Birunya langit mengiringi perjalanan kami siang itu. Panas terik berpadu dengan sejuknya udara Wamena menjadi bumbu penyedap petualangan kami. Deretan perbukitan mengelilingi jalan yang kami lalui, kampung demi kampung pun mulai terlihat di sepanjang perjalanan. Akhirnya, kami tiba di salah satu lokasi unik di bumi Papua, sebuah hamparan pasir putih pada sebuah lembah tanpa laut atau air setetes pun. Sebuah kondisi geografis alam Papua yang sebenarnya masih belum dapat kami pahami dengan nalar. Masyarakat setempat menyebut tempat ini sebagai Pasir Putih.
Saat kami tiba, sekelompok anak-anak sedang berlarian di atas pasir, seolah mereka anggap diri mereka sedang berada di pantai. Kelompok lainnya sedang melakukan kebaktian padang di puncak tertinggi bukit yang memang relatif lebih landai. Mereka adalah masyarakat sekitar yang memang merawat tempat indah ini. Maklum, karena walaupun sudah dikenal luas sebagai salah satu obyek wisata menarik di Wamena, belum ada perhatian serius dari pemerintah dalam hal perawatan. Padahal, dengan mengandalkan keindahan alamnya, Pasir Putih sangat berpotensi untuk menjadi wisata unggulan di Lembah Baliem, sebagai alternatif pilihan selain kehidupan suku Dani atau Sungai Wamena.
Pasir Putih terletak di wilayah desa Aikima, Wamena. Perjalanan menuju tempat ini dapat ditempuh sekitar 15 menit dari kota Wamena dengan menggunakan kendaraan bermotor. Kondisi alam di tempat ini sebenarnya penuh bebatuan dan berada di salah satu sisi bukit berumput hijau yang mengelilingi Lembah Baliem. Hal ini membuat Pasir putih tampak begitu mencolok bila dilihat dari udara. Kumpulan batu karang pun terlihat menyembul di atas permukaan pasir yang menjalar hingga ke punggung bukit. Sedikit-sedikit semak belukar juga tampak menghiasi bebatuan yang membuat Pasir Putih menjadi lebih indah. Jalan setapak terjal yang terlihat alami terjuntai meliuk dari atas bukit hingga ke kakinya. Tempat ini adalah sebuah keajaiban kecil di Lembah Baliem yang berada 1600 meter di atas permukaan laut.
Awalnya kami pikir pasir putih yang dimaksud adalah pasir pegunungan dan bukan pasir laut. Namun, setelah kami datang ke tempat ini, kami menyaksikan sendiri bahwa pasir yang terdapat di tempat ini adalah pasir yang sama dengan yang ada di pantai tepi laut. Pasir tersebut memang mempunyai tekstur selembut pasir pantai dan terasa asin. Kami semakin yakin karena menurut informasi warga sekitar, tidak jauh dari tempat ini juga terdapat sebuah sumber air yang menghasilkan garam.
Menurut Nando, salah seorang warga yang menyambut kedatangan kami, keberadaan Pasir Putih di wilayah lembah Baliem ini tidaklah mengherankan. “Lembah Baliem ini dulunya danau besar, kalau tidak salah namanya Wio. Jadi, Pasir Putih ini itu sisa peninggalan danau Wio tadi”, begitu Nando menjelaskan.
Lembah Baliem memang adalah bentukan asli yang dilakukan oleh alam. Pada jaman dahulu, lembah ini adalah danau yang sangat besar, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya batuan karang di seluruh permukaan lembah, pasir putih di beberapa wilayah lembah, dan adanya sisa-sisa rumah kerang yang dapat dengan mudah ditemukan di tanah. Namun, pada tahun 1813 terjadi sebuah gempa dahsyat yang menyebabkan pergeseran lempeng bumi dan perubahan geologi. Setelah berubah, maka air danau tersebut pun surut dan terbentuklah sungai yang kini menjadi sungai Baliem. Sejak saat itu, danau Wio pun berubah menjadi Lembah Baliem.
Kami menelusuri seluruh wilayah bukit Pasir Putih dari bawah hingga mencapai bagian atasnya. Setelah kami sampai di sisi bukit bagian atas, kami pun kembali dibuat kagum oleh pemandangan yang kami lihat. Hampir seluruh wilayah Lembah Baliem dapat kami lihat dengan jelas, ini adalah sebuah kekayaan alam dari Tuhan yang patut disyukuri. Bila sudah mencapai bagian atas bukit berpasir putih ini, sulit rasanya untuk memutuskan kembali dan pergi dari tempat ini. Pasir Putih adalah sebuah karya Tuhan berupa kekayaan alam yang sangat layak untuk dijaga dan dihormati keberadaannya. [@phosphone/IndonesiaKaya]