Pesut Mahakam merupakan cerita rakyat dari provinsi Kalimantan Timur dengan latar Sungai Mahakam, sungai terpanjang kedua di Indonesia. Di dalam sungai yang menopang kehidupan Suku Bugis, Banjar, dan Dayak ini hidup setidaknya 174 spesies ikan. Salah satu yang paling istimewa yakni pesut mahakam, mamalia menyerupai lumba-lumba yang sudah terancam punah. Sisanya diperkirakan tinggal 80 ekor saja karena sering terperangkap di jaring ikan warga.
Menurut kepercayaan warga sekitar, pesut yang berwajah bulat dan berbadan ramping ini adalah jelmaan anak manusia yang dikisahkan dalam Kisah Pesut Mahakam. Cerita rakyat yang juga menginspirasi film pendek berjudul Duduk Sorangan oleh sutradara asal Tenggarong, Kalimantan Timur, David Richard yang dirilis tahun 2020.
Menurut kepercayaan warga sekitar, pesut yang berwajah bulat dan berbadan ramping ini adalah jelmaan anak manusia yang dikisahkan dalam Kisah Pesut Mahakam.
Dalam kisah Pesut Mahakam terdapat sejumlah tokoh utama. Ada sepasang saudara yang masih berusia muda. Mereka menjadi korban penelantaran ayahnya sejak ibu mereka meninggal dunia. Sang ayah sendiri dicerminkan sebagai sosok yang cenderung terbawa perasaan dan suasana. Karakter lain, ibu tiri yang tidak diketahui asal-usulnya namun berhasil membuat ayah jatuh cinta. Sayangnya, ibu tiri justru menyiksa anak-anak dan menghasut ayah meninggalkan mereka.
Seperti apa kisah Legenda Pesut Mahakam? Ikuti cerita lengkapnya berikut ini.
Ditinggal Oleh Sang Ibu
Alkisah di sebuah desa di sekitar Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, hidup sepasang suami istri yang begitu mencintai satu sama lain. Keduanya dikaruniai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Mereka hidup bahagia dan harmonis hingga sang Ibu terkena penyakit. Meski telah berusaha mengobati sebisa mungkin, kondisi Ibu tak kunjung membaik dan akhirnya meninggal dunia.
Mereka hidup bahagia dan harmonis hingga sang Ibu terkena penyakit.
Kepergian Ibu menjadi pukulan besar bagi keluarga, terutama Ayah yang sangat mencintainya. Sepeninggal Ibu, Ayah banyak menghabiskan waktu dengan menangis dan melamun. Ia tak peduli lagi pada persediaan kayu bakar yang semakin menipis, ladang yang mengering, bahkan anak-anaknya. Bukan hanya rumah yang tak terurus, namun juga diri mereka sendiri. Ayah terlihat lusuh, anak-anak pun semakin kurus. Simak cerita legenda batu menangis yang tak kalah menariknya di indonesiakaya.
Ayah Menikahi Sang Penari
Di awal musim panen, penduduk desa mengadakan pesta perayaan untuk mensyukuri hasil yang mereka dapatkan. Teman-teman Ayah berusaha menghibur dan mengajaknya ke pertunjukan kesenian di mana ia melihat seorang penari yang menarik hatinya.
Paras cantik dan keindahan tariannya membuat Ayah terus kembali untuk menonton pertunjukan Sang Penari setiap malam. Untuk menarik perhatian Sang Penari, Ayah pun berusaha tampil lebih gagah, mengenakan pakaian terbaiknya, dan merapikan diri.
Paras cantik dan keindahan tariannya membuat Ayah terus kembali untuk menonton pertunjukan Sang Penari setiap malam.
Akhirnya pada hari ketujuh, Ayah memberanikan diri untuk mengajak Sang Penari mengobrol. Hubungan mereka terus berlanjut karena ternyata Sang Penari juga tertarik padanya. Ayah pun jatuh hati kepada Sang Penari tanpa peduli tentang latar belakangnya yang tak ia ketahui.
Tak lama kemudian, Ayah dan Sang Penari pun menikah. Setelah menikah, Ayah seperti menemukan semangat baru. Ia merasa keluarganya kembali lengkap dan menjadi rajin bekerja agar bisa menyenangkan istri barunya.
Kejahatan Sang Penari Sebagai Ibu Tiri
Tanpa diketahui Ayah, Ibu tiri justru menunjukkan sikap yang sangat berbeda setelah menikah. Setiap Ayah pergi ke hutan atau ladang, Ibu memberi tugas rumah yang berat pada anak-anak. Awalnya sekadar mencuci piring atau menyapu lantai, namun lama-kelamaan seluruh tugas rumah harus dikerjakan anak-anak. Tapi saat Ayah pulang, Ibu tiri akan berkata kalau sepanjang hari anak-anak hanya bermalas-malasan dan tak mau membantunya.
Tanpa diketahui Ayah, Ibu tiri justru menunjukkan sikap yang sangat berbeda setelah menikah.
Karena sangat mencintai istri barunya, Ayah percaya sepenuhnya pada Ibu tiri dan menegur anak-anak. Bahkan, Ayah setuju saat Ibu tiri ingin menghukum anak-anak dengan memberikan makanan sisa agar mereka bisa lebih menghargainya.
Semakin lama, tugas yang diberikan Ibu tiri semakin tak masuk akal. Ibu tiri meminta anak-anak mencari kayu bakar ke hutan, sebuah pekerjaan berat yang biasanya hanya dilakukan oleh lelaki dewasa. Mereka diminta pergi tanpa makan terlebih dahulu, dan tak diizinkan pulang sebelum mendapat kayu satu keranjang penuh. Meski berhasil melakukan tugas ini, sesampainya di rumah anak-anak tetap hanya diberikan makanan sisa.
Esoknya, Ibu tiri kembali meminta anak-anak mencari kayu bakar. Kali ini harus dua kali lipat banyaknya! Lagi-lagi, mereka tak diizinkan makan terlebih dahulu, juga tak boleh pulang jika belum berhasil mengumpulkan kayu bakar. Saat malam tiba, keduanya baru berhasil mengumpulkan satu keranjang kayu bakar. Tahu akan dimarahi jika pulang sebelum berhasil, anak-anak pun memutuskan untuk bermalam di hutan dengan perut kelaparan.
Di pagi hari, anak-anak segera bangun untuk mencari satu keranjang lagi kayu bakar agar bisa segera makan di rumah. Hari semakin siang, keduanya pun merasa semakin lapar sehingga akhirnya jatuh pingsan. Saat sadar, anak-anak sudah berada di bawah pohon rindang di area yang penuh dengan buah-buahan. Tanpa berpikir panjang, anak-anak langsung makan hingga kekenyangan. Setelahnya, anak-anak lanjut menyelesaikan tugas mencari kayu bakar lalu segera pulang.
Anak-Anak Ditinggal Ayah dan Ibu Tiri
Sesampainya di rumah, anak-anak terkejut melihat rumah yang kosong. Bukan hanya orang tua mereka yang menghilang, tapi juga hampir semua barang di dalamnya. Ternyata selama mencari kayu, Ayah dan Ibu pindah dari rumah itu. Karena panik dan tak tahu harus berbuat apa, anak-anak hanya bisa menangis. Setelah lebih tenang, anak-anak memutuskan untuk menjual semua kayu bakar yang tersisa pada tetangga agar bisa mendapat bekal mencari orang tuanya.
Ternyata selama mencari kayu, Ayah dan Ibu pindah dari rumah itu.
Setelah dua hari perjalanan, sampailah anak-anak di tepian Sungai Mahakam. Di sana terlihat rumah kecil dengan jemuran baju di depannya. Baju itu terlihat seperti punya Ayah! Mereka segera berlari masuk ke dalam rumah, tetapi kosong. Di dalam rumah tercium aroma masakan yang membuat perut anak-anak yang sudah kelaparan pun berbunyi nyaring. Ternyata, aroma lezat itu datangnya dari dapur. Di sana ada sebuah kuali berisi bubur yang sedang dimasak hingga mendidih.
Karena sangat lapar, anak-anak menyendok bubur panas sesuap demi sesuap dan menghabiskannya sampai ke dasar kuali. Setelah makan, suhu tubuh mereka menjadi panas seperti terbakar api. Panik, anak-anak menggunakan semua air di dapur untuk minum dan menyiram tubuh, namun berujung nihil. Mereka melepas semua barang bawaan dan berlari ke luar rumah menuju ke sungai, kemudian langsung melompat ke dalam air.
Ayah Menemukan Anak-Anak Menjadi Pesut
Di saat yang sama, Ayah dan Ibu tiri sampai ke rumah. Saat masuk ke dapur, semuanya terlihat berantakan. Terlihat barang anak-anak yang sudah berserakan di samping kuali kosong. Ayah lalu menyadari anak-anak datang mencarinya, mereka tidak kabur dari rumah seperti kata Ibu tiri.
Ayah keluar dan mencari anak-anaknya hingga ke tepi sungai, tapi tak menemukan siapapun. Di dalam sungai, Ayah hanya melihat ada dua makhluk seperti ikan berwajah mirip manusia yang menyemburkan air dari kepala mereka. Keduanya berenang berputar-putar seperti senang melihat Ayah.
Di dalam sungai, Ayah hanya melihat ada dua makhluk seperti ikan berwajah mirip manusia yang menyemburkan air dari kepala mereka.
Ayah menjadi curiga jika kedua makhluk itu adalah anaknya. Ayah berlari ke rumah untuk meminta tolong pada Ibu tiri guna memastikan apa dua makhluk itu benar anak-anaknya. Namun Ayah tak bisa menemukan Ibu tiri di mana pun. Ibu tiba-tiba menghilang begitu saja seperti bukan seorang manusia. Ayah akhirnya kembali ke sungai, meratapi keadaan anak-anaknya yang telah berubah menjadi ikan dan menyesali perbuatannya yang terlalu percaya semua perkataan istri barunya. Warga sekitar yang mengetahui tentang kisah ini kemudian menamai anak-anak dengan sebutan Pesut Mahakam.
Moral Cerita Pesut Mahakam
Kisah Pesut Mahakam adalah cerita rakyat yang mengandung beberapa nilai moral. Pelajaran pertama yang bisa dipetik dari cerita ini adalah agar tidak mudah percaya dengan orang melebihi keluarga sendiri. Seperti yang dilakukan Ayah yang lebih percaya pada Ibu tiri yang belum lama dikenalnya dibanding anak-anak.
Pelajaran pertama yang bisa dipetik dari cerita ini adalah agar tidak mudah percaya dengan orang melebihi keluarga sendiri.
Terakhir, kesedihan yang berlarut-larut seperti yang Ayah lakukan sepeninggal Ibu, bisa membawa banyak dampak buruk, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.