Jejak Sejarah Batik Solo: Dari Keraton hingga Panggung Mode - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

batik_solo_ie_1290

Jejak Sejarah Batik Solo: Dari Keraton hingga Panggung Mode

Dari ranah keraton, tradisi batik Solo terus berevolusi, melahirkan inovasi-inovasi baru yang mengukuhkannya sebagai warisan budaya yang tak lekang oleh zaman.

Kesenian

Peradaban Jawa, khususnya di lingkungan keraton, telah melahirkan tradisi batik yang kaya akan sejarah. Sejak awal, batik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan istana, diciptakan oleh para putri keraton dan abdi dalem untuk memenuhi kebutuhan busana keluarga kerajaan. Perkembangan pesat batik terjadi pada masa Mataram Islam, dan setelah perjanjian Giyanti tahun 1755, batik keraton berkembang secara mandiri di Yogyakarta dan Surakarta. Masing-masing keraton kemudian mengembangkan gaya batik khasnya. Paku Buwana IV, misalnya, memperkenalkan Gaya Surakarta yang unik, yang kemudian lebih dikenal sebagai batik Solo.

Perkembangan pesat batik terjadi pada masa Mataram Islam.

Ada beberapa motif batik Solo dari Kasunanan Surakarta. Di antaranya sawat (sayap atau ekor garuda) yang melambangkan mahkota raja, meru (gunung dalam mitologi Hindu) untuk kebesaran atau keagungan, naga (ular besar) sebagai perlambangan angin atau angkasa, dan geni (api) sebagai nyala api.

Selain di Kasunanan Surakarta, jenis atau motif batik Solo berkembang di Pura Mangkunegaran. Motif Pura Mangkunegaran lebih beragam. Antara lain buketan pakis, sapanti nata, ole-ole, wahyu tumurun, parang kesit barong, parang sondher, parang klitihik glebag, seruni, dan liris cemeng.

Seiring waktu, pembuatan batik menjalar ke luar lingkungan keraton yang dikelola dan diperdagangkan para saudagar batik. Mereka mengambil ragam hias batik keraton dan memodifikasikannya dengan selera pasar. Munculnya teknik cap, dari yang semula cap dari kayu lalu beralih ke tembaga, membuat industri batik berkembang pesat. Sentra industri atau dikenal sebagai Kampung Batik Laweyan tumbuh di Laweyan dan Kauman.

Seiring waktu, pembuatan batik meluas ke luar keraton dan dikelola para saudagar.

Nama Laweyan berasal dari kata ‘lawe’ yang berarti bahan baku kain tenun. Awalnya, di Laweyan terdapat pasar yang menjual kapas sebagai bahan utama industri tenun. Kain tenun lurik yang dihasilkan dari pasar ini banyak digunakan sebagai pakaian sehari-hari masyarakat. Seiring berjalannya waktu, setelah mengenal teknik membatik, penduduk setempat beralih memproduksi batik (jarik).

Laweyan kemudian dikenal sebagai sentra industri batik cap pada pertengahan abad ke-19. Teknik cap memungkinkan batik dikerjakan dengan lebih mudah dan cepat. Batik juga bisa diproduksi dalam jumlah besar tapi dengan harga lebih murah. Meski batik diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar, beragam motif batik pun berkembang di Laweyan. Kini, setidaknya lebih dari 250 motif batik Solo yang sudah dipatenkan. Ciri khasnya, warna-warnanya lebih terang dan tak terikat kuat dengan motif keraton.

Tradisi membatik dengan motif-motif keraton terus dilestarikan oleh para abdi dalem.

Sementara itu, Kauman pada masa lalu merupakan permukiman para abdi dalem Keraton Kasunanan, tepatnya di sebelah barat alun-alun keraton. Tradisi membatik dengan motif-motif keraton terus dilestarikan oleh para abdi dalem. Para istri abdi dalem seringkali menjalankan usaha batik sebagai pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau pesanan dari keraton. Sejak saat itu, bisnis batik pun berkembang di kawasan Kauman.

Abdi dalem memiliki standar khusus dalam memproduksi batik. Motif batik klasik diproduksi khusus untuk pakaian para bangsawan dan raja. Untuk pasar umum, mereka menciptakan motif batik yang berbeda dari motif keraton, namun tetap memancarkan aura kemewahan khas bangsawan. Seni batik di Kampung Kauman pun terbagi menjadi tiga jenis: batik tulis dengan motif klasik yang sangat diperhatikan, batik cap murni, dan batik kombinasi tulis-cap.

Kawasan Kauman dan Laweyan ditetapkan pemerintah setempat sebagai sentra batik dan destinasi wisata di Kota Surakarta. Kedua sentra pembuatan batik ini dukung fasilitas perdagangan tekstil dan batik. Salah satunya Pasar Klewer yang berada di sebelah barat Keraton Surakarta.

Dari Solo, muncul beberapa perusahaan batik yang memiliki nama besar dan dikenal nasional. Misalnya, Batik Keris (didirikan tahun 1920), Batik Bodronoyo yang kemudian ganti nama jadi Batik Semar (1947), hingga Batik Danar Hadi (1967).

Go Tik Swan (KRT Hardjonagoro) berperan penting dalam perkembangan batik Solo.

Dalam perkembangan batik Solo, nama dan peran Go Tik Swan atau KRT Hardjonagoro perlu diperhitungkan. Go Tik Swan tumbuh dari keluarga yang turun-temurun mengusahakan batik. Karena itulah dia diminta Presiden Sukarno untuk menciptakan “batik Indonesia”. Merasa tergugah, Go Tik Swan pulang ke Solo untuk mendalami segala sesuatu tentang batik, termasuk sejarah dan falsafahnya. Dia kemudian mewujudkan ambisi Sukarno dengan memadukan batik Jawa Tengah dan batik pesisiran. Sekali lagi, Solo memiliki legasi yang tak kecil dalam perkembangan batik.

Industri batik Solo sempat meredup karena gempuran batik sablon dan gaya fesyen modern. Kebijakan pemerintah setempat yang menjadikan batik sebagai seragam pegawai negeri membangkitkan kembali industri batik di Solo. Kegiatan-kegiatan budaya yang berkaitan dengan batik ikut mengangkat batik Solo seperti Solo Batik Carnival dan Solo Batik Fashion.

Batik Solo tetap berkembang dan bertahan melewati waktu. Sebuah perjalanan sejarah yang panjang dan penuh makna. Keberadaan batik Solo dengan keberagaman dan keindahan motif, desain, maupun coraknya telah menjadikan seni batik sebagai salah satu warisan budaya yang dilestarikan.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Tim Indonesia Exploride

  • Koentjaraningrat dalam buku Kebudayaan Jawa
    Pola Batik Klasik: Pesan Tersembunyi yang Dilupakan karya Oetari Siswomihardjo
    Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungan karya Santosa Doellah