Melalui Kacaping, Belajar tentang Alam dan Kearifan Area Mandar - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Kacaping Mandar

Melalui Kacaping, Belajar tentang Alam dan Kearifan Area Mandar

Warisan budaya Sulawesi Barat yang menjadi salah satu simbol identitas masyarakat Mandar.

Kesenian

Pada suatu malam di halaman rumah seorang warga di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, seorang pria tua melantunkan syair-syair dalam bahasa Mandar. Tangannya yang keriput memegang sebuah kecapi berdawai ganda (kacaping Mandar). Pria tua itu duduk bersila dengan hanya beralaskan tikar plastik. Di hadapannya, lima perempuan berbusana adat duduk anggun memperhatikannya.

Maestro. Begitulah orang-orang menyebut pria tua itu. Ketika jari-jarinya memetik dawai kecapi, bunyi ritmis dan dinamis dengan tempo cepat seakan memikat penonton. Alunan petikannya yang sederhana berpadu dengan syair-syair penuh makna. Penonton yang melingkar pun terkesima seakan terbius pada pertunjukan pria tua dengan kecapinya.

Di tanah Mandar, kecapi yang dimainkan oleh pria tua itu disebut kacaping Mandar. Bentuk dan cara memainkan alat musik tradisional ini berbeda dengan kecapi di daerah lain. Kacaping Mandar merupakan ciri khas suku Mandar yang mendiami sebagian besar wilayah pesisir Sulawesi Barat.

Jejak-Jejak Maritim pada Alat Musik Mandar

Para etnomusikolog mengidentifikasi kacaping Mandar dari bentuknya yang menyerupai perahu, dengan bagian leher instrumen yang berbentuk seperti anjong (haluan) perahu. Ridwan Alimuddin dalam bukunya Mandar Nol Kilometer menyebutkan bahwa bentuk kacaping di Mandar memang terinspirasi dari perahu. Selain itu, kacaping Mandar hanya memiliki dua dawai (senar) dan lima fret.

Para etnomusikolog mengidentifikasi kacaping Mandar dari bentuknya yang menyerupai perahu, dengan bagian leher instrumen yang berbentuk seperti anjong (haluan) perahu.

Melalui jurnal Kecapi Mandar Tobaine di Kecamatan Balanipa karya Rudini Mahmud, kita dapat memahami lebih dalam makna di balik bentuk perahu pada kecapi. Aba Fatimah, seorang praktisi dan pengrajin kacaping Mandar, menjelaskan bahwa bentuk ini merepresentasikan kerinduan mendalam masyarakat Mandar terhadap para pelaut yang tengah mengarungi lautan.

Bahan Dasar Kacaping Mandar

Kacaping Mandar, alat musik tradisional khas Sulawesi Barat, dibuat dari kayu nangka. Pemilihan kayu nangka sebagai bahan baku bukanlah tanpa alasan. Kayu ini memiliki pori-pori yang rapat, membuatnya kuat dan tahan terhadap serangan rayap. Selain itu, ketersediaannya yang melimpah di Sulawesi Barat juga menjadi pertimbangan utama. Proses pembuatan kacaping pun harus dilakukan dengan cermat agar menghasilkan alat musik yang berumur panjang dan bersuara merdu.

Kacaping Mandar, alat musik tradisional khas Sulawesi Barat, dibuat dari kayu nangka.

Sebelum diolah menjadi kacaping, kayu nangka dijemur selama 4–10 hari hingga kering dan berubah warna menjadi kecokelatan. Setelah itu, pengrajin membentuknya menyerupai perahu.

Senar yang digunakan pada kecapi adalah kawat nirkarat (stainless steel). Kawat jenis ini sudah lama digunakan oleh para pengrajin kecapi, mengingat dahulu, senar gitar belum dikenal di wilayah ini. Jika kawat nirkarat tidak ada, para pengrajin kecapi akan beralih menggunakan tali kopling motor yang sudah disayat.

Cara Memainkan Kacaping Mandar

Para pemain kacaping Mandar, yang dikenal sebagai pakkacaping, dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan gender: pakkacaping tommuane (laki-laki) dan pakkacaping tobaine (perempuan). Gaya permainan mereka pun berbeda, ditandai oleh irama, melodi, dan teknik memetik yang khas. Pakkacaping tommuane cenderung memulai permainan dengan nada tinggi yang bersemangat, sedangkan pakkacaping tobaine lebih menyukai nada tinggi di akhir permainan.

Cara memainkan kacaping juga unik, yaitu dengan memangku alat musik tersebut layaknya menggendong bayi dan mendekatkan mulut ke bagian atas kecapi saat bernyanyi. 

Cara memainkan kacaping juga unik, yaitu dengan memangku alat musik tersebut layaknya menggendong bayi dan mendekatkan mulut ke bagian atas kecapi saat bernyanyi. 

Memainkan kacaping Mandar tergolong sulit karena alat musik ini tidak memiliki solmisasi yang jelas, berbeda dengan kecapi Bugis yang memiliki 7 fret dan solmisasi yang lebih baku. Diperkirakan, permainan kacaping Mandar telah ada sejak sebelum masuknya Islam di Sulawesi Barat dan awalnya dianggap sangat sakral, berfungsi sebagai media komunikasi dengan roh nenek moyang. Setelah Islam masuk, konsep-konsep lama dalam pakkacaping kemudian diadaptasi dan diintegrasikan ke dalam ajaran Islam, sehingga tetap lestari hingga kini.

Signifikansi Kacaping di Masyarakat Setempat

Menurut Ridwan Alimuddin dalam bukunya, Polewali Mandar: Alam, Budaya, Manusia, tradisi memainkan kacaping Mandar sebagai ritual diperkirakan dimulai sejak tahun 1910-an. Pertunjukan kacaping sering kali digelar sebagai bentuk pemenuhan nazar atau tinjaq (janji) masyarakat. Masyarakat Mandar biasanya akan bernazar jika suatu keinginan atau harapan tercapai. Upacara adat seperti khitan, khatam Al-Qur’an, atau pernikahan menjadi momen yang tepat untuk merealisasikan tinjaq tersebut. Pada saat upacara berlangsung, pertunjukan pakkacaping, yang disebut mappadottong tinjaq, menjadi bagian tak terpisahkan sebagai bentuk pelaksanaan nazar.

Pertunjukan kacaping sering kali digelar sebagai bentuk pemenuhan nazar atau tinjaq (janji) masyarakat.

Masyarakat Mandar sangat menghormati tradisi mappadottong tinjaq sebagai cerminan sikap teguh dalam memegang janji. Permainan kacaping dalam mappadottong tinjaq dianggap sebagai media legitimasi dari upacara itu sendiri. Jika seseorang tidak memenuhi nazarnya setelah keinginannya terwujud, dia akan dikucilkan oleh masyarakat dan dianggap menerima hukuman dari Tuhan. Oleh karena itu, pertunjukan pakkacaping selalu menjadi bagian penting dari tradisi ini.

Hingga saat ini, pertunjukan pakkacaping masih digemari oleh masyarakat Sulawesi Barat. Dalam setiap pertunjukan, syair atau kisah tentang kehidupan dilantunkan oleh maestro kacaping. Ada tiga tema utama dalam pertunjukan ini: masaala, yang berisi syair-syair ajaran Islam; kisah-kisah sosial dan percintaan; serta tede, yang merupakan improvisasi syair dan sering melibatkan pujian terhadap perempuan yang menjadi bagian dari pertunjukan. Dalam sesi tede, pemain kacaping mengandalkan pengamatan terhadap perempuan di sekitar untuk menciptakan syair spontan, yang kerap menarik perhatian para penonton, terutama pria.

Selain menjadi hiburan, pakkacaping juga menjadi sarana pembelajaran hidup, dengan setiap nada dan kata mengandung pesan mendalam. Tradisi ini tetap lestari hingga kini, meski jumlah pemainnya semakin berkurang. Masyarakat Mandar terus menghargai kacaping sebagai warisan budaya yang sarat makna spiritual dan sosial.

Informasi Selengkapnya