Buku Indonesia: Harimau! Harimau!, Karya Mochtar Lubis - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Harimau Harimau  Mochtar Lubis

Buku Indonesia: Harimau! Harimau!, Karya Mochtar Lubis

Novel peraih penghargaan karya Mochtar Lubis, yang mengkritisi kepemimpinan Soekarno lewat alegori petualangan sekelompok pengumpul damar yang diburu harimau buas.

Kesenian

Mochtar Lubis tampaknya gemar menyelami watak asli manusia. Tak ada yang benar-benar putih di matanya, dan sebaliknya, tak ada pula yang murni terlihat hitam. Hal ini tercermin dalam penggambaran tokoh utama dalam novel Jalan Tak Ada Ujung (1952) yang memakai topeng keberanian, namun sejatinya adalah seorang pengecut.

Dalam novelnya yang kelima, Harimau! Harimau! (1975), mantan jurnalis itu kembali mengupas kompleksitas karakter manusia. Kali ini, ia membangun tujuh tokoh utama yang kemudian diluluhlantakkan dan ditelanjangi satu per satu demi memaparkan kelemahan dan kelebihan mereka.

Pemicu yang dibutuhkan hanyalah seekor harimau yang beringas.  

Suatu Hari di Hutan Raya

Cerita Harimau! Harimau! diawali dengan perjalanan tujuh pengumpul damar yang melintasi hutan raya “yang tak pernah dijejaki manusia dan hidup bernapas dengan kuatnya.” Kelompok yang berasal dari Kampung Air Jernih ini terdiri atas tiga orang tua, yaitu Wak Katok, Pak Balam, dan Pak Haji; serta empat anak muda, yaitu Sanip, Sutan, Talib, dan Buyung.

Cerita diawali dengan perjalanan tujuh pengumpul damar yang melintasi hutan raya “yang tak pernah dijejaki manusia dan hidup bernapas dengan kuatnya.”

Di tengah perjalanan, mereka singgah sebentar di pondok Wak Hitam, seorang dukun sakti yang konon bisa menggunakan guna-guna dan ilmu hitam lainnya untuk mengabulkan permintaan orang. Di sana, mereka bertemu dengan istri muda Wak Hitam, Siti Rubiyah.

Kecantikan Siti Rubiyah sempat menggoda iman para lelaki pengumpul damar ini. Namun, hanya Buyung, anggota termuda dalam kelompok anak muda yang berusia 19 tahun, yang benar-benar terpincut olehnya (dan pada akhirnya berhasil mewujudkan impiannya).

Keesokan harinya, mereka kembali memasuki hutan untuk mencari damar. Pada hari kedua itulah, mereka merasakan kehadiran harimau, predator yang mengancam nyawa mereka. Suaranya terdengar, namun sosoknya tak terlihat. Satu per satu, mereka menjadi korban terkaman sang harimau buas. Hingga saat ini, masih diperdebatkan apakah harimau itu asli atau siluman.

Manusia versus Alam

Meski kita lebih familier dengan pepatah “mulutmu, harimaumu,” Mochtar Lubis, dalam novelnya Harimau! Harimau!, telah terlebih dahulu memperkenalkan petuah “bunuhlah harimau dalam hatimu.” Pepatah inilah yang menjadi inti dan tujuan akhir dari novel terbitan Balai Pustaka ini.

Meski kita lebih familier dengan pepatah “mulutmu, harimaumu,” Mochtar Lubis, dalam novelnya Harimau! Harimau!, telah terlebih dahulu memperkenalkan petuah “bunuhlah harimau dalam hatimu.”

Banyak hal bisa dikagumi dari perwujudan ide Mochtar Lubis yang paling imajinatif, namun mudah dicerna ini. Pengamat sastra A.A. Teeuw menyukai novel Harimau! Harimau!, walaupun ia mengkritik pesan moral di dalamnya yang ia anggap terlalu gamblang dan didaktik.

Namun, justru karena hal itu, novel ini menjadi lebih mengena dan dapat dibaca oleh semua kalangan. Gaya bahasanya yang jelas dan lugas, serta genre ceritanya yang apik memadukan elemen parabel, petualangan, dan mistis/horor, menjadikannya menarik bagi pembaca dari berbagai latar belakang. Novel ini pun tak pernah melupakan aspek kemanusiaan yang terkandung dalam cerita, sehingga semakin memperkuat maknanya.

Patut dikagumi pula kejelian dan ketajaman karakterisasi tokoh-tokoh yang menghuni cerita dalam novel ini. Transisi sudut pandang dan pengalihan cerita latar belakang dari satu tokoh ke tokoh lain pun terasa mulus. Ketujuh tokoh utama memiliki kisah personal yang membuat mereka mudah diidentifikasi, meski sebetulnya yang dapat dikatakan sebagai penggerak utama cerita adalah karakter Buyung dan Wak Katok. Namun sayangnya, penggambaran tokoh wanita dalam cerita cenderung lemah dan lebih dipandang sebagai objek.

Di antara para dedengkot, Wak Katok dianggap sebagai pemimpin de facto, karena ia merupakan tokoh yang disegani dan “malahan agak ditakuti, karena termasyhur ahli pencak, dan mahir sebagai dukun.” Pak Balam, di sisi lain, adalah sosok pendiam yang dihormati karena ketaatannya dalam beragama dan statusnya sebagai pahlawan kemerdekaan. Sementara Pak Haji, yang tertua di antara mereka dan pernah mengembara lintas benua pada masa mudanya, dikenal dengan kebijaksanaan dan pemikirannya yang kritis.

Di antara para pencari damar muda, Sanip (sang penghibur), Sutan (sang playboy), dan Talib (sang pengeluh) adalah tiga sekawan yang baru menginjak usia 20-an, namun sudah menikah dan memiliki anak. Hanya Buyung, sang penembak ulung, yang masih ‘hijau’, agak idealis, dan tengah berburu cinta sejati. Meskipun hatinya telah tertambat pada Zaitun di kampung halaman—dan orang tuanya telah memastikan perjodohan mereka—ia tetap hanya ingin menikahi wanita yang membalas cintanya. Seperti diutarakan oleh suara hatinya, “Biasanya orang kawin menurut pilihan yang dilakukan orangtua saja, akan tetapi dia sendiri ingin memilih istri, dan istrinya memilih dia pula.” 

Menariknya, di pertengahan novel, Mochtar Lubis juga mengalokasikan sepenggal narasi kepada sang harimau. Kemungkinan, hal ini bertujuan untuk memberikan penekanan pada dikotomi sifat alami seekor hewan (“Sang harimau telah dua hari menderita lapar. Dia telah tua. Tenaganya tak cukup kuat lagi”) dan sikap naluriah manusia. 

Menariknya, di pertengahan novel, Mochtar Lubis juga mengalokasikan sepenggal narasi kepada sang harimau.

Sepanjang sejarah sastra klasik, cerita-cerita yang mengangkat tema pergulatan antara manusia dan alam, seperti Moby Dick karya Herman Melville atau Jurassic Park karya Michael Crichton, selalu mengedepankan pertanyaan yang sama: siapakah yang lebih buas—hewan atau manusia? Ketika hewan menyerang, biasanya didorong oleh insting alami untuk mempertahankan diri atau rasa lapar. Di sisi lain, ketika manusia melakukan kekerasan, tindakan tersebut merupakan suatu pilihan.

Saat korban pertama diterkam sang harimau, menyadari kematiannya sudah di depan mata, dia menyingkap dosa-dosanya dan menuntut tokoh lain untuk melakukan hal yang sama agar mendapatkan pengampunan dari Yang Maha Kuasa. Permintaan ini memicu duel antara nurani dan naluri buas manusia. Salah satu tokoh bahkan pada akhirnya memilih untuk membunuh tokoh lainnya, karena dosa-dosa terburuknya terungkap oleh korban pertama dan dia merasa malu jika orang-orang di kampung kemudian mengetahuinya.

Aktif Kritis

Almarhum Mochtar Lubis (1922–2004) mengungkapkan bahwa inspirasi cerita untuk Harimau! Harimau! pertama kali muncul saat ia menjelajahi hutan di Sumatra pada masa remajanya, dan hampir berhadapan langsung dengan hewan buas yang namanya kemudian menjadi judul novelnya. Namun, ia baru mengembangkan dan menulis cerita tersebut ketika ia dipenjara selama sembilan tahun (1956-1966) di Madiun.

Ia ditangkap atas perintah Soekarno yang menuduhnya terlalu kritis terhadap pemerintahannya. Cerita ini, tak dapat dipungkiri, dapat dipandang sebagai alegori tentang pemerintahan pada masa itu. Yang jelas, novel yang menerima penghargaan buku penulisan sastra terbaik dari Yayasan Buku Utama pada tahun 1975 ini sangat kritis terhadap sosok pemimpin—dan mendorong para pembacanya untuk ikut bersikap kritis.

Sejak diluncurkan, novel ini telah mendapatkan banyak perhatian. Novel kelima Mochtar Lubis ini sudah dicetak ulang sebanyak sepuluh kali pada tahun 2018, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Mandarin, dan Jepang. 

Novel kelima Mochtar Lubis ini sudah dicetak ulang sebanyak sepuluh kali pada tahun 2018, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Mandarin, dan Jepang. 

Sejumlah pujian untuk novel ini bahkan datang dari sesama penulis, sastrawan, dan kritikus. Satyagraha Hoerip, misalnya, mengungkapkan kekagumannya atas kemahiran tinggi yang ditunjukkan dalam penggarapan novel Harimau! Harimau!. Di sisi lain, H.B. Jassin mengamati adanya dua kelompok dalam novel yang perlu diperhatikan, yaitu kelompok tua yang sering menjadi sasaran kritik, serta kelompok muda yang penuh kesadaran, aspirasi, dan ketegasan.

Semasa hidupnya, pengarang asal Padang ini sebetulnya tidak terlalu produktif. Ia hanya menulis enam novel—Tak Ada Esok, Jalan Tak Ada Ujung, Senja di Jakarta, Tanah Gersang, Harimau! Harimau!, serta Maut dan Cinta—dan dua buku kumpulan cerita pendek. Ia lebih aktif dengan karier utamanya sebagai jurnalis dan turut serta mendirikan dua organisasi yang berkecimpung dalam dunia sastra, yaitu Yayasan Obor dan Majalah Horison

Serupa dengan tema yang diusungnya sebagai jurnalis, Mochtar sang novelis pun mengemas pandangan politiknya dalam setiap cerita; baik secara realistis seperti Senja di Jakarta maupun sedikit mistis (yang sebenarnya ia angkat sebagai sasaran kritik) seperti Harimau! Harimau!. Yang pasti, ia selalu menempatkan dirinya di kalangan rakyat yang kerap menjadi korban gaya kepemimpinan yang buruk.

Berbagi seuntai benang merah dengan Jalan Tak Ada Ujung, beberapa tokoh utama dalam novel ini juga senantiasa dicengkeram oleh rasa takut. Rasa takut ini kemudian diselimuti topeng keperkasaan (“Akan tetapi dia selalu takut. Dia tak dapat meninggalkan rasa takutnya. Dia tak dapat damai dengan takutnya”). 

Namun, berbeda dengan Jalan Tak Ada Ujung yang cenderung lebih pesimistis, Harimau! Harimau! lebih optimis dan percaya pada kebaikan yang inheren dalam diri setiap manusia. Seperti diutarakan oleh salah satu tokoh, “Aku menghendaki manusia sempurna, sedang manusia hanya dapat berikhtiar dan berusaha menjadi sempurna… kini aku sadar kemanusiaan hanya dapat dibina dengan mencinta, dan bukan dengan membenci. Orang yang membenci tidak saja hendak merusak manusia lain, tetapi pertama sekali merusak manusia dirinya sendiri.”

Gamblang dan didaktik? Mungkin. Lugas dan jelas? Pasti. Dan yang dibutuhkan hanyalah hewan yang beringas. Entah itu seekor harimau, atau seorang manusia. 

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya