai penambah cita rasa. Yang membedakannya dari rujak lainnya adalah sausnya yang tidak menggunakan gula jawa dan cabai, melainkan saus kacang yang segar. Tak ketinggalan, kerupuk mi menjadi pelengkap hidangan khas Betawi ini. Perpaduan bahan-bahannya tidak hanya menyehatkan tubuh, tetapi juga memanjakan lidah dengan kelezatannya.
Asal-usul rujak juhi erat kaitannya dengan dua kebudayaan besar, yaitu Jawa dan Tionghoa. Rujak pada mulanya merupakan panganan khas wilayah Jawa Tengah. Kata “rujak” sendiri tercatat dalam Prasasti Paradah dari masa Mataram Kuno yang berasal dari tahun 943 Masehi.
Asal-usul rujak juhi terpaut erat dengan dua kebudayaan besar, yaitu Jawa dan Tionghoa.
Titi Surti Nastiti dalam bukunya Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV menyebutkan bahwa rujak menjadi hidangan dalam upacara penetapan sebuah desa sebagai wilayah bebas pajak. “Setelah mempersembahkan bedak, bunga, dan rujak, sang matuwung (penabuh perkusi) menabuh tuwung, dan mereka semua pun berdiri,” ucap Titi.
Asal-usul kata “rujak” dapat ditelusuri dari kata “angrujak”, yang berarti memotong sesuatu menjadi bagian kecil-kecil. Dahulu, kata ini sering digunakan untuk menggambarkan pertempuran antara karakter antagonis dan protagonis.
Setelah itu, kata angrujak mulai digunakan dalam konteks pembuatan makanan berbahan buah. Jiri Jakl, seorang ahli bahasa dari The University of Queensland, Australia, menemukan kata ini tertulis dalam dua kakawin kuno Jawa: Bhomantaka dan Smaaradahana.
Asal-usul kata “rujak” dapat ditelusuri dari kata “angrujak”, yang berarti memotong sesuatu menjadi bagian kecil-kecil.
Dalam tesisnya yang berjudul Literary Representations of War and Warfare in Old Javanese Kakawin Poetry, Jiri Jakl menyebutkan bahwa hidangan rujak dulunya merupakan pengganti hidangan daging. Dalam beberapa upacara masyarakat Jawa kuno, terdapat hidangan berupa potongan daging yang disiram dengan darah. Namun, dalam upacara lain, potongan daging diganti dengan buah-buahan, dan darah diubah menjadi bumbu cabai dan gula merah.
Persebaran rujak di Jawa kemungkinan besar terjadi melalui perluasan kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Tengah dan Timur. Di bagian barat Jawa, rujak juga menjadi hidangan populer bagi masyarakat, seperti yang terlihat dalam tuturan lisan legenda Sangkuriang. Di Gunung Kaledong, Jawa Barat, terdapat sebuah batu yang dipercaya sebagai alat pembuat rujak.
Orang Sunda dan Jawa turut menjadi bagian dari penduduk Batavia. Dari sinilah kemungkinan rujak masuk ke dalam khazanah kuliner Betawi. Abdul Chaer, penulis buku Betawi Tempo Doeloe, mengatakan bahwa rujak menjadi salah satu panganan favorit orang Betawi. “Orang Betawi sangat menyukai makan rujak, terutama anak-anak dan gadis remaja,” kata Abdul Chaer.
Abdul Chaer juga menjelaskan bahwa orang Betawi umumnya membuat rujak dari berbagai macam buah-buahan. “Bahan rujak yang biasa digunakan adalah mangga muda, jambu air, pepaya mengkal, bengkuang, dan lain sebagainya,” tutur Abdul Chaer.
Dalam kebudayaan Betawi, rujak terkait erat dengan tradisi nuju bulanin atau peringatan kehamilan bulan ketujuh.
Ridwan Saidi, seorang budayawan Betawi, dalam bukunya Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, menjelaskan bahwa rujak dalam kebudayaan Betawi memiliki hubungan erat dengan tradisi nuju bulanin atau peringatan kehamilan bulan ketujuh. “Di antara para perempuan biasanya ada rujakan,” kata Ridwan. Rujak tersebut disebut rujak tujuh rupa karena terbuat dari tujuh jenis buah.
Lalu, bagaimana dengan rujak juhi yang terbuat dari sayuran dan cumi-cumi? Ridwan menduga rujak ini terpengaruh kuliner Tionghoa. “Cina memperkenalkan mi, bihun, dan sohun, serta jenis sayuran seperti tauge, kucai, lokio, dan sawi,” terang Ridwan. Kemungkinan, orang Tionghoa pula yang mengonsumsi dan memperkenalkan daging cumi-cumi (seafood).
Zeffry Alkatiri, penulis buku Pasar Gambir, Komik Cina & Es Shanghai kelahiran tahun 1959, menjelaskan bahwa rujak juhi sebenarnya berasal dari makanan bernama troktok. “Disebut demikian karena penjualnya selalu mengetuk potongan bambu saat lewat di depan rumah. Bunyinya troktok,” kata Zeffry.
Troktok terbuat dari campuran kacang panjang yang dipotong pendek, kentang, juhi, mi, dan kol. Kuahnya terbuat dari cuka dan kacang. Zeffry mengaku sering bertemu penjaja troktok saat kecil. “Sekarang, model itu berkembang menjadi rujak juhi yang dijajakan dengan gerobak,” Zeffry melanjutkan.
Keterangan Zeffry agak berbeda dari R.O. Simatupang, penulis Pedoman Tamasja Djakarta dan Sekitarnja. Dalam bukunya yang terbit pada 1960-an itu, Simatupang telah menulis nama rujak juhi.
Sekarang, rujak juhi sudah dianggap sebagai bagian dari kuliner khas Betawi.
“Hidangan Tionghoa yang disukai untuk dinikmati bersama saat nongkrong, dan yang menarik banyak tamu adalah wedang sekoteng khas Tionghoa (dengan isian lengkeng, teratai, dan labu air), rujak juhi, rujak Shanghai, pie-oh (sup kura-kura), nasi tim, bebek tim (sekba), serta bakso sapi,” catat Simatupang. Hal ini sesuai dengan keterangan beberapa penjual rujak juhi di Jakarta yang mengaku telah berjualan sejak tahun 1960-an, seperti Rujak Juhi Haji Misbach di Petojo, Jakarta Pusat.
Sekarang, rujak juhi telah dianggap sebagai bagian dari kuliner khas Betawi. Namun, penikmatnya tidak terbatas pada orang Betawi saja, melainkan berasal dari berbagai suku bangsa. Sebab, kelezatan tidak mengenal batasan suku bangsa. Begitulah rujak juhi mampu mempersatukan berbagai kalangan.