Selat Bali merupakan perairan yang terletak di antara Pulau Bali dan Pulau Jawa di Indonesia. Perairan ini memiliki peran penting secara geografis, karena menghubungkan Laut Jawa di sebelah barat dengan Laut Bali di sebelah timur. Selat Bali memiliki luas sekitar 20.000 kilometer persegi dan kedalaman yang bervariasi antara 50 hingga 200 meter.
Selat Bali bernilai strategis karena menjadi jalur pelayaran penting bagi kapal-kapal yang berlayar di antara Pulau Bali dan Pulau Jawa, serta menjadi habitat bagi berbagai kehidupan laut, termasuk terumbu karang yang indah. Selat Bali juga menjadi tempat wisata yang populer karena keindahan alamnya, pemandangan matahari terbenam yang menakjubkan, dan aktivitas menyelam yang menarik.
Namun, lebih dari itu, Selat Bali diyakini pula sebagai daratan yang tenggelam. Temuan arkeologi, seperti situs batu-batu yang disusun manusia, menunjukkan bahwa wilayah ini pernah dihuni manusia dan merupakan jalur perdagangan maritim pada masa lampau.
Selat Bali diyakini pula sebagai daratan yang tenggelam.
Penelitian geologi mengindikasikan bahwa Selat Bali terbentuk melalui proses tektonik dan sedimentasi, di mana bagian daratan terpisah dan hilang di bawah permukaan air seiring waktu. Perubahan permukaan laut selama ribuan tahun juga menunjukkan adanya daratan yang tenggelam di Selat Bali, yang diperkuat oleh bukti biologis dan karakteristik geografis seperti saluran air dan perairan dangkal. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa Selat Bali dulunya adalah sebuah daratan, dan penemuan ini memiliki peran penting bagi pemahaman geologi, arkeologi, evolusi manusia, serta perlindungan lingkungan laut di wilayah tersebut.
Dari sisi legenda, asal-usul Selat Bali telah diceritakan secara turun-temurun di kalangan masyarakat setempat. Meski terdapat beberapa versi, inti dari legenda ini adalah tentang bagaimana selat tersebut terbentuk dan mengapa Pulau Bali dan Pulau Jawa terpisah.
Empu Sidi Mantra Dianugerahi Seorang Anak
Dahulu kala, di Kerajaan Daha, hiduplah seorang brahmana (pendeta) sakti bernama Empu Sidi Mantra. Dia terkenal tekun dalam bersemedi. Suatu hari, ketika sedang bersemedi, ia mendengar suara dari sebuah cahaya besar yang berkata akan memberinya seorang anak. Dari sebuah manik-manik yang tiba-tiba muncul, terpancar pula cahaya yang kemudian berubah menjadi seorang bayi laki-laki. Bayi itu kemudian diberi nama Manik Angkeran.
Dari sebuah manik-manik yang tiba-tiba muncul, terpancar pula cahaya yang kemudian berubah menjadi seorang bayi laki-laki.
Empu Sidi Mantra sangat bahagia. Manik Angkeran selalu dipenuhi perhatian dan dimanja olehnya. Apa yang ia inginkan selalu dipenuhi sang ayah. Seiring waktu, Manik Angkeran tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah. Namun, sifatnya sangat berbeda dengan ayahnya. Manik Angkeran sangat gemar berjudi sabung ayam. Setiap hari, ia hanya menghabiskan waktunya untuk berjudi. Dia tidak pernah betah tinggal di rumah. Di mana pun ada judi sabung ayam, di situlah Manik Angkeran berada.
Di mana pun ada judi sabung ayam, di situlah Manik Angkeran berada.
Manik Angkeran dan Hobi Berjudinya
Sayangnya, Manik Angkeran jarang beruntung. Setiap kali berjudi sabung ayam, ia selalu kalah dan meninggalkan utang. Hartanya pun lambat laun habis tak bersisa. Lilitan utang Manik Angkeran pun semakin mencekik. Situasi ini mendorong Manik Angkeran melakukan hal tercela. Secara diam-diam, dia sering mengambil harta yang disimpan ayahnya. Dia yakin bahwa dengan harta tersebut semua utangnya dapat dilunasi dan sisanya dapat digunakan kembali untuk berjudi.
Manik Angkeran tak pernah jera. Dia terus berjudi, namun berulang kali kalah. Akibat terus-menerus kalah, utangnya pun menumpuk. Tentu saja, ia membayar semua utangnya dengan harta curian dari ayahnya. Kebiasaan ini terus berlangsung hingga harta ayahnya habis.
Hidup Manik Angkeran pun jauh dari kata tenang, karena ia selalu dikejar penagih utang. Suatu hari, Empu Sidi Mantra bermaksud mengambil sejumlah harta yang ia simpan di peti rahasianya. Namun, Empu Sidi Mantra amat terkejut dan tercengang. Ia mendapati peti hartanya kosong melompong. Melihat ayahnya terperangah, Manik Angkeran langsung mengakui perbuatannya seraya meminta maaf.
Manik Angkeran meminta maaf atas perbuatannya yang telah menggunakan seluruh harta sang ayah untuk berjudi. Murka dan kecewa yang mendalam, Empu Sidi Mantra menjadi semakin marah saat Manik Angkeran masih mencoba meminta bantuan ayahnya untuk membayar utang yang menghantui dirinya.
Kini, Empu Sidi Mantra tak lagi memiliki harta, karena semua telah diraup habis oleh Manik Angkeran. Sambil bersimpuh, Manik Angkeran terus memohon bantuan ayahnya. Begitu besar rasa cinta sang ayah kepada anaknya, Empu Sidi Mantra kemudian pergi bersemedi untuk memohon petunjuk dari para dewa.
Dari semedinya, Empu Sidi Mantra mendapatkan pesan. Ia diberitahu untuk beranjak ke Gunung Agung. Dalam perjalanan, Empu Sidi Mantra melewati hutan yang terkenal amat menakutkan dan berbahaya. Sesampainya di Gunung Agung, dia mengikuti petunjuk pesan dan memanggil Naga Besukih dengan genta untuk mendapatkan harta yang dijaganya.
Naga Besukih kemudian bertanya apa tujuan Empu Sidi Mantra datang ke Gunung Agung. Dijawab dengan jujur, Empu Sidi Mantra hendak meminta harta Naga Besukih untuk melunasi utang-utang Manik Angkeran. Permintaan itu dikabulkan oleh Naga Besukih dengan sebuah syarat, yaitu agar Empu Sidi Mantra menyampaikan pesan kepada anaknya untuk menggunakan harta tersebut dengan bijaksana. Empu Sidi Mantra segera berterima kasih dan pulang membawa harta pemberian Naga Besukih.
Permintaan itu dikabulkan oleh Naga Besukih dengan sebuah syarat, yaitu agar Empu Sidi Mantra menyampaikan pesan kepada anaknya untuk menggunakan harta tersebut dengan bijaksana.
Sesampainya di rumah, Empu Sidi Mantra memberikan harta tersebut kepada anaknya untuk melunasi semua utangnya dan berhenti berjudi. Dia juga berpesan agar Manik Angkeran menyimpan sisa hartanya dengan baik. Manik Angkeran berjanji untuk menuruti nasihat ayahnya.
Namun, janji Manik Angkeran hanya tinggal janji. Kebiasaan berjudinya tidak bisa dihilangkan. Dia malah menghabiskan semua harta itu untuk berjudi. Sialnya, keberuntungan masih belum berpihak padanya. Manik Angkeran terus-menerus mengalami kekalahan, dan kisah lama pun terulang kembali. Dia pulang menemui ayahnya, dan sudah bisa ditebak apa tujuannya: meminta uang.
Kekecewaan Empu Sidi Mantra pada Manik Angkeran
Empu Sidi Mantra dilanda kesedihan, kekecewaan, dan kemurkaan yang mendalam. Manik Angkeran tidak pernah menyangka ayahnya akan sebegitu marahnya kali ini. Dia juga dilanda kebingungan karena ayahnya menolak membantunya.
Di bawah rindangnya pohon, Manik Angkeran duduk termenung. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya dan memberinya saran untuk mengikuti jejak sang ayah yang tempo hari pergi ke Gunung Agung. Barangkali, dengan cara itu masalahnya bisa teratasi.
Mendengar saran orang itu, Manik Angkeran bergegas pulang. Di sisi lain, Empu Sidi Mantra merasa iba melihat keadaan anaknya. Akhirnya, dia memutuskan untuk meminta bantuan Naga Besukih sekali lagi. Tanpa menunda waktu, Empu Sidi Mantra berangkat menuju Gunung Agung pada hari itu juga.
Di tengah perjalanan pulang, Manik Angkeran melihat sosok yang tak asing. Sosok itu adalah Empu Sidi Mantra, ayahnya. Karena masih diliputi rasa malu atas perbuatannya, Manik Angkeran memilih bersembunyi. Dari persembunyiannya, Manik Angkeran mengintip ke mana sang ayah pergi dan memutuskan untuk mengikutinya. Sambil terus mengintai, Manik Angkeran bertanya-tanya ke mana tujuan ayahnya.
Ternyata benar apa yang dikatakan orang asing tadi. Empu Sidi Mantra kembali ke Gunung Agung, sementara Manik Angkeran terus mengawasinya dari kejauhan. Tampak sang ayah berhenti di depan gua sambil membunyikan genta. Tiba-tiba, dia melihat sesosok naga besar keluar dari gua itu dan berbicara dengan ayahnya. Dilihatnya naga itu memberikan harta yang banyak.
Setelah Manik Angkeran mengetahui bahwa harta yang dibawa ayahnya berasal dari naga itu, dia bertekad untuk melakukan hal yang sama. Dia berpikir bahwa daripada meminta kepada ayahnya, lebih baik dia memintanya langsung kepada naga itu.
Usai mendapat harta, Empu Sidi Mantra kembali pulang. Keberadaannya tetap diikuti oleh Manik Angkeran. Manik Angkeran sudah mempunyai niat buruk. Ia berencana untuk mencuri genta dari sang ayah agar rencananya berhasil.
Ia berencana untuk mencuri genta dari sang ayah agar rencananya berhasil.
Sesampainya di rumah, Empu Sidi Mantra beristirahat dan menunggu kepulangan anaknya. Setelah bertemu sang anak, ia bermaksud memberikan harta yang telah diperolehnya. Dari kejauhan, Manik Angkeran melihat ayahnya tertidur lelap. Tanpa ragu, ia segera melaksanakan niat jahatnya, yaitu mengambil genta milik ayahnya. Manik Angkeran berhasil. Segera setelah itu, ia berangkat menuju Gunung Agung untuk menjalankan rencananya.
Sesampainya di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran mengikuti ayahnya dengan membunyikan genta. Mendengar suara itu, Naga Besukih keluar dari gua. Meski sudah pernah melihat naga itu, tubuh Manik Angkeran tetap bergetar ketakutan.
Di hadapannya, Naga Besukih menjulang tinggi bagaikan raksasa, siap menelannya dalam sekejap. Naga Besukih heran dan bertanya bagaimana bisa dia memiliki genta itu. Memilih untuk berbohong, Manik Angkeran mengatakan bahwa dia disuruh oleh ayahnya untuk meminta harta dari Besukih.
Bersamaan dengan itu, Empu Sidi Mantra terbangun dari tidurnya. Ia terkejut karena melihat kotak penyimpanan pusakanya terbuka dan gentanya telah hilang. Ia pun berpikir bahwa itu adalah perbuatan anaknya. Ia bergegas menuju Gunung Agung untuk memastikannya.
Di Gunung Agung, Naga Besukih sudah mengetahui bahwa Manik Angkeran berbohong. Dengan perasaan marah, Naga Besukih memberikan hartanya kepadanya. Dengan suara besar, Naga Besukih memerintahkan Manik Angkeran untuk tidak pernah kembali ke Gunung Agung lagi.
Ketika Naga Besukih memberikan hartanya, perhatian Manik Angkeran justru tertuju kepada permata besar yang berada di ekor sang naga. Seketika itu juga, sifat tamak Manik Angkeran muncul. Nafsu keserakahannya mendorongnya untuk menebas ekor Naga Besukih.
Ketika Naga Besukih memberikan hartanya, perhatian Manik Angkeran justru tertuju kepada permata besar yang berada di ekor sang naga.
Naga Besukih meraung kesakitan dan berusaha mengejar Manik Angkeran. Akan tetapi, sang naga kesulitan mengejar karena kehilangan ekornya. Naga Besukih kemudian menyemburkan api dari bekas jejak kaki Manik Angkeran. Api itu menjalar dengan cepat, melahap setiap jejak kaki yang dilalui. Hingga akhirnya, api itu menjangkau Manik Angkeran dan membakar tubuhnya hingga hangus.
Empu Sidi Mantra dan Manik Angkeran Terpisah Selamanya
Sepanjang perjalanan menuju Gunung Agung, Empu Sidi Mantra diliputi rasa cemas. Firasatnya benar, di tengah jalan, dia menemukan anaknya telah hangus terbakar. Di sampingnya terdapat genta dan potongan ekor naga. Tanpa ragu, Empu Sidi Mantra berlari membawa sang anak dan potongan ekor itu ke tempat Naga Besukih berada. Dengan penuh harap, dia memohon agar Naga Besukih menghidupkan Manik Angkeran kembali.
Dengan mudah, Naga Besukih mengabulkan permintaan Empu Sidi Mantra. Namun, dengan syarat. Naga Besukih meminta Empu Sidi Mantra untuk menyambungkan kembali ekornya. Sebagai imbalan, Naga Besukih menyerahkan Manik Angkeran untuk mengabdi di sana selamanya.
Dengan kesaktiannya, ekor Naga Besukih tersambung kembali dalam sekejap. Sang naga juga memenuhi janjinya. Asap tebal keluar dari mulutnya, lalu muncul sosok Manik Angkeran yang telah sembuh seperti sedia kala. Manik Angkeran segera bersujud, meminta maaf kepada ayahnya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan buruknya lagi.
Empu Sidi Mantra telah memaafkan anaknya, namun dia tak mau perbuatan menyakitkan sang anak terulang kembali. Oleh karena itu, dia memberitahu bahwa mereka tidak bisa hidup bersama lagi. Empu Sidi Mantra menyuruh anaknya untuk hidup mandiri. Kemudian, dia kembali menuju Daha.
Di tengah perjalanan, dia memikirkan cara agar putranya tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Di tengah perjalanan, dia memikirkan cara agar putranya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dengan tongkatnya, Empu Sidi Mantra menorehkan garis di tanah. Seketika itu juga, garis itu membelah dan membagi daratan menjadi dua bagian. Di bekas garis tersebut, tercipta perairan yang memisahkan kedua daratan itu. Kedua daratan tersebut adalah Pulau Jawa dan Pulau Bali. Perairan di antara kedua pulau itu kini dikenal dengan nama Selat Bali.
Moral Cerita
Kejujuran merupakan pondasi utama dalam setiap hubungan, termasuk hubungan antara orang tua dan anak. Sekali kita mengkhianati kepercayaan seseorang, hubungan yang baik pun menjadi taruhannya. Manik Angkeran, yang sejak awal sudah berniat mencuri harta sang ayah, telah menciptakan jurang yang lebar dalam hubungan mereka berdua. Kebohongan yang terus diulang semakin memperparah keadaan, hingga akhirnya sang ayah terpaksa mengambil keputusan untuk berpisah.
Keserakahan bagaikan api yang membakar diri sendiri. Tergoda oleh kilauan permata Naga Besukih, Manik Angkeran nekat menebas ekor sang naga. Alih-alih mendapat rezeki, ia justru terjerumus dalam api amarah naga dan meregang nyawa dengan tragis.
Kasih sayang orang tua memang tak terbatas. Memberikan kasih sayang adalah kewajiban, namun kasih sayang yang terbaik adalah kasih sayang yang disertai didikan. Empu Sidi Mantra, yang selalu memanjakan Manik Angkeran, akhirnya kesulitan menghadapi tingkah laku anaknya yang tak terkendali.
Memberikan kasih sayang adalah kewajiban, namun kasih sayang yang terbaik adalah kasih sayang yang disertai didikan.
Salah satu nilai penting yang harus ditanamkan orang tua adalah kemandirian. Keputusan Empu Sidi Mantra untuk memisahkan diri dari anaknya di akhir cerita menunjukkan hal ini. Orang tua perlu mengajarkan anak untuk hidup mandiri dan belajar dari kesalahan. Kemandirian menuntun kita untuk lebih berhati-hati dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.