Bali, tak hanya kaya akan wisata alam yang memukau, tetapi juga sarat dengan cerita rakyat yang penuh inspirasi. Salah satunya adalah kisah Bawang dan Kesuna. Seperti banyak cerita rakyat lainnya, legenda ini sarat dengan pelajaran hidup yang dikemas melalui karakter-karakter simbolis dan pesan moral yang mendalam.
Dalam bahasa Bali, ‘bawang’ adalah istilah untuk bawang merah, sedangkan ‘kesuna’ adalah sebutan untuk bawang putih. Meski judulnya mirip dengan cerita rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih, kisah keduanya berbeda. Cerita Bawang dan Kesuna menceritakan tentang pertikaian antara kakak-adik yang memiliki sifat bertolak belakang. Oleh karena itu, mereka mendapatkan ganjaran yang sesuai dengan perbuatannya masing-masing.
Dalam bahasa Bali, ‘bawang’ adalah istilah untuk bawang merah, sedangkan ‘kesuna’ adalah sebutan untuk bawang putih.
Apa saja perbuatan yang dimaksud dan ganjaran apa yang didapatkan keduanya?
Bawang dan Tipu Muslihatnya
Alkisah, hiduplah dua saudara perempuan bernama Bawang dan Kesuna yang tinggal bersama kedua orang tua mereka. Bawang dikenal sebagai pribadi yang pandai mengambil hati orang, meski dengan cara yang tidak baik. Sementara Kesuna, sebaliknya, adalah pribadi yang rajin dan pendiam.
Suatu hari, orang tua Bawang dan Kesuna pergi menggarap sawah. Sebelum berangkat, mereka meminta kedua anaknya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Bawang dan Kesuna mematuhi perintah orang tua mereka. Setelah orang tua mereka pergi, Bawang dan Kesuna membagi tugas. Bawang bertugas menumbuk padi, Kesuna mengayak hasil tumbukan, dan kemudian mereka akan memasak beras bersama-sama.
Saat Kesuna bersiap-siap untuk mengayak padi, ia mengingatkan saudaranya yang sedang berbaring untuk segera ikut bekerja. Namun, Bawang menolak ajakan tersebut dan meminta Kesuna untuk menumbuk padi terlebih dahulu—yang seharusnya menjadi tugasnya. Setelah Kesuna selesai menumbuk padi, Bawang berjanji untuk mengayaknya.
Setelah selesai menumbuk padi, Kesuna kembali mengingatkan Bawang untuk segera melakukan tugasnya. Namun, Bawang tidak menepati janjinya dan enggan untuk mengayak padi. Ia beralasan bahwa dia yang akan memasak setelah Kesuna selesai mengayak padi. Khawatir mandat kedua orang tuanya tidak terselesaikan sebelum waktunya tiba, Kesuna pun melanjutkan mengayak padi.
Ketika padi telah menjadi beras, Kesuna segera memasaknya. Ia tahu betul bahwa Bawang akan kembali mencari alasan untuk tidak mengerjakan tugasnya. Bawang hanya berbaring dan bermalas-malasan sambil menyaksikan Kesuna bekerja dengan penuh ketekunan. Usai menyelesaikan tugasnya, Kesuna yang berkeringat ingin mandi di sungai dekat rumah mereka. Bawang pun mengizinkannya.
Bawang hanya berbaring dan bermalas-malasan sambil menyaksikan Kesuna bekerja dengan penuh ketekunan.
Setelah mandi, Kesuna pulang ke rumah dan hendak berbaring karena merasa kelelahan. Sayangnya, setibanya di rumah, Kesuna disambut dengan amarah dari kedua orang tuanya. Ternyata, Bawang malah memfitnahnya dengan mengatakan bahwa Kesuna hanya bermalas-malasan dan tidak mengerjakan tugas apa pun. Tanpa sepengetahuan Kesuna, Bawang mengotori dirinya dengan arang. Dengan cara ini, Bawang berhasil menipu kedua orang tua mereka.
Termakan tipuan Bawang selama ini, sang ayah dan ibu pun menjadi murka pada Kesuna. Bahkan, mereka memukuli Kesuna dan mengusirnya untuk tinggal di tengah hutan. Walaupun merasa sedih, Kesuna pasrah dan pergi dengan terisak-isak.
Burung Penuh Berkah
Saat beristirahat di tengah hutan, seekor burung cerukcuk kuning menghampirinya. Kesuna yang sedang menangis tersedu-sedu, memohon kepada sang burung untuk mematuknya. Ia merasa lelah dengan hidupnya dan ingin mati saja. Burung itu pun mematuk ubun-ubun, telinga, leher, pergelangan tangan, dan kakinya. Alih-alih merasa sakit, patukan sang burung justru menghasilkan rangkaian emas bak mahkota di kepala Kesuna.
Kesuna yang sedang menangis tersedu-sedu, memohon kepada sang burung untuk mematuknya.
Begitu pula dengan bagian lain pada tubuhnya yang kini dihiasi kalung, anting, dan gelang-gelang yang terbuat dari emas. Seketika, semangat hidup Kesuna kembali bangkit karena merasa dilindungi oleh sang burung. Akhirnya, ia kembali ke rumahnya dengan harapan akan diterima kembali oleh kedua orang tuanya.
Sesampainya di rumah, ia mengetuk pintu dan memberi tahu sang ayah bahwa ia telah kembali dari hutan. Akan tetapi, sang ayah tidak mau membukakan pintu. Setelah berkali-kali mengetuk pintu, sang ayah akhirnya bersuara dan mengucapkan bahwa dia tak lagi menganggap Kesuna sebagai anak. Tetap teguh pendirian, Kesuna berlari ke rumah neneknya untuk mencari perlindungan. Segera setelah mengetuk pintu, sang nenek membukakan pintu dan menyambut Kesuna dengan senang hati.
Beberapa hari kemudian, Bawang mendatangi rumah sang nenek atas perintah ayahnya. Ia diperintahkan untuk membantu neneknya membuat api unggun. Saat sedang menyulut api, Bawang mendengar suara yang janggal. Ia bertanya kepada sang nenek yang menjawab bahwa mungkin itu adalah suara serangga. Sebenarnya, sang nenek sudah mengetahui apa yang terjadi dan sedang melindungi Kesuna.
Ketika suara itu terdengar lagi, Bawang tak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. Ia segera menghampiri sumber suara tersebut dan terperanjat saat menemukan Kesuna sedang memintal benang di dalam sebuah kamar. Ia pun semakin terkejut saat melihat Kesuna menggunakan perhiasan emas di seluruh tubuhnya. Bawang, dengan sikap yang tak tahu malu, meminta Kesuna untuk memberikan salah satu emas tersebut kepadanya.
Bawang, dengan sikap yang tak tahu malu, meminta Kesuna untuk memberikan salah satu emas tersebut kepadanya.
Karena masih sakit hati atas perlakuan Bawang yang membuatnya diusir, Kesuna enggan memberikan emas itu kepadanya. Bawang pun berlari pulang dan mengadu kepada kedua orang tuanya. Sang ayah bukan hanya kesal karena Bawang tidak menyelesaikan tugasnya membantu nenek, tetapi dia makin murka saat mengetahui bahwa Kesuna masih hidup, bahkan memiliki banyak perhiasan emas.
Keserakahan yang Membawa Petaka
Setelah beberapa waktu, Bawang dan kedua orang tuanya akhirnya mengetahui asal-usul emas yang dimiliki Kesuna. Mereka pun berusaha mendapatkan emas dengan cara yang sama. Karena itu, Bawang dan kedua orang tuanya mulai menyusun strategi untuk memancing kedatangan burung cerukcuk kuning penghasil emas tersebut.
Di hadapan seluruh tetangganya, sang ibu bersandiwara memukuli Bawang menggunakan sapu lidi. Sebelum pergi mengembara ke dalam hutan, Bawang berpura-pura menangis tersedu-sedu seolah kesakitan. Sesampainya di hutan, Bawang akhirnya menemukan burung cerukcuk kuning yang ia cari-cari.
Sambil bersandiwara, ia menangis dan memohon kepada sang burung untuk mematuk seluruh tubuhnya. Burung cerukcuk itu pun terbang rendah dan mulai mematuk ubun-ubun, leher, telinga, pergelangan tangan, dan kaki Bawang. Namun, alih-alih emas yang keluar dari tubuhnya, luka parah justru bermunculan di sekujur tubuhnya.
Alih-alih emas yang keluar dari tubuhnya, luka parah justru bermunculan di sekujur tubuhnya.
Bukan hanya itu, lintah-lintah pun segera berdatangan untuk menghisap darah yang mengalir. Bawang berteriak meminta pertolongan, tetapi tidak ada orang yang mendengarnya. Tak lama kemudian, ia terjatuh karena kesakitan yang luar biasa. Seekor ular juga menghampiri Bawang dan melilit lehernya dengan erat hingga ia tidak dapat bernapas dan terkujur kaku.
Moral Cerita
Cerita rakyat Bawang dan Kesuna dari Bali merupakan pengingat bahwa setiap perbuatan kita—baik atau buruk—akan mendapatkan ganjaran setimpal. Bawang yang serakah dan suka memfitnah menuai petaka, sementara Kesuna yang baik hati dan tulus mendapatkan kebahagiaan.
Fitnah dan kesombongan bagaikan racun yang menghancurkan diri sendiri dan orang lain. Bawang yang diselimuti kedua sifat ini, pada akhirnya harus menerima balasannya. Fitnahnya terhadap Kesuna justru membawanya ke jurang kejatuhan.
Fitnah dan kesombongan bagaikan racun yang menghancurkan diri sendiri dan orang lain.
Di sisi lain, kebaikan dan keikhlasan layaknya cahaya yang menerangi jalan. Kesuna yang setia pada kebaikan, meski dihadapkan dengan berbagai rintangan, pada akhirnya mendapatkan kebahagiaan dan kemakmuran.
Cerita ini juga mengajarkan kita untuk terus berbuat baik kepada sesama tanpa pamrih. Terlepas dari perbedaan status sosial atau latar belakang, kebaikan hati selalu membawa dampak positif bagi lingkungan sekitar.