Cerita Rakyat Kalimantan Selatan: Legenda Mandin Tangkaramin - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Cerita Rakyat Kalimantan Selatan: Legenda Mandin Tangkarim

Cerita Rakyat Kalimantan Selatan: Legenda Mandin Tangkaramin

Kisah tragis yang menjadi asal-usul warna merah pada bebatuan Air Terjun Tangkaramin.

Kesenian

Cerita rakyat Kalimantan Selatan: Legenda Mandin Tangkaramin ini mengisahkan tentang batu manggu masak—yaitu bongkahan batu besar berwarna merah yang terdapat di Mandin Tangkaramin. Menurut bahasa setempat, mandin berarti air terjun. Dengan kata lain, Mandin Tangkaramin berarti Air Terjun Tangkaramin. 

Legenda Mandin Tangkaramin ini mengisahkan tentang batu manggu masak—yaitu bongkahan batu besar berwarna merah yang terdapat di Mandin Tangkaramin.

Legenda yang menceritakan perkelahian dua orang pemuda, Bujang Alai dan Bujang Kuratauan, yang selalu hidup bermusuhan ini masih dipercaya masyarakat sekitar hingga kini.

Bujang Alai dan Bujang Kuratauan

Di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, terdapat sebuah kecamatan bernama Loksado. Hiduplah dua orang pemuda bernama Bujang Alai dan Bujang Kuratauan. 

Bujang Alai adalah seorang pemuda yang tampan dan kaya raya. Namun, karena kelebihannya itu, ia bersifat angkuh dan sering bertindak sesuka hati. Ia tak pernah lupa membawa keris dan selilit jimat di pinggangnya. Kelebihannya itu selalu ia jadikan tontonan, dengan harapan banyak yang akan tertarik padanya. Perlakuan semena-mena juga ia lakukan terhadap orang lain, terutama pada warga kampung yang miskin. Tak jarang pula ia mencari masalah dengan Bujang Kuratauan.

Sementara itu, Bujang Kuratauan adalah pemuda yang sopan, berwajah biasa saja, dan berasal dari keluarga sederhana. Sifatnya yang rendah hati dan dapat diandalkan membuatnya disegani. Ketika bepergian, ia juga selalu membawa parang bungkul (senjata tradisional orang Banjar) pada pinggangnya. Namun, senjata ini akan dikeluarkan oleh Bujang Kuratauan hanya pada saat ia merasa perlu menegakkan kehormatan, kebenaran, dan keadilan. 

Kegemparan di Desa Malinau

Suatu hari, terjadi kehebohan di Desa Malinau. Kabarnya, ada seorang gadis yang lenyap begitu saja. Bahkan, tidak ada juga tanda-tanda kehidupan dari gadis ini setelah dicari ke seluruh pelosok kampung dan hutan. Segala cara sudah dikerahkan, hingga kedua orang tua sang gadis menjadi patah semangat dan putus asa. Air mata terus membasahi pipi mereka.

Di tengah kehebohan itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari Bujang Alai yang mengatakan bahwa ia menyembunyikan seorang gadis di rumahnya. Ia pun menantang siapa saja untuk menjemput gadis itu, asalkan dapat menahan mata keris miliknya. Tanpa pikir panjang, setiap warga yakin bahwa pernyataan itu ditujukan ke Bujang Kuratauan.

Ia pun menantang siapa saja untuk menjemput gadis itu, asalkan dapat menahan mata keris miliknya.

Sebagai pemuda yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, Bujang Kuratauan segera menyuruh Bujang Alai untuk melepaskan sang gadis dan mengembalikannya kepada kedua orang tuanya.

Bujang Alai terlihat senang, karena pancingannya ini berhasil menarik perhatian Bujang Kuratauan. Ia berpikir bahwa Bujang Kuratauan akan menyerangnya tak lama lagi, sehingga ia punya kesempatan untuk menghabisinya. Semakin dibayangkan kemenangan itu, semakin besar pula senyum Bujang Alai. Karena itu pula, ia kembali menantang Bujang Kuratauan untuk menghadapi dirinya terlebih dahulu, bila ingin membawa gadis itu pulang.

Dalam hitungan detik, Bujang Alai mencabut kerisnya dan berdiri di posisi siap menyerang. Melihat hal itu, Bujang Kuratauan juga langsung mengeluarkan parang bungkul miliknya. Baku hantam pun terjadi.

Perkelahian Bujang Alai dan Bujang Kuratauan

Pertempuran sengit antara keduanya tak terelakkan. Keduanya saling menyerang dan menangkis dengan kelebihannya masing-masing. Ketika petang hari tiba, Ujang Alai meminta Bujang Kuratauan untuk melanjutkan pertarungannya esok pagi.

Bujang Kuratauan berkata bahwa ia siap melayani Bujang Alai bertarung di mana pun dan kapan pun, lantaran ia tak bisa lagi menoleransi kelakuan Bujang Alai yang dengan seenak hati menyembunyikan anak gadis. Bujang Alai lalu menetapkan waktu untuk bertarung keesokan paginya di Mandin Tangkaramin.

Bujang Kuratauan berkata bahwa ia siap melayani Bujang Alai bertarung di mana pun dan kapan pun, lantaran ia tak bisa lagi menoleransi kelakuan Bujang Alai yang dengan seenak hati menyembunyikan anak gadis.

Tak jauh dari Desa Malinau, terdapat sebuah air terjun dengan tinggi sekitar 13 meter yang bernama Mandin Tangkaramin. Hutan lebat mengelilinginya, hingga orang tidak dapat membedakan antara pagi dan malam hari bila sedang berada di air terjun yang juga dipenuhi bongkahan-bongkahan batu besar dan kecil itu. 

Tak lama setelah matahari terbit, Bujang Alai dan Bujang Kuratauan tiba di sana. Bujang Alai mempertajam kerisnya, sementara Bujang Kuratauan justru membuat tumpul parang bungkulnya. Tanpa banyak basa-basi, pertarungan segera dilanjutkan dengan keris dan parang bungkul yang terus beradu hingga mengeluarkan bunyi berdentang dan percikan api. 

Segala keahlian dan kemampuan mereka kerahkan di pertaruhan pagi itu. Setelah cukup lama, keduanya mulai kelelahan. 

Karena niat Bujang Alai untuk menghabisi Bujang Kuratauan sudah terpendam sejak lama, ia pun mulai kehilangan kendali. Serangannya terhadap Bujang Kuratauan terlihat semakin membabi buta, hingga ia kehabisan tenaga dan kerisnya bergerak tak keruan. 

Keduanya kebal, maka tak ada satu pun di antara mereka yang terluka. Namun, karena pantulan sinar matahari dari keris Bujang Alai menyilaukan matanya sendiri, ia pun menjadi semakin lengah. Hal ini memberi kesempatan besar bagi Bujang Kuratauan untuk menyerangnya. Ketika itulah, Bujang Kuratauan menghantam tubuh Bujang Alai dengan parang bungkul miliknya. Dan karena tumpul, parang bungkul itu justru mampu membuat tubuh Bujang Alai memar dan remuk di dalam. Bujang Alai segera tersungkur dan mati seketika. 

Orang Tua Bujang Alai Turun Tangan

Berita kematian Bujang Alai tiba dengan cepat ke telinga sang ayah. Tak terima putranya mati akibat hantaman parang bungkul milik Bujang Kuratauan, ia pun berniat membalas dendam kepada Bujang Kuratauan. 

Bujang Kuratauan, yang sudah tahu bahwa keluarga Bujang Alai tak akan tinggal diam atas kejadian tersebut, langsung mengatur siasat bersama ayahnya. Mereka sepakat, bila terdengar suara keramaian dari jauh, seluruh anggota keluarga Bujang Kuratauan akan menyalakan obor dan berlari menuju hutan.

Hari yang sudah diperkirakan itu pun tiba. Keluarga Bujang Kuratauan segera berlari ke dalam hutan begitu mendengar suara keramaian dari jauh. Untung bagi keluarga Bujang Kuratauan, sang ayah sudah tahu betul seluk-beluk hutan rimba tadi, sehingga kelebihan itu ia gunakan untuk menyembunyikan keluarganya di tengah hutan.

Sementara itu, keluarga Bujang Alai terus berlari mengejar keluarga Bujang Kuratauan ke dalam hutan dengan mengikuti arah obor. Berbekal amarah yang penuh dendam, mereka tak sadar bahwa obor-obor yang dinyalakan keluarga Bujang Kuratauan itu adalah sebuah jebakan.

Berbekal amarah yang penuh dendam, mereka tak sadar bahwa obor-obor yang dinyalakan keluarga Bujang Kuratauan itu adalah sebuah jebakan.

Pada waktu yang tepat, Ayah Bujang Kuratauan segara meneriakkan perintah. Serentak, seluruh anggota keluarga Bujang Kuratauan melempar obor yang mereka pegang ke arah sungai. Sedangkan keluarga Bujang Alai tetap berlari mengikuti obor tanpa mengetahui keadaan sekitar. Mereka pikir, keluarga Bujang Kuratauan sedang berlari dengan mengambil jalan pintas.

Tak lama, terdengarlah teriakan dari keluarga Bujang Alai yang satu per satu jatuh ke dasar sungai. Ternyata, keluarga Bujang Kuratauan melempar obornya ke dasar sungai Mandin Tangkaramin. 

Seluruh tubuh anggota keluarga Bujang Alai lantas menghantam bebatuan tajam di dasar sungai, hingga menumpahkan darah dan membuat air serta bebatuan yang ada di sana berwarna merah. Hingga kini, penduduk setempat percaya bahwa bongkahan batu terbesar yang berwarna merah bak kulit manggis yang masak itu adalah batu yang terkena darah keluarga Bujang Alai. Batu itu kemudian diberi nama manggu masak.

Hingga kini, penduduk setempat percaya bahwa bongkahan batu terbesar yang berwarna merah bak kulit manggis yang masak itu adalah batu yang terkena darah keluarga Bujang Alai.

Moral Mandin Tangkaramin

Cerita rakyat Kalimantan Selatan: Legenda Mandin Tangkaramin mengajarkan meski memiliki kelebihan, janganlah berperilaku sombong dan semena-mena. Jangan pula membenarkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Sejatinya, orang yang berniat dan berperilaku jahat akan mendapat balasan yang setimpal.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Academia, Kemdikbud