Gelumpai, Jejak Sejarah Palembang yang Digores di Bilah Bambu - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Gelumpai_1200-1.jpg

Gelumpai, Jejak Sejarah Palembang yang Digores di Bilah Bambu

Ditulis dengan aksara Ulu, gelumpai adalah naskah kuno yang merekam sejarah, kepercayaan, dan kehidupan masyarakat Palembang pada masa lampau.

Tradisi

Ada peribahasa Melayu yang berbunyi, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Ungkapan ini mengandung makna bahwa bahasa yang digunakan seseorang dapat mencerminkan asal-usul maupun latar belakang budayanya. Peribahasa ini juga terasa relevan ketika kita membicarakan kekayaan aksara yang dimiliki oleh masyarakat Sumatra Selatan—sebuah warisan yang bukan hanya menunjukkan identitas, tetapi juga menyimpan jejak sejarah peradaban.

Di wilayah ini, peninggalan sejarah berupa naskah kuno dan aksara dari masa Kerajaan Sriwijaya masih banyak ditemukan. Naskah-naskah tersebut memuat nilai-nilai luhur peninggalan leluhur, mencakup ajaran moral, filsafat hidup, sejarah, hingga nilai-nilai keagamaan. Lebih dari sekadar catatan masa lalu, isi naskah ini tetap relevan untuk masa kini—menjadi sumber pengetahuan, panduan etika, sekaligus bekal untuk menghadapi tantangan masa depan.

Lebih dari sekadar catatan masa lalu, isi naskah ini tetap relevan untuk masa kini.

Kota Palembang menjadi salah satu pusat temuan penting naskah kuno tersebut. Keberagamannya terlihat dari jenis naskah, bentuk aksara yang digunakan, hingga media tempat penulisan. Aksara yang digunakan mencakup aksara Jawi, Jawa, Arab, hingga aksara Ulu (Ka-Ga-Nga). Sementara itu, media tulis yang digunakan pun beragam, seperti kulit daun pohon halim dan bilah bambu—menunjukkan betapa eratnya keterhubungan antara tradisi tulis dengan alam dan budaya setempat.

Masyarakat uluan—sebutan bagi warga Palembang yang bermukim di wilayah hulu sungai—memiliki warisan intelektual yang membanggakan berupa aksara Ulu atau Kaganga. Aksara ini merupakan hasil adaptasi dari beberapa sistem tulisan yang berkembang di wilayah Sumatra bagian selatan, dan diperkirakan berakar dari aksara Pallawa serta aksara Kawi yang pernah digunakan oleh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan. Dalam kesehariannya, hasil tulisan menggunakan aksara ini dikenal sebagai surat Ulu atau serat Ulu.

Penulisan surat Ulu dilakukan dengan cara menggoreskan alat tajam di atas permukaan bilah bambu.

Penulisan surat Ulu dilakukan dengan cara menggoreskan alat tajam di atas permukaan bilah bambu. Jenis bambu yang umum dipakai adalah bambu betung (Dendrocalamus asper), yang dikenal kuat, tumbuh tegak, serta memiliki tinggi yang bisa mencapai 30 meter dengan ruas-ruas yang jelas. Namun sebelum digunakan, bambu tersebut harus melalui proses khusus—direndam dalam air selama beberapa waktu, lalu dijemur hingga kering—guna memastikan ketahanan dan kualitasnya sebagai media tulis. Naskah kuno yang dituliskan di atas media bambu inilah yang kemudian disebut gelumpai.

Menelusuri Jejak Gelumpai

Naskah gelumpai diperkirakan mulai diproduksi pada abad ke-16 hingga ke-17. Sebagai salah satu bentuk warisan budaya tulis masyarakat uluan, gelumpai merekam berbagai aspek kehidupan pada masa itu—mulai dari bidang politik, sosial, hingga keagamaan. Isi naskahnya mencakup sejarah masyarakat Palembang, kisah-kisah wayang yang sarat makna, doa-doa, serta ajaran spiritual. Melalui teks-teks ini, generasi masa kini dapat memahami bagaimana masyarakat Palembang zaman dahulu memaknai sejarah, merawat tradisi, dan menjalani nilai-nilai kehidupan mereka.

Sebagian besar gelumpai masih tersimpan dalam koleksi pribadi, sementara beberapa lainnya telah menjadi bagian dari koleksi museum. Salah satu contoh penting adalah gelumpai peninggalan Kesultanan Palembang yang kini disimpan di Museum Balaputera Dewa, Palembang. Naskah ini berisi kisah kehidupan Nabi Muhammad SAW—menggambarkan peran beliau sebagai pembawa berkah bagi umat manusia, keajaiban (mukjizat) yang menyertainya, serta keutamaan-keutamaan yang dimilikinya. Gelumpai tersebut terdiri dari 14 bilah bambu dan ditulis menggunakan aksara Ulu, menjadikannya sebagai artefak yang bukan hanya bernilai religius, tetapi juga linguistik dan historis.

Sebagian besar gelumpai masih tersimpan dalam koleksi pribadi, sementara beberapa lainnya telah menjadi bagian dari koleksi museum.

Isi naskah gelumpai menggambarkan peran penting media tulis ini dalam strategi Kesultanan Palembang Darussalam untuk menyebarkan ajaran Islam sekaligus memperkuat pengaruh kekuasaan di wilayah huluan Palembang. Efektivitas metode ini tercermin dari meluasnya penyebaran agama Islam di daerah tersebut, serta tumbuhnya tradisi milir sebah—ritual tahunan yang merepresentasikan kepatuhan masyarakat hulu kepada penguasa pusat.

Selain gelumpai yang menjadi koleksi Museum Balaputera Dewa, terdapat pula naskah serupa yang berasal dari subetnis Melayu di kawasan Musi Rawas. Meskipun tidak memiliki judul, naskah ini memuat berbagai ajaran dan praktik keagamaan yang berakar dari tradisi Hindu dan Buddha. Hal tersebut dapat dikenali dari banyaknya istilah seperti maharesi (pendeta), mantra, sesaji, arca, hingga bertapa. Naskah ini terdiri dari delapan bilah bambu dan kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebagai bagian dari kekayaan literasi Nusantara.

Seperti halnya naskah kuno pada umumnya, gelumpai pun memerlukan perawatan yang cermat.

Gelumpai lain yang juga menarik perhatian adalah naskah yang terdiri atas 23 bilah bambu, ditulis menggunakan aksara Ulu. Keunikan naskah ini terletak pada adanya tanda asterisk (*) di awal setiap kalimat, mulai dari keping pertama hingga terakhir. Berdasarkan isinya, naskah ini diperkirakan memuat ajaran-ajaran moral dan spiritual yang berakar dari agama Hindu, memperkaya ragam perspektif keagamaan yang pernah hidup dan berkembang di wilayah Sumatra Selatan.

Seperti halnya naskah kuno pada umumnya, gelumpai pun memerlukan perawatan yang cermat. Faktor usia, keausan material, serta paparan lingkungan menjadi ancaman nyata yang dapat mempercepat kerusakan naskah ini. Oleh karena itu, upaya pelestarian perlu dilakukan secara menyeluruh—mulai dari digitalisasi, penyimpanan dalam kondisi khusus, hingga pendekatan edukatif yang mampu membangun kesadaran publik akan pentingnya menjaga warisan budaya.

Lebih dari sekadar artefak sejarah, gelumpai—naskah kuno khas Palembang—mengajarkan bahwa warisan budaya bukan hanya bertahan melintasi zaman, tetapi juga menjadi fondasi hidup yang menumbuhkan keberlanjutan sebuah masyarakat. Dalam keawetan bilah bambu betung, sejarah terekam dengan utuh; dan melalui aksara yang terpahat, gelumpai menyampaikan pesan dalam bahasa yang melampaui batas waktu—mengajak generasi kini untuk menapak jejak masa lalu dan meresapi nilai-nilai yang masih relevan hingga hari ini.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Jurnal Perpusnas, Kemdikbud, Majalah Ilmiah Tabuah UIN Imam Bonjol