Keberagaman ras dan suku bangsa yang ada di Indonesia, melahirkan berbagai cerita daerah atau cerita rakyat yang sarat nilai moral, termasuk Cerita Rakyat Bengkulu: Bujang Awang Tabuang ini misalnya. Secara turun-menurun, cerita ini terus dikisahkan para tetua Bengkulu agar budaya Bengkulu senantiasa lestari di kalangan penerusnya.
Kisah yang datang dari Kerajaan Peremban Panas ini memiliki tiga karakter utama. Pertama, Raja Kramo Kratu Agung, raja yang adil dan bijaksana. Kedua, permaisuri yang bernama Putri Rimas Bangesu. Ketiga, anak dari pasangan raja dan ratu yang bernama Bujang Awang Tabuang.
Putri Rimas, Si Harimau, dan Si Kera
Setelah enam tahun menikah, kebahagiaan pasangan Raja Kramo Kratu Agung dan Permaisuri Putri Rimas Bangesu terganggu. Pasalnya, mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Khawatir siapa yang akan meneruskan kerajaannya, sang raja kemudian memanggil kerabatnya untuk memberi jalan keluar atas masalah ini.
Keputusan tiba. Titah dan perintah mengharuskan Putri Rimas untuk diasingkan jauh ke dalam hutan rimba. Takhtanya sebagai permaisuri juga dicabut agar sang raja dapat menikahi perempuan lain.
Titah dan perintah mengharuskan Putri Rimas untuk diasingkan jauh ke dalam hutan rimba.
Putri Rimas tiba di hutan rimba. Masih dalam kesedihan, ia dikejutkan dengan kedatangan seekor harimau dan kera. Putri Rimas semakin kelimpungan karena kedua hewan itu bisa berbicara. Rupanya, harimau dan kera tersebut merupakan utusan para dewata untuk menjaga sang permaisuri yang sedang mengandung.
Kedua utusan dewata tadi membantu Putri Rimas membangun sebuah gubuk kecil di tengah hutan rimba. Setiap hari, kera tak pernah lupa membawakan makanan untuk Putri Rimas yang sedang mengandung.
Kelahiran Bujang Awang Tabuang
Sembilan bulan berlalu, Putri Rimas akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki. Ia diberi nama Bujang Awang Tabuang dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh sang ibu dan kedua teman baiknya, harimau dan kera.
Sembilan bulan berlalu, Putri Rimas akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama Bujang Awang Tabuang.
Mereka berempat tinggal di bawah satu atap. Harimau dan kera mengajarkan Bujang berbagai keahlian membela diri. Sementara kera mengajarkan Bujang cara memanjat pohon dengan cepat dan melompat dari satu pohon ke pohon lainnya, harimau mengajarkan Bujang cara melompat, berguling, dan menyergap lawan.
Bujang terus tumbuh dan beranjak dewasa di dalam hutan rimba dengan sehat, kuat, dan tampan. Berkat didikan sang ibu, Bujang berhasil mempunyai kesaktian.
Pada suatu malam, ia bertanya kepada Putri Rimas tentang ayahnya. Putri Rimas pun merasa Bujang sudah pantas untuk mengetahui siapa ayahnya. Tanpa menutupi, sang ibu memberi tahu bahwa Raja Kramo Kratu Agung adalah ayahnya. Ia juga menceritakan bagaimana mereka berakhir di hutan.
Bujang lantas meminta izin kepada Putri Rimas untuk berkunjung ke istana dan menemui ayahnya. Sang ibu menyetujui, dengan satu janji. Ia meminta Bujang untuk berhati-hati dan sebisa mungkin menghindari perkelahian, serta tidak membuat keonaran.
Bujang pun menuruti petuah itu. Keesokan paginya, Bujang langsung melangkah meninggalkan hutan rimba.
Perkelahian antara Bujang dan Prajurit
Setelah jalan berhari-hari, Bujang akhirnya tiba di Kerajaan Peremban Panas. Dalam seketika, ia terkagum-kagum melihat kehidupan kerajaan yang ramai akan bangunan megah.
Begitu sampai di depan istana, Bujang langsung melangkah masuk ke dalam istana dan melewati deretan pengawal gerbang. Melihat aksinya itu, para pengawal bergegas menghampiri dan menghentikannya.
Bujang menyatakan kehendaknya untuk bertemu sang pemimpin, yakni Raja Kramo. Tentu saja, kedua pengawal gerbang tak mengizinkannya. Namun, Bujang tetap memaksa, hingga perkelahian antara Bujang dan pengawal gerbang istana pun tak dapat dihindarkan.
Tak sanggup melawan Bujang, para pengawal gerbang lantas meminta bantuan. Prajurit lainnya datang mengeroyok beramai-ramai hingga terjadi perkelahian besar. Seorang diri, Bujang mampu menghadapi para prajurit ini seorang dengan gagah berani. Tak ayal, para prajurit berlari menjauhi gerbang.
Selesai berkelahi, Bujang pun tertidur di bawah pohon besar. Sesungguhnya, Bujang masih menyimpan lelah karena baru jalan berhari-hari dari hutan.
Tak disangka-sangka, suara dengkurannya ternyata membuat pilar-pilar istana bergetar. Semua penghuni istana kerajaan berhamburan keluar karena mengira ada gempa bumi.
Tak disangka-sangka, suara dengkurannya ternyata membuat pilar-pilar istana bergetar.
Getaran itu terus berlangsung berulang kali, hingga Patih Kerajaan Peremban Panas, Raden Tumenggung, berusaha mencari sumber getaran tadi.
Dengan terpaksa, Raden Tumenggung mendatangi pohon tempat Bujang tertidur. Ia memberi tahu bahwa dengkuran Bujang membuat istana porak-poranda. Sang patih juga memerintahkan Bujang untuk hengkang dari tempatnya beristirahat.
Bujang menghiraukan permintaan itu dan tetap berusaha jalan memasuki istana. Dianggap kurang ajar, Raden Tumenggung langsung menyerang dan berkelahi dengan Bujang Awang Tabuang. Pergaduhan ini menjadi tontonan para prajurit istana, dan tak lama, Patih pun berhasil ia kalahkan.
Reuni Ayah dan Anak
Seusai mengalahkan Patih, Bujang lalu memasuki istana dan menghancurkan apa saja yang ia temui. Mendengar kekacauan ini, Raja Kramo pun langsung turun tangan menghadapi Bujang. Didatangi Raja Kramo, Bujang semakin mengamuk. Keduanya bertarung sengit selama satu hari satu malam. Bujang tidak sadar bahwa ia sedang bertarung dengan Raja Kramo, ayah yang ingin ia temui.
Pertarungan berjalan semakin seru, karena Bujang akhirnya menemui lawan yang mampu menandingi kesaktiannya. Karena tidak ada tanda-tanda siapa yang akan menang, Raja Kramo akhirnya menyudahi pertarungan itu.
Pertarungan berjalan semakin seru, karena Bujang akhirnya menemui lawan yang mampu menandingi kesaktiannya.
Ketika tahu bahwa ia bertarung melawan Raja Kramo, Bujang pun langsung meminta maaf. Ia lalu bercerita bahwa ia adalah Bujang Awang Tabuang, putra dari Putri Rimas Bangesu. Saat ibunya diasingkan ke hutan, ibunya sedang mengandung dirinya.
Terkejut mendengar cerita Bujang, Raja Kramo langsung menghampiri dan memeluk erat anaknya. Sang raja meminta maaf sudah mengasingkan ibunya, Putri Rimas Bangesu. Ia tidak tahu bahwa saat diusir, sang putri tengah mengandung anaknya sendiri.
Keesokan harinya, Raja Kramo Kratu Agung, Bujang Awang Tabuang, dan para prajurit bergegas menuju hutan rimba untuk menjemput Putri Rimas Bangesu. Kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda sudah dipersiapkan untuk sang putri, dengan Bujang yang menjadi pemimpin dari rombongan itu.
Setelah belasan tahun, Raja Kramo Kratu Agung dan Putri Rimas Bangesu akhirnya bertemu kembali. Keduanya saling berpelukan sambil menangis. Meminta maaf atas ketidaktahuannya, raja meminta putri untuk kembali ke istana–menjadi istri serta ibu dari penerus kerajaannya, Bujang Awang Tabuang.
Raja merasa sangat berutang budi kepada harimau dan kera, karena mereka telah menjaga permaisuri dan Bujang dengan sangat baik. Kedua hewan ini lalu turut dibawa ke istana. Sejak saat itu, keluarga pemimpin Kerajaan Peremban Panas kembali hidup bersama dengan damai di dalam istana.
Moral Bujang Awang Tabuang
Moral Cerita Rakyat Bengkulu: Bujang Awang Tabuang ini adalah sifat sabar dan tabah, seperti yang dimiliki Putri Rimas Bangesu dan Bujang Awang Tabuang sangat patut ditiru. Keduanya mampu melewati hari-hari sulit dengan penuh sabar. Dengan kesabaran dan ketabahannya itu, mereka akhirnya mampu menuai kebahagiaan.
Kemudian, jangan malu untuk meminta maaf. Apabila melakukan kesalahan, minta maaflah seperti sang raja. Mengakui kesalahan akan membawa kedamaian bagi diri sendiri dan dapat menebus masa lalu demi mencapai masa depan yang lebih baik.
Mengakui kesalahan akan membawa kedamaian bagi diri sendiri dan dapat menebus masa lalu demi mencapai masa depan yang lebih baik.
Dan yang terakhir, jangan lupa untuk mengingat budi baik para sahabat yang selalu ada saat musibah datang menghampiri.