Cerita Rakyat Betawi: Legenda Si Pitung berasal dari provinsi DKI Jakarta. Legenda ini begitu terkenal dalam kebudayaan masyarakat Betawi, hingga sering dijadikan bahan pembicaraan oleh para sejarawan dan ahli budaya. Salah satu yang paling termasyhur adalah cerita yang dirangkum dalam buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api dan esai bertitel In Search of Si Pitung: The History of an Indonesian Legend—dimuat jurnal Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde, Vol. 152, 1996.
Kedua buku tersebut adalah buah karya seorang sejarawan asal Belanda, Margreet van Till. Ceritanya berkisar seputar sepak terjang Si Pitung yang diyakini merupakan seorang tokoh nyata, bukan mitos seperti yang dipercayai masyarakat luas. Selain itu, terdapat juga sebuah novel adaptasi karya Lukman Karmani yang berjudul Si Pitung: Tjerita Klasik Djaman Betawi (1969). Seiring berjalannya waktu, sang legenda merambah ke ranah pop kultur yang ditandai dengan kemunculan film bertajuk Si Pitung (1970) dan dibintangi Dicky Zulkarnain.
Ada banyak versi cerita Si Pitung yang beredar di masyarakat. Termasuk di antaranya adalah versi Indonesia, Belanda, dan Tionghoa, yang masing-masing memiliki pandangan berbeda tentang Si Pitung. Jika versi Indonesia menggambarkan Si Pitung sebagai seorang pahlawan pembela masyarakat Betawi, versi Belanda dan Tionghoa justru melihat Si Pitung sebagai buronan kompeni. Untuk menghindari kebingungan, Cerita Rakyat Betawi: Legenda Si Pitung kali ini akan mengambil versi Indonesia, demi menghormati legasinya di tengah masyarakat Betawi dan signifikansinya dalam budaya Indonesia hingga kini.
Cerita dari abad ke-19 ini mengisahkan napak tilas Ahmad Nitikusumah atau Si Pitung yang dikenal sebagai sosok “Robin Hood” Indonesia. Kisah ini berawal saat ia diberi mandat oleh sang ayah untuk menjual seekor kambing. Ketika berhasil terjual, duit sebesar 25 gulden yang didapatkannya dicuri oleh komplotan bandit di daerah tersebut. Ia pun murka dan berniat membalas dendam. Tak disangka, ia justru bergabung dengan komplotan yang terdiri dari tujuh orang tersebut, bahkan menjadi pemimpin untuk merampok para tuan tanah Belanda (kompeni). Dari sinilah julukan Pitung berasal, yaitu pituan pitulung yang berarti tujuh sekawan atau tolong-menolong dalam Bahasa Jawa. Meski mengacu pada komplotan beranggotakan tujuh orang tersebut, nama Si Pitung kerap diasosiasikan dengan Ahmad seorang.
Cerita dari abad ke-19 ini mengisahkan napak tilas Ahmad Nitikusumah atau Si Pitung yang dikenal sebagai sosok “Robin Hood” Indonesia.
Komplotan ini memulai aksi perampokan pertamanya di rumah Haji Saipudin, tuan tanah asal Bugis, Sulawesi Selatan. Merasa berhasil, Si Pitung dan komplotannya merencanakan aksi-aksi lainnya di kemudian hari. Hal ini membuat gusar para kompeni, centeng (pengawal), dan warga sekitar lainnya, sehingga Si Pitung dan komplotannya menjadi buronan seantero masyarakat. Berkat kelihaian dan kemampuan bela diri yang dimilikinya, ia berhasil meloloskan diri berkali-kali. Namun, semua ini berhenti ketika seorang polisi bernama A.W. Van Hinne berhasil menangkapnya. Lantas, bagaimana nasib Si Pitung dan komplotannya? Beginilah kisah lengkapnya.
Sepak Terjang Si Pitung
Si Pitung lahir di Jakarta (dulu Batavia) pada 1886, tepatnya pada masa penjajahan Belanda. Ia diketahui bernama asli Ahmad Nitikusumah, anak dari pasangan Bang Piung dan Mak Pinah yang bermukim di daerah Rawabelong. Semasa kecil, Si Pitung bersekolah di Pondok Pesantren Haji Naipin, tempat ia dididik dengan pendidikan agama yang kuat sambil belajar ilmu bela diri. Ia juga dikenal sebagai pribadi berakhlak baik dan disukai oleh warga sekitar.
Ia diketahui bernama asli Ahmad Nitikusumah, anak dari pasangan Bang Piung dan Mak Pinah yang bermukim di daerah Rawabelong.
Suatu hari, Si Pitung yang waktu itu masih berusia sekitar 15 tahun, ditugaskan oleh sang ayah untuk menjual seekor kambing hasil ternak keluarga di Pasar Tanah Abang. Setelah berhasil menjualnya, ia berjalan pulang dengan perasaan bangga dan tak sabar untuk memberitahu sang ayah.
Malang beribu malang, ia dihadang oleh komplotan Belanda dan Tionghoa yang dijuluki sebagai ‘centeng’. Mereka merampas uang sebesar puluhan gulden yang didapatkan Si Pitung dari hasil penjualan kambing. Ia pulang dengan tangan kosong dan hati sedih. Ayahnya pun menjadi geram ketika mendengar berita tersebut.
Si Pitung ikut murka dan berjanji untuk membalas dendam kepada para bandit tersebut. Ketika berhasil menemukan mereka, Si Pitung mengerahkan kemampuan bela dirinya dan memberi pelajaran kepada komplotan tersebut. Usai bertarung, komplotan yang terdiri oleh enam pemuda bernama Abdoelrachman, Moedjeran, Merais, Dji-ih, Gering, dan Jampang tersebut justru dibuat terkesan atas keahlian Si Pitung dan mengajaknya bergabung.
Meski awalnya menolak, ia akhirnya bergabung sebagai pemimpin komplotan dengan syarat bahwa hasil rampokan akan dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Ia berniat menggunakan ilmu bela dirinya untuk melawan para kompeni dan tuan tanah yang begitu semena-mena terhadap warga.
Si Pitung dan komplotan melakukan aksi pertamanya di kantor Maester Cornelis, tempat seorang tuan tanah asal Bugis, Haji Saipudin, bekerja. Aksi ini dilakukan secara cerdik oleh Si Pitung dengan menyamar sebagai salah satu pegawai pemerintahan Belanda. Penipuan ini dilakukan dengan cara mencuri seragam salah satu petugas dan menyamar sebagai demang atau kepala daerah wilayah Maester Cornelis.
Aksi ini dilakukan secara cerdik oleh Si Pitung dengan menyamar sebagai salah satu pegawai pemerintahan Belanda.
Selanjutnya, Si Pitung memberi surat perintah kepada Haji Saipudin agar menyimpan uangnya di kantor Maester Cornelis untuk keperluan pengawasan pencurian. Tak disangka, Haji Saipudin setuju dan memberikan uangnya kepada “Demang Maester Cornelis” alias Si Pitung. Setelah itu, harta Haji Saipudin dibawa kabur oleh Si Pitung dan komplotannya.
Merasa berhasil melakukannya tanpa menimbulkan kecurigaan pihak berwenang, Si Pitung dan komplotan terus-menerus melakukan berbagai perampokan selanjutnya. Hingga suatu hari, pihak berwenang menemukan jas hitam, seragam polisi, topi yang digunakan untuk tipu muslihat, sekaligus uang rampasan sebesar 125 Gulden. Kabar ini pun perlahan terdengar dan menggemparkan warga yang khawatir hartanya akan dicuri oleh Si Pitung dan komplotannya.
Puncak Pelarian
Pihak berwenang lalu memutuskan untuk memberitakan di sebuah surat kabar dengan tujuan memburu mereka. Bahkan, disiapkan ganjaran uang sebesar 400 gulden bagi siapa saja yang berhasil menangkap sang komplotan. Meski ketujuh orang tersebut diincar, Si Pitung lah yang paling dicari lantaran perannya sebagai ketua. Akan tetapi pencarian tersebut selalu berujung nihil, padahal sejumlah detektif juga ikut turun tangan.
Bahkan, disiapkan ganjaran uang sebesar 400 gulden bagi siapa saja yang berhasil menangkap sang komplotan.
Sebenarnya, beberapa kali para pihak berwenang sempat menemukan Si Pitung dan mencoba menembaknya. Namun, selain ilmu bela diri nan andal, Si Pitung juga memiliki sebuah kesaktian yang terus-menerus menyelamatkannya dari tangkapan polisi dan malapetaka lainnya.
Kemudian, pencarian terhadap Si Pitung terus-menerus dilakukan, kali ini dikepalai seorang Kepala Polisi Kolonial yang bernama A.W. Van Hinne. Pencarian ini dibantu oleh warga setempat yang bertindak sebagai informan. Hari demi hari, mereka menyisiri daerah Kampung Bambu dan sekitarnya, tempat Si Pitung sering beredar dan beraksi.
Suatu hari, Van Hinne mendapatkan berita dari salah satu informan bahwa Si Pitung tengah berada di wilayah Tanah Abang. Dengan amat berhati-hati karena takut kehilangan sang bandit ulung, Van Hinne menyiapkan strategi untuk menyergapnya. Tak lama kemudian, Si Pitung menampakkan diri dan mencoba melarikan diri. Namun, Van Hinne dan pasukannya berhasil menangkap dan menembak kaki Si Pitung.
Lemah lunglai dan tak mampu melakukan perlawanan, Van Hinne kembali menembak dan kali ini mendarat tepat di bagian dada. Perlahan, Si Pitung terjatuh ke tanah dan meninggal. Lalu bagaimana dengan kesaktiannya? Bukankah harusnya hal tersebut dapat menyelamatkannya dari malapetaka? Ternyata, sehari sebelumnya, Pitung memotong rambutnya hingga kesaktiannya hilang. Diketahui, untuk mempertahankan kesaktiannya, ia tidak boleh melepas jimat atau memotong rambut.
Ternyata, sehari sebelumnya, Pitung memotong rambutnya hingga kesaktiannya hilang.
Selepas kepergiannya, Si Pitung disemayamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Kebon Jeruk, Jakarta. Kemudian, makam sang legenda terus-menerus dijaga oleh warga Betawi karena ia dihormati sebagai pahlawan pembela keadilan dari para penindas. Warga Betawi pun percaya bahwa Si Pitung terus melindungi mereka dari malapetaka hingga saat ini.
Moral Cerita
Dari Cerita Rakyat Betawi: Legenda Si Pitung, terdapat sejumlah pesan moral yang dapat dipetik. Pertama dan yang paling penting adalagh untuk selalu memiliki niat mulia dalam bertindak, seperti Si Pitung yang disenangi masyarakat berkat kepribadiannya yang supel dan suka menolong. Hanya saja, tindakan yang dilakukan harus sesuai kaidah kebaikan dan tidak melanggar hukum. Kebaikan yang dilakukan sesuai kapasitas, pasti akan membuahkan hasil yang lebih bermanfaat bagi semua pihak.