Di Bawah Lindungan Ka’bah, Buku Karya Hamka - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Di Bawah Lindungan Ka’bah Hamka

Di Bawah Lindungan Ka’bah, Buku Karya Hamka

Novel klasik Indonesia tentang jalinan roman yang terhambat oleh tradisi dan ekspektasi.

Kesenian

Kisah roman yang terhalang status sosial, adalah salah satu tema klasik yang tak lekang oleh waktu. Novel-novel Indonesia seperti Sengsara Membawa Nikmat dan Burung-Burung Manyar sudah menyinggungnya secara sepintas. Namun, novel Di Bawah Lindungan Ka’bah yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka di tahun 1938, menjadikannya sebagai landasan pembentukan cerita cinta yang berakhir tragis. 

Sang pengarang, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hamka, memang konsisten dengan tema ini. Begitu pula soal tradisi dan agama—Hamka yang seorang ulama, kental membalut cerita dengan ajaran-ajaran Islam (namun tak terasa mendakwah) dan berani mengkritisi adat Minangkabau. Hasilnya, sebuah novel Indonesia klasik yang bertutur dengan sederhana, tapi sarat akan arti mendalam.  

Hamka yang seorang ulama, kental membalut cerita dengan ajaran-ajaran Islam (namun tak terasa mendakwah) dan berani mengkritisi adat Minangkabau.

Pertemuan di Makkah

Perjalanan kisah Di Bawah Lindungan Ka’bah dimulai ketika seorang lelaki asal Jawa tiba di Makkah. Ia tinggal di rumah seorang Syekh yang terbiasa memberi tempat tinggal bagi mereka yang hendak menunaikan ibadah haji. Di sanalah ia bertemu dengan Hamid yang pendiam dan suka termenung seorang diri di kamarnya. Ia mengagumi Hamid karena kehidupannya yang sederhana dan ibadahnya yang kuat. Hamid tak terlalu memedulikan obrolan soal hal duniawi dan lebih memilih pembicaraan mengenai kehalusan budi pekerti dan kesopanan agama.

Namun, di balik eksteriornya yang kalem dan saleh, ia bisa merasakan kesedihan yang merelung di hati Hamid. Suatu hari, ia bertanya kepada Hamid, hingga akhirnya teman barunya itu bercerita tentang masa lalunya di tanah Sumatra. 

Hamid bercerita tentang kemelaratan hidup yang ia alami bersama ibunya, selepas ditinggal mati oleh sang ayah ketika ia masih berusia empat tahun. Saat anak-anak lain mampu menikmati masa kecilnya dengan bermain-main, Hamid justru lebih sering menghabiskan waktunya untuk  menolong sang ibu mencari nafkah. Sesekali, sang ibu menyuruhnya untuk bersenang-senang main di luar. “Tetapi, hati saya tiada dapat gembira karena kegembiraan bukanlah saduran dari luar, tetapi terbawa oleh sebab-sebab yang boleh mendatangkan gembira itu.”

Titik cerah pun menghampiri Hamid, kala seorang hartawan bernama Engku Haji Ja’far, beserta istri dan anak perempuannya, pindah ke sebuah rumah bak gedung besar yang kerap ia lintasi saat menjual pisang goreng. Karena iba, Mak Asiah, istri Haji Ja’far, mengundang Hamid dan ibunya ke rumah. Hamid pun akhirnya menemukan keluarga baru, dan untungnya, Haji Ja’far memiliki kebaikan hati yang serupa sang istri, lantaran ia juga berasal dari keluarga yang melarat. 

Mereka membantu menyekolahkan Hamid—sesuatu yang sebelumnya terasa jauh dari gapaian. Bagi Hamid, sekolah hanya diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai uang. Sementara itu, Zainab, anak perempuan Mak Asiah dan Haji Ja’far, masuk ke sekolah yang sama dengannya. Namun malang bagi Zainab, karena ia mesti bersiap-siap untuk dipingit sesuai adat Minangkabau pada akhir masa sekolah. “Tamat sekolah bagi mereka berarti suatu sangkar yang telah tersedia buat seekor burung yang bebas terbang,” ucap Hamid. Di rumah Zainab, didatangkan seorang guru yang akan mengajarkan berbagai kepandaian penting bagi anak perempuan, seperti mencuci, membuat renda, dan memasak. 

“Tamat sekolah bagi mereka berarti suatu sangkar yang telah tersedia buat seekor burung yang bebas terbang,” ucap Hamid.

Waktu kecil, Hamid menganggap Zainab sebagai adik sendiri. Namun, setelah beranjak dewasa, rasa cinta Hamid kepada Zainab bersemai melampaui sosok adik—sebuah rasa cinta yang tak sanggup ia utarakan. Ia tak tahu apakah Zainab merasakan hal yang sama, dan kalaupun iya, Hamid melihat lembah lapang yang memisahkan status sosial mereka. Kericuhan hatinya kian diperkeruh ketika Mak Asiah meminta Hamid untuk membujuk Zainab agar segera menikah, supaya ibunya merasa tenang dan tenteram. Tak kuasa menolak permintaan ibu angkat yang telah begitu baik kepadanya, Hamid pun mengiyakan. Setelahnya, Hamid memutuskan untuk mengembara dan menjauhkan diri dari Zainab, hingga akhirnya bermukim di Tanah Suci Makkah.

Agama versus Tradisi

Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah bukanlah novel yang bakal membuat para pembaca merasa bahagia atau berseri-seri usai membacanya. Sebaliknya, pembaca bisa menginterpretasikan tema ceritanya sebagai cautionary tale, yaitu kisah peringatan ketika faktor luar seperti tradisi membelenggu hasrat cinta. 

Pada tokoh utamanya, Hamka merajut karakter yang hampir sempurna—tidak gagah menurut Zainab, namun mampu menjadi tokoh teladan terkait budi pekerti, kesopanan, bakti, tanggung jawab kepada orangtua, serta dedikasi terhadap agama. Tak hanya itu, digambarkan pula bahwa latar status sosial ekonomi Hamid yang lemah, telah membuatnya menjadi pribadi yang lebih rajin beribadah. 

Elemen agama memang terasa cukup kuat pada alur cerita Di Bawah Lindungan Ka’bah. Tak heran, karena pengarangnya juga dikenal luas sebagai ulama dan anggota aktif Muhammadiyah pada masa awal berdirinya. Sama seperti Hamid, Hamka muda memang gemar mengembara tanpa tujuan, dan salah satu destinasi utamanya adalah Makkah, di mana ia menetap selama tujuh bulan. Di situlah ia mulai mendalami ajaran Islam dan mengasah kemampuan bertutur kata dalam Bahasa Arab. 

Menariknya, pada awalnya, Balai Pustaka merasa ragu untuk menerbitkan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Saat itu, Balai Pustaka merupakan usaha penerbitan zaman Hindia Belanda. Mereka khawatir, cerita yang berpusat pada agama Islam berpotensi menggeliatkan sentimen anti-kolonialisme. Namun setelah ditilik, novel tersebut tidak mengandung sentimen religi sama sekali. Cerita lebih kritis terhadap budaya tanah kelahiran Hamka dan lebih memberi penekanan pada penghayatan ajaran Islam secara individual. 

Selain agama, benang merah yang kerap mewarnai pilihan tema tulisan Hamka adalah hubungan antara dua insan yang berbeda status sosial—sesuatu yang ia ulang kembali pada novel berikutnya, Tenggelamnya Kapal Van Der WijkSeperti telah disebut sebelumnya, ia sangat kritis terhadap kepatuhan pada tradisi yang berisiko membungkam perubahan. Hamka berangan-angan akan masa depan dengan tradisi yang tak lagi menjadi rintangan dalam menjalin cinta. “Cinta itu adalah jiwa. Antara cinta yang sejati dan jiwa tak dapat dipisahkan, cinta pun merdeka sebagaimana jiwa. Ia tidak memperbedakan antara derajat dan bangsa, kaya dan miskin, mulia dan papa,” tuturnya.

Cinta itu adalah jiwa. Antara cinta yang sejati dan jiwa tak dapat dipisahkan, cinta pun merdeka sebagaimana jiwa. Ia tidak memperbedakan antara derajat dan bangsa, kaya dan miskin, mulia dan papa,” tuturnya.

Sementara itu, melalui kisah Zainab, Hamka juga mendukung kemajuan peran perempuan dalam masyarakat. Atau setidaknya, menciptakan sosok perempuan yang memiliki ketegasan dan berkemauan teguh. Di dalam novel, Zainab dikisahkan tetap bersikeras tak mau menikah dengan sembarang lelaki, meski dipingit oleh kedua orang tuanya. 

Novel klasik Indonesia yang pernah diangkat menjadi film layar lebar pada 1977 dan 2011 ini, terbilang sederhana, singkat, puitis, dan liris. Selang-seling sudut pandang—antara Hamid, Zainab, dan Soleh—memberi elemen objektif pada cerita dan penggambaran tokoh-tokohnya. Gaya bertutur novel meminjam format epistolary, yaitu penorehan ekspresi rasa yang bergulir dari korespondensi surat-menyurat. Penuturan kisah Zainab pun bermula dari surat yang dilayangkan Rosna, teman Zainab, kepada suaminya yang secara kebetulan bertemu dengan Hamid di Makkah.   

Singkat kata, novel Indonesia klasik ini tidak memiliki akhir yang bahagia. Tapi setidaknya, tokoh utamanya telah menerima pencerahan dan ketenteraman hati di bawah lindungan Ka’bah.