Remy Sylado: Si Pembangkang yang Brilian - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Remy Sylado: Si Pembangkang yang Brilian

remy sylado

Remy Sylado: Si Pembangkang yang Brilian

Remy Sylado adalah seniman multitalenta. Ia dapat disebut sebagai sastrawan, musisi, pelukis, aktor, sutradara, dramawan, esais, bahkan penulis ensiklopedia dan kamus.

Mini Biografi

Nama Remy Sylado mulai tersohor pada awal 1970-an setelah mencetuskan gerakan puisi mbeling, sebuah gerakan anti-kemapanan yang mendobrak pakem penulisan puisi pada zamannya. Puisi mbeling cenderung bebas, liar, dan mengikuti kehendak penulisnya. Tak jarang, puisi ini juga mengandung kata-kata yang terkesan vulgar.

Sosok Remy semakin dipandang kontroversial pasca membuat cerita bersambung Orexas, singkatan dari Organisasi Seks Bebas. Kisah tersebut terinspirasi dari gaya hidup orang muda di Bandung pada 1960-an yang dipandang serupa dengan budaya flower generation di Amerika Serikat. Kelak, Orexas berkembang menjadi pementasan teater dan judul album musik Remy. 

Kaum milenial lebih mengenal Remy melalui film Ca Bau Kan, yang diadaptasi dari novelnya, Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa. Film ini mengisahkan dinamika kehidupan serta interaksi romantis antara masyarakat Tionghoa dan Indonesia pada masa lampau, yang mencerminkan perbedaan kelas sosial.

Kaum milenial lebih mengenal Remy melalui film Ca Bau Kan, yang diadaptasi dari novelnya, Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa.

Remy sering dianggap sebagai seniman yang nyentrik, bukan hanya karena penampilannya yang hampir selalu didominasi warna hitam atau putih, melainkan juga karena konsistensinya dalam melabrak status quo budaya kreatif.

Ada pula yang menganggap Remy sebagai sosok brilian karena ia adalah seorang poliglot, sebutan untuk orang yang pandai dalam berbagai bahasa. Remy setidaknya menguasai sembilan bahasa, di antaranya Arab, Jepang, Yunani, dan Ibrani, yang semuanya dipelajarinya secara otodidak.

Semasa hidupnya, hari-hari Remy dihabiskan untuk menulis. Jika dihitung, ia telah menghasilkan ratusan karya tulis, yang semuanya diketik menggunakan mesin tik.

Bintang Sastra Dekade 1960-an

Nama lahir Remy adalah Yusbal Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambayong. Banyak yang berkata bahwa nama Remy Sylado terinspirasi dari salah satu nada lagu karya musisi The Beatles. Namun, menurut Boy Worang, sahabat karib Remy, nama tersebut sesungguhnya berasal dari gabungan tanggal dari hari spesial Remy, 23 Juli 1961, yang kemudian dikemas dalam bentuk notasi. Hari itu spesial baginya karena itu adalah tanggal ketika ia pertama kali mencium seorang perempuan.

Boy bercerita bahwa Remy memiliki banyak nama samaran. Beberapa di antaranya adalah Alif Danya Munsyi, Dova Sila, dan Juliana C. Panda—nama ibu Remy. “Remy memakai nama samaran untuk setiap tulisan yang terbit selain di Aktuil (waktu ia masih bekerja di majalah itu),” kata Boy.

Sebagai contoh, nama Alif Danya Munsyi biasa dipakai untuk karya non fiksi yang berhubungan dengan ranah keilmuan. Sementara nama Juliana C. Panda dipakai saat menulis karya-karya yang bernuansa religi. “Dia juga suka pakai nama samaran saat menulis tentang karya temannya sendiri,” lanjut Boy.

Remy Sylado lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 12 Juli 1945, dan tinggal di sana hingga lulus Sekolah Dasar. Kegemarannya membaca sudah dimulai sejak kelas 5 SD. Pada waktu itu, ia sudah membeli buku-buku berbahasa Inggris, gemar membaca buku-buku teologi, dan mengagumi tokoh-tokoh sejarah.

Pada tahun 1954, Remy dan keluarganya pindah ke Semarang. Ia menetap di sana hingga lulus SMU. Kemudian Remy merantau ke Solo untuk berkuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia. Usai kuliah, Remy memulai karier di media massa sebagai wartawan. Karier jurnalistiknya dimulai di Sinar Harapan. Kemudian, ia juga sempat bekerja sebagai Redaktur Pelaksana majalah Tempo di Semarang. Lantas Remy mengembangkan karier ke bidang pendidikan. Pada tahun 1971, Remy menjadi dosen di Akademi Sinematografi, Bandung, di mana ia mengajar mata kuliah Dramaturgi, Ikonografi, dan Tata Rias. Namun ia tidak serta merta memutus karier jurnalistiknya. Setahun setelahnya ia bergabung sebagai redaktur di majalah Aktuil.

Aktuil adalah majalah musik populer pada masanya yang menjadi sumber inspirasi dan informasi bagi generasi muda. Remy memanfaatkan posisinya sebagai redaktur untuk menyampaikan ide-ide serta pola pikir kritis yang, menurutnya, penting dimiliki oleh kaum muda. Salah satunya adalah berpikir kritis dalam ranah sastra, khususnya puisi.

Majalah Tempo pernah menyatakan bahwa ide dasar puisi mbeling adalah perlawanan terhadap lanskap sastra pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, ada anggapan bahwa seseorang akan dipandang sebagai penyair sungguhan bila karyanya pernah dimuat di majalah sastra Horison.Puisi mbeling hadir untuk menantang anggapan tersebut. Bagi Remy, setiap orang berhak membuat puisi dengan caranya masing-masing. Tidak perlu berpatok pada langgam dan tema tertentu seperti percintaan atau romansa yang kerap ditemui dalam puisi-puisi di Indonesia pada masa itu. 

Bagi Remy, setiap orang berhak membuat puisi dengan caranya masing-masing.

Menurutnya, perlu ada pemikiran baru terhadap sastra Indonesia. “Tidak menjadi tawanan sastrawan angkatan Pujangga Baru. Ini puisi ditujukan untuk Indonesia abad ke-21,” demikian yang tertulis di Tempo edisi 27 Januari 2013.

Remy Sylado menghadirkan warna baru dalam dunia sastra puisi di Indonesia. Ia meyakini generasi muda harus berani menantang tatanan seni yang telah mapan serta melawan pola pikir konvensional. Untuk merefleksikan semangat pemberontakan ini, ia memilih kata mbeling, yang berasal dari bahasa Jawa Tengah dan berarti “nakal,” namun tetap disertai sikap yang memahami aturan dan bertindak dengan konsekuen.

“Saat itu, saya ingin merangsang kaum muda bersastra dan tidak takut membuat puisi yang berbeda,” kata Remy sebagaimana dikutip majalah Tempo. 

Sejak rubrik puisi mbeling terbit, pengaruh majalah Aktuil terhadap kalangan remaja semakin membesar. Puisi mbeling menarik perhatian orang muda yang gelisah. 

Kepada Tempo, Remy bercerita bahwa sejak membuka rubrik puisi mbeling, banyak anak muda yang mengirimkan puisi kepadanya. Di antara mereka terdapat sastrawan Seno Gumira Ajidarma, Noorca M. Massardi, dan Yudhistira A.N.M. Massardi. Saat itu, sebagian besar pengirim puisi masih duduk di bangku SMA dan kuliah.

Berikut beberapa contoh puisi mbeling karya Remy:

  • terima kasih tuhan atas hidangan ini
    berhubung botty tiba-tiba kentut
    terpaksa
    amin kami ganti dengan
    Jancuk
  • Sudah jatuh dihimpit tangga
    Hendak berdiri digonggong anjing
    Begitu lari terbirit 
    Malah menginjak tahi
  • Belajar Menghargai Hak Asasi Kawan
    Jika laki mahasiswa
    ya perempuan mahasiswi.
    Jika laki saudara
    ya perempuan saudari.
    Jika laki pemuda
    ya perempuan pemudi.
    Jika laki putra
    ya perempuan putri.
    Jika laki kawan
    ya perempuan kawin.
    Jika kawan kawin
    ya jangan ngintip.
  • Orang Perancis berpikir
    maka mereka ada
    Orang Indonesia tidak berpikir
    namun terus ada

Puisi mbeling juga menginspirasi seniman-seniman Indonesia lainnya, seperti pelukis Jeihan Sukmantoro dan penyair Joko Pinurbo, untuk menciptakan karya serupa.

Puisi mbeling juga menginspirasi seniman-seniman Indonesia lainnya, seperti pelukis Jeihan Sukmantoro dan penyair Joko Pinurbo, untuk menciptakan karya serupa.

Mesin Tik dan Karya Novel Remy Sylado 

Hingga hari ini, mesin tik Remy masih utuh dan menjadi satu-satunya benda di atas meja kerjanya yang dikelilingi ribuan buku koleksinya. Emmy Louise Tambayong, istri Remy, mengatakan bahwa sebagian besar waktu Remy di rumah dihabiskan di ruang kerjanya.

Setelah selesai menulis, Remy biasa meminta pendapat Emmy tentang cerita yang sedang digarapnya, lalu melanjutkan menulis keesokan harinya. Proses itu berlangsung terus-menerus hingga novel-novel setebal lebih dari 500 halaman, bahkan ada yang hampir mencapai 1.000 halaman, akhirnya terbit. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa salah satu ciri khas Remy adalah novel-novel tebal yang ia tulis, di mana sebagian besar kisah dalam novel-novel panjang yang kemudian populer itu berfokus pada tokoh perempuan, permasalahan yang sering membelit mereka, kritik sosial, dan sejarah.

Kerudung Merah Kirmizi mengisahkan seorang perempuan yang menjadi orang tua tunggal bagi kedua anaknya dan bekerja sebagai penyanyi di klub malam pada masa pemerintahan Orde Baru. Dalam perjalanan hidupnya, ia jatuh cinta pada seorang laki-laki yang dianggap memiliki banyak harta karun. Namun, kisah cinta mereka berakhir tragis ketika sang laki-laki dibunuh oleh seseorang yang berambisi menguasai lahan miliknya. Novel ini menggambarkan penindasan dan kesewenang-wenangan dari mereka yang berkuasa, yang akhirnya membawanya meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa pada tahun 2002.

Kembang Jepun bercerita tentang seorang gadis kecil bernama Keke yang dijual oleh kakaknya kepada pemilik rumah geisha. Melalui kisah ini, pembaca diajak untuk menyelami ketidakadilan gender yang membatasi peran perempuan dalam mengakses pekerjaan layak, sekaligus memahami bagaimana kebebasan perempuan sering kali terkekang atas nama “kodrat”, sebuah pandangan yang masih banyak dianut oleh masyarakat.

Mimi Lan Mintuna: Trafiking Perempuan Indonesia mengangkat cerita seorang perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia. Tokoh utama, seorang istri yang mengalami kekerasan berbasis gender, berjuang untuk melawan stereotip serta kekerasan yang menimpanya.

Ca Bau Kan berkisah tentang Tinung, seorang perempuan Betawi yang bekerja sebagai penghibur. Cerita ini berfokus pada hubungan romantis antara Tinung dan Tan Peng Liang, seorang pengusaha candu dan tembakau asal Semarang, yang diwarnai berbagai tantangan, mulai dari perbedaan etnis dan kelas sosial hingga pengaruh situasi politik Indonesia pada masa itu.

Setidaknya, Remy Sylado telah menulis belasan karya novel. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa karya lainnya antara lain Gali Lobang Gila Lobang, Siau Ling, Paris van Java, Hotel Prodeo, Menunggu Matahari Melbourne, Namaku Mata Hari, Sam Po Kong, Boulevard de Clichy: Agonia Cinta Monyet, Pangeran Diponegoro, Malaikat Lereng Tidar, dan Perempuan Bernama Arjuna.

Di ruang kerja Remy yang tanpa jendela itu, terhampar pula koleksi mesin tik dan sejumlah penghargaan. Di antaranya, penghargaan Museum Rekor Indonesia untuk karya Kumpulan Puisi Kerygma dan Martyria, yang mencatatkan rekor sebagai karya puisi tertebal dengan 1.036 halaman dan 1.000 judul puisi. Selain itu, ada juga Tirto Adhi Soerjo Award 2008 dan Piagam Penghargaan Akademi Jakarta 2021.

Sesuai aturan Remy, hanya warna hitam dan putih yang diperbolehkan ada di rumah itu. Mulai dari cat tembok, furnitur, hingga seprai, motif ubin, piring, dan sendok makan—semuanya harus mengikuti aturan warna tersebut. Tak hanya itu, dinding-dinding rumah juga dipenuhi lukisan karya Remy, yang sebagian besar menampilkan figur perempuan mirip dengan karakter-karakter utama dalam novelnya. Beberapa lukisan menonjolkan gaya dandanan perempuan Barat tahun 1970-an, dengan eyeliner tebal, mata besar berbingkai bulu mata lentik, serta lipstik berwarna vibran. Selain itu, terdapat pula lukisan Bunda Maria dan beberapa lukisan hewan.

Sesuai aturan Remy, hanya warna hitam dan putih yang diperbolehkan ada di rumah itu.

Sepintas, garis-garis dalam lukisan Remy tampak memiliki aliran postmodernisme. Namun, lebih tepat jika lukisan-lukisan tersebut disebut sebagai ‘aliran Remy,’ sejalan dengan karya seni lainnya yang ia ciptakan. Semuanya berwarna hitam dan putih. 

Remy dan Seni Pertunjukan 

Ketika baru pindah ke Jakarta pada 1970-an, lantai dua rumah Remy juga berfungsi sebagai tempat latihan pementasan teater. Menjelang pementasan, setiap orang di rumah, termasuk Emmy, sang istri, memiliki tugas masing-masing. Emmy bertugas menjahit kostum untuk para penampil dan menyiapkan makanan untuk mereka. “Saya ini selalu ditaruh di balik tirai, di belakang layar,” katanya. 

Boy Worang, sahabat sekaligus kolaborator Remy dalam membangun Dapur Teater 23761, mengungkapkan bahwa pada akhir 1960-an, sangat sulit mengajak orang-orang muda untuk bergabung dengan kelompok teater. Ketika Remy berencana membentuk Dapur Teater 23761, Boy diberi tugas untuk mencari anggota. Sebagian besar anggota awal kelompok teater ini adalah teman-teman dan murid-murid Boy.

Perjalanan berteater Remy tidaklah mulus. Prinsip pemberontak selalu tertanam dalam benaknya. Boy menceritakan bahwa pementasan teater karya Remy sangat berbeda dengan pementasan teater pada masa itu. Lakon yang dipilih bukanlah adaptasi dari pementasan-pementasan Barat, melainkan kisah-kisah yang diangkat dari kehidupan sehari-hari. Selain itu, bahasa yang digunakan pun bukan bahasa baku, melainkan bahasa percakapan orang muda yang sangat informal, bahkan terkadang memuat kata-kata yang terkesan kasar atau vulgar. Begitu pula dengan pendekatan terhadap langgam pementasan teater yang digunakan Remy.

Prinsip pemberontak selalu tertanam dalam benaknya.

Boy mengingat, pada masa itu, ada aturan dalam teori teater yang menyatakan bahwa posisi tubuh pemain sebaiknya 60% menghadap ke penonton. “Tapi, Remy membuat pementasan full back. Semua tampak belakang. Membelakangi penonton,” cerita Boy. 

Pementasan teater karya Remy Sylado yang paling tersohor adalah Orexas. Menurut Boy Orexasmengangkat tema kemunafikan. Ceritanya menggambarkan figur-figur yang dipandang sebagai panutan dalam masyarakat, namun sebenarnya menyimpan cacat perilaku. Dalam pementasan tersebut, salah satunya digambarkan perilaku pendeta yang sewenang-wenang, serta orang tua yang melarang anaknya keluar malam, namun pada kenyataannya, dirinya sendiri masih menikmati kehidupan malam.

Sebagaimana puisi mbeling yang menuai banyak kritik dan membuat Remy Sylado sering dipanggil oleh pihak-pihak yang merasa terganggu, pementasan Orexas juga bernasib serupa. Boy menceritakan bahwa sehari setelah pementasan Orexas “meledak”, ia dilarang untuk melatih ekstrakurikuler teater di sebuah sekolah. Para guru menganggap Orexas terlalu berani dan vulgar. Namun, Boy tetap mengakui bahwa meskipun Remy dikenal dengan keberaniannya, ia selalu siap menanggung segala risiko dari tindakannya tersebut.

“Di kalangan anak muda dia justru dianggap sebagai dewa,” kata Boy ketika bicara soal Remy. 

Sayang, naskah Orexas tidak sempat terarsipkan dan dibaca publik sampai hari ini. Selain Orexas, Messiah II, Genesis II, dan Sam Po Kong, Remy juga membuat naskah drama teater untuk anak-anak. 

Setelah merambah dunia seni pertunjukan, Remy juga menjajal seni peran. Ia membintangi beberapa film, di antaranya TaksiAkibat Kanker Payudara2 dari 3 Laki-LakiTutur Tinular IVCapresBulan di Atas Kuburan, dan Senjakala di Manado. Tak hanya itu, Remy juga berperan sebagai penata musik untuk film Pelarian dan Mawar Cinta Berduri Duka. Ia bahkan menulis naskah untuk beberapa film, seperti Duo KriboOmbaknya Laut Mabuknya Cinta, dan Ca Bau Kan.

Kini, Emmy tengah mencari rumah baru untuk koleksi-koleksi Remy, berharap menemukan pemilik yang dapat merawat barang-barang tersebut dengan telaten. Rumah hitam-putih dan ruang kerja tanpa jendela yang kian usang itu sudah tidak lagi mampu menampung seluruh benda kenangan yang ditinggalkan Remy.