Telaga Sarangan, yang juga dikenal sebagai Telaga Pasir, merupakan sebuah danau alami yang terletak di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Danau ini berada di ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Air biru jernih dengan kedalaman 28 meter, berpadu dengan panorama indah di sekitarnya, menjadikan Telaga Sarangan sebagai destinasi wisata yang memikat. Lebih dari sekadar oase ketenangan, Telaga Sarangan juga menawarkan petualangan seru bagi para penjelajah.
Telaga Sarangan berlokasi di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, sekitar 16 kilometer dari pusat Kota Magetan. Sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Magetan, Telaga Sarangan menawarkan berbagai aktivitas menarik yang bisa dinikmati pengunjung. Mulai dari sekadar berkeliling di sekitarnya, menunggang kuda, bermain speed boat, sampai menikmati kuliner khasnya seperti nasi pecel atau tiwul.
Di balik keindahan Telaga Sarangan seluas 30 hektar ini, terukir kisah tentang asal-usulnya yang menarik untuk ditelusuri. Menurut legenda, sejarah Telaga Sarangan berasal dari kisah sepasang suami istri bernama Ki Pasir dan Nyai Pasir. Oleh karena itulah, telaga ini dahulu dikenal dengan nama Telaga Pasir. Nama Telaga Sarangan kemudian diberikan karena letaknya yang berada di Kecamatan Sarangan.
Menurut legenda, sejarah Telaga Sarangan berasal dari kisah sepasang suami istri bernama Ki Pasir dan Nyai Pasir.
Masyarakat setempat percaya bahwa Ki Pasir dan Nyai Pasir terus menjaga Telaga Sarangan. Maka dari itu, terdapat ritual larung sesaji yang dilaksanakan setiap tahun di telaga tersebut. Tak hanya itu, Telaga Sarangan juga memiliki dua simbol penghormatan bagi Ki Pasir dan Nyai Pasir. Yakni, sepasang patung ular naga dan sepasang batu nisan di pulau kecil yang berada di tengah telaga, serta sepasang patung ular naga yang berjarak 100 meter dari pintu masuk.
Patung ini kerap menjadi spot foto bagi wisatawan. Patung ular naga tersebut dibangun untuk menggambarkan jelmaan Ki Pasir dan Nyai Pasir yang hilang secara misterius. Lalu, apa hubungannya Ki Pasir dan Nyai Pasir dengan naga-naga tadi?
Ki Pasir dan Nyai Pasir Mendambakan Seorang Anak
Dahulu, di kaki Gunung Lawu, hidup sepasang suami istri yang dikenal dengan nama Ki Pasir dan Nyai Pasir. Keduanya hidup rukun dan damai di tengah alam yang asri dan subur. Namun, ada satu hal yang dirindukan dari pasangan ini, kehadiran seorang anak.
Setiap hari, hanya satu yang mereka minta kepada Sang Pencipta, yaitu seorang anak. Dalam kesehariannya, mereka hanya berkebun di ladang dan berburu binatang. Suatu hari, datanglah kabar yang menggembirakan: Sang Pencipta menjawab doa pasangan ini. Hingga tiba saatnya, Nyai Pasir melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Joko Lelung. Lengkaplah kebahagiaan Ki Pasir dan Nyai Pasir.
Setiap hari, hanya satu yang mereka minta kepada Sang Pencipta, yaitu seorang anak.
Ki Pasir Mencari Amanat
Hari demi hari, Joko Lelung tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan aktif. Saking gemarnya berkelana, Joko Lelung jarang berada di rumah. Joko Lelung kerap menyambangi berbagai tempat baru yang belum pernah dia datangi. Joko Lelung juga mengolah ilmu kebatinan dengan bersemedi. Ia hanya sesekali mampir ke rumah dan keesokannya pergi lagi entah ke mana.
Kian hari, tubuh Ki Pasir kian lemah. Kedatangan Joko Lelung yang dulu ditunggu-tunggu, sangat diharapkan bisa meringankan pekerjaannya di ladang dan hutan. Namun, harapan Ki Pasir dan Nyai Pasir itu tak pernah mereka utarakan kepada sang anak. Malahan, Ki Pasir memilih bersemedi di gua untuk memohon kekuatan kepada Sang Maha Kuasa.
Di dalam gua, Ki Pasir berdoa agar tubuhnya yang lemah dapat kembali kuat, sehat, dan memiliki umur yang panjang melebihi manusia biasa. Tak disangka-sangka, Ki Pasir mendapatkan petunjuk dalam semedinya. Ia pun menemukan sebuah telur yang sangat besar. Saat melihat telur besar itu, terdengar suara yang menyuruh Ki Pasir untuk memakannya agar mencapai keabadian.
Di dalam gua, Ki Pasir berdoa agar tubuhnya yang lemah dapat kembali kuat, sehat, dan memiliki umur yang panjang melebihi manusia biasa.
Selepas semedi, Ki Pasir berusaha mencari makna dari pesan yang didengarnya. Sepulang dari ladang, ia tiba-tiba mendapati sebuah benda bulat di bawah pohon tua. Benda itu menyerupai telur, tetapi ukurannya jauh lebih besar dari telur biasa. Ia teringat pesan di gua yang menuntunnya untuk menuju keabadian melalui telur besar, beberapa hari sebelumnya. Wajahnya tampak berseri-seri dan ia berniat menyantap telur itu setibanya di rumah.
Ki Pasir dan Nyai Pasir Berubah menjadi Naga
Keesokan harinya, Ki Pasir memasak telur itu. Ki Pasir kemudian membagi telur menjadi dua. Setengah untuknya, dan setengahnya lagi untuk Nyai Pasir yang telah lebih dahulu berangkat ke hutan untuk mencari kayu bakar. Usai menyantap telur, berangkatlah Ki Pasir menuju ladangnya. Cuaca begitu cerah, Ki Pasir sangat bahagia. Alam seakan melukiskan keindahannya yang tak terbatas untuk Ki Pasir. Dia merasa tubuhnya menjadi lebih segar dan kuat, serasa puluhan tahun lebih muda dari sekarang.
Di tengah jalan, kepala Ki Pasir tiba-tiba terasa sangat pening. Tubuhnya juga gatal-gatal. Semakin Ki Pasir menggaruknya, semakin gatal kulitnya. Dari kulitnya yang gatal pun keluar uap panas. Ki Pasir semakin panik dan kelimpungan mencari mata air terdekat untuk berendam dan mendinginkan badannya. Namun, lambat laun, kulitnya mulai berubah, menjadi seperti sisik hewan yang menyeramkan dan menakutkan. Kehilangan akal sehat, Ki Pasir semakin membabi buta mencari sumber air. Menemukan mata air, dia segera berlari dan merendam tubuhnya di sana.
Sementara itu, Nyai Pasir tiba di rumah dengan kelelahan, membawa kayu bakar dari hutan. Ketika memasuki rumah, Nyai Pasir melihat makanan di dekatnya. Ia kemudian memakan separuh telur itu sambil meregangkan tubuhnya yang terasa letih. Sesaat setelah makan, Nyai Pasir juga mengalami gejala yang sama seperti Ki Pasir: tubuhnya terasa gatal dan panas. Panik, dia berlari mencari Ki Pasir di ladang untuk meminta bantuan. Namun, dia tak dapat menemukan suaminya di ladang. Nyai Pasir memanggil-manggil Ki Pasir, tetapi tidak ada jawaban. Kelelahan membuatnya tak berdaya. Dia pun mencari sumber air di sekitar ladang untuk merendam tubuhnya.
Sayup-sayup dari arah mata air, terdengar suara gemuruh seakan-akan terdapat makhluk besar yang mengamuk di mata air itu. Menahan rasa sakit, Nyai Pasir yang penasaran berusaha mengintip dari balik semak. Dia terkejut menyaksikan seekor naga raksasa yang tengah berenang mengamuk di dalam mata air.
Dia terkejut menyaksikan seekor naga raksasa yang tengah berenang mengamuk di dalam mata air.
Namun, entah mengapa, Nyai Pasir merasa bahwa naga raksasa itu adalah perwujudan suaminya, terlebih lagi setelah melihat kulitnya yang perlahan juga mulai bersisik. Di tengah kepanikannya, Nyai Pasir terperosok dan berguling di dekat mata air. Dalam sekejap, tubuh Nyai Pasir pun ikut berubah menjadi seekor naga dan kemudian menyusul suaminya ke dalam mata air.
Di dalam air, Nyai Pasir mencari suaminya. Dia melampiaskan amarahnya, karena tak terima wujudnya berubah menjadi ular naga. Ki Pasir juga naik pitam karena hal yang sama. Ki Pasir merasa bahwa alam semesta telah mengutuknya. Dia kemudian mengajak Nyai Pasir untuk menenggelamkan Gunung Lawu.
Kedua naga itu berputar-putar tanpa henti, menciptakan pusaran air raksasa. Tanah di sekitar sumber air akhirnya runtuh, dan kubangan pusaran air semakin melebar dan mendalam. Airnya pun terus bertambah banyak. Jika tak segera dihentikan, Gunung Lawu terancam tenggelam.
Saat itu, Joko Lelung yang baru pulang dari semedi, menyadari bahwa bencana yang sedang terjadi disebabkan oleh kedua orang tuanya. Keyakinannya semakin kuat ketika ia melihat rumah dan ladang orang tuanya kosong tak bertuan. Joko Lelung pun segera bersila dan memanjatkan doa kepada Sang Pencipta. Dia berdoa agar alam semesta menundukkan kedua ular naga raksasa itu agar tak terjadi bencana yang lebih besar.
Tiba-tiba, kedua naga perwujudan Ki Pasir dan Nyai Pasir itu memancarkan cahaya dan menjadi lebih tenang. Tubuh mereka perlahan menghilang ke dalam air. Joko Lelung dilanda kesedihan atas kepergian kedua orang tuanya. Penyesalan mendalam menyelimuti hatinya atas kejadian yang menimpa ayah dan ibunya.
Bekas amukan kedua naga raksasa itu kemudian membentuk sebuah telaga dengan pulau kecil di tengahnya. Untuk mengenang kebaikan kedua orang tuanya, tempat itu akhirnya diberi nama Telaga Pasir, yang kini dikenal sebagai Telaga Sarangan.
Bekas amukan kedua naga raksasa itu kemudian membentuk sebuah telaga dengan pulau kecil di tengahnya
Hingga saat ini, kedua naga tersebut diyakini masih menempati Telaga Sarangan. Karena legenda ini masih dipercaya masyarakat setempat, bahkan menjelang bulan puasa, warga sekitar akan menggelar upacara bersih desa dan melarungkan sesaji berupa hasil panen sebagai tolak bala. Tujuan upacara ini adalah untuk menghormati roh leluhur yang konon merupakan cikal bakal Desa Sarangan, yaitu Ki Pasir dan Nyai pasir.
Moral Cerita
Legenda Telaga Sarangan sarat akan nilai-nilai moral kehidupan yang dapat kita petik. Kisah Ki Pasir dan Nyai Pasir mengajarkan kita tentang kesetiaan dan pengorbanan dalam hubungan pernikahan. Mereka saling mendukung dan memahami dalam suka dan duka, serta bahu-membahu dalam menghadapi cobaan dan kesulitan, termasuk dalam kerinduan mereka untuk memiliki keturunan.
Kita juga diajarkan tentang pentingnya memiliki keyakinan dan keteguhan dalam berdoa di kala menghadapi rintangan dan kegagalan dalam hidup. Cerita ini juga menggarisbawahi kesadaran akan dampak tindakan kita terhadap orang lain dan lingkungan sekitar.