Suku Saibatin mendiami daerah pesisir Lampung yang membentang dari timur, selatan, hingga barat. Wilayah persebarannya mencakup Lampung Timur, Lampung Selatan, Bandar Lampung, Pesawaran, Tanggamus, dan Lampung Barat. Letak geografis yang berdekatan dengan laut membuat masyarakat Saibatin memiliki hubungan erat dengan kehidupan maritim. Banyak di antara mereka yang berprofesi sebagai nelayan, pedagang, dan pelaut, serta menjalin interaksi budaya dengan pendatang dari berbagai daerah maupun bangsa lain yang singgah di pesisir Lampung.
Sama seperti masyarakat Lampung Pepadun, suku Saibatin atau Peminggir juga menganut sistem kekerabatan patrilineal, yaitu garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah. Dalam sistem ini, kedudukan laki-laki dianggap sebagai penerus marga dan pewaris tanggung jawab adat keluarga. Meski memiliki kesamaan dalam pola kekerabatan, masyarakat Saibatin dikenal dengan tatanan sosial yang lebih hierarkis dan tradisi adat yang sarat dengan simbol kehormatan. Setiap tingkatan sosial memiliki peran tersendiri dalam menjaga keseimbangan adat, mulai dari pemimpin adat hingga anggota masyarakat biasa.
Masyarakat Saibatin dikenal dengan tatanan sosial yang lebih hierarkis dan tradisi adat yang sarat dengan simbol kehormatan.
“Saibatin” bermakna satu batin atau memiliki satu junjungan. Makna ini mencerminkan tatanan sosial masyarakatnya yang menjunjung tinggi kesatuan dan loyalitas terhadap satu pemimpin adat. Dalam sistem kepemimpinan tradisional, hanya ada satu raja adat yang berkuasa di setiap generasi, dan jabatan tersebut diwariskan secara turun-temurun melalui garis keturunan bangsawan. Pola ini membuat kebudayaan Saibatin dikenal bersifat aristokratis, di mana derajat dan status sosial seseorang telah ditentukan sejak lahir.
Berbeda dengan masyarakat Pepadun yang membuka kesempatan bagi individu untuk naik status melalui prosesi adat, masyarakat Saibatin tidak mengenal upacara semacam itu. Status sosial bersifat tetap dan menjadi bagian dari struktur sosial yang dijaga secara ketat. Meski demikian, nilai-nilai seperti penghormatan kepada pemimpin, ketaatan pada adat, serta keharmonisan dalam komunitas tetap menjadi landasan penting dalam kehidupan sehari-hari.
Status sosial bersifat tetap dan menjadi bagian dari struktur sosial yang dijaga secara ketat.
Ciri khas lainnya dari masyarakat adat ini dapat dikenali melalui perangkat yang digunakan di dalam upacara tradisional. Salah satunya adalah bentuk siger (sigekh) atau mahkota pengantin yang memiliki tujuh lekuk atau pucuk (sigokh lekuk pitu). Tujuh pucuk ini melambangkan tujuh adoq, yaitu suttan, raja jukuan atau depati, batin, radin, minak, kimas, dan mas. Selain itu, ada pula yang disebut awan gemisir (awan gemisikh) yang diduga digunakan sebagai bagian dari arak-arakan adat. Di dalam prosesi pernikahan, saah satunya.








