Cerita rakyat Jawa Tengah Lutung Kasarung sering diceritakan sebagai salah satu dongeng pengantar tidur atau cerita yang diajarkan di sekolah. Tak hanya itu, Lutung Kasarung juga telah diadaptasi ke berbagai buku cerita, pertunjukan teater, layar perak, dan layar lebar.
Pada tahun 1921, cerita ini diadaptasi ke dalam sebuah pertunjukan gending karesmen (drama musikal) yang diproduseri oleh Bupati Bandung saat itu, yaitu R.A.A. Wiranatakusumah V. Kemudian, cerita ini diadaptasi menjadi sebuah film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng (1926) yang disutradarai oleh dua sutradara Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp.
Berkat tanggapan positif masyarakat, harian De Lecomotief menyebut film ini sebagai tonggak bersejarah dalam industri sinema Hindia—sebutan Indonesia sebelum kemerdekaan. Bahkan, film ini dikreasikan ulang pada tahun 1952 dan 1983 oleh B.Z. Kadaryono dan E.T. Effendi.
Lutung Kasarung juga hadir dalam bentuk buku karya seniman Belanda, Tilly Dalton, pada tahun 1950. Dalam teater, ada dua yang paling terkenal, yaitu Pagelaran Musikal Lutung Kasarung(2011) yang disutradarai Almarhum Didi Petet dan seri #MusikalDiRumahAja (2020) karya sineas Nia Dinata yang dipersembahkan BOOWLive dan Indonesia Kaya.
Mari kita telusuri asal-usul cerita Lutung Kasarung yang begitu legendaris ini.
Penerus Kerajaan Pasir Batang
Kisah ini bermula di Tatar Pasundan, tepatnya di Kerajaan Pasir Batang yang dipimpin oleh Prabu Tapa Agung. Oleh rakyatnya, ia dikenal sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana. Namun, sang raja sudah mulai memasuki usia senja. Oleh karena itu, Prabu Tapa Agung ingin mendaulat salah satu dari ketujuh putrinya untuk menjadi penerus takhta. Ya, ia tak memiliki satu pun putra mahkota.
Prabu Tapa Agung ingin mendaulat salah satu dari ketujuh putrinya untuk menjadi penerus takhta.
Lima dari tujuh keturunannya telah menikah dengan putra mahkota kerajaan lain. Mereka adalah Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana, Purbamanik, dan Purbaleuih. Jadi, Prabu Tapa Agung harus memilih satu dari kedua putrinya yang masih tinggal di Kerajaan Pasir Batang. Mereka adalah sang putri sulung, Purbararang, dan putri bungsu, Purbasari Ayuwangi.
Dengan pertimbangan matang, akhirnya pilihan Prabu Tapa Agung jatuh kepada Purbasari. Ia merasa Purbasari adalah sosok yang pantas menggantikan dirinya lantaran akhlaknya yang mulia. Di samping itu, ia juga berhati lembut, ramah, dan suka menolong. Sementara itu, sifat Purbararang sangat bertolak belakang dengan Purbasari. Ia adalah seorang yang pendengki, sombong, dan kasar terhadap orang di sekitarnya.
Keputusan raja untuk mewariskan takhta kepada Purbasari dianggap bijaksana oleh rakyat Kerajaan Pasir Batang. Dengan segera, Prabu Tapa Agung menobatkan Purbasari sebagai ratu di hadapan para penasihat istana dan keenam putrinya, sebelum ia memulai hidup baru sebagai pertapa.
Sesuai dugaan, Purbararang marah dan tidak dapat menerima keputusan sang ayah. Menurutnya, sebagai anak sulung, dialah yang berhak menjadi pewaris takhta. Selain itu, calon suaminya yang bernama Raden Indrajaya juga mengutuk keputusan Prabu Tapa Agung. Raden Indrajaya sudah lama mendambakan hidup penuh kekuasaan dan kekayaan. Hal yang diyakininya sudah di depan mata, tapi ternyata dengan mudah terampas.
Purbararang pun bersekongkol dengan tunangannya untuk merebut takhta Purbasari. Mereka menemui seorang penyihir sakti bernama Ni Ronde dan memintanya untuk mencelakai sang adik. Ni Ronde memberi sebuah kantong berisi boreh, zat hitam yang terbuat dari tumbuhan. Ni Ronde memerintahkan Purbararang untuk menyemburkan boreh ke seluruh tubuh Purbasari jika ingin menyingkirkannya.
Ni Ronde memerintahkan Purbararang untuk menyemburkan boreh ke seluruh tubuh Purbasari jika ingin menyingkirkannya.
Purbararang bergegas pergi menemui Purbasari untuk melaksanakan perintah Ni Ronde dan menghembuskan boreh tersebut ke tubuh Purbasari. Seketika, muncul bercak hitam di sekujur tubuh Purbasari, hingga melepuh dan bernanah. Raut muka Purbararang berangsur-angsur berubah. Ia tersenyum bengis karena baru saja mendapat ide brilian.
Bersama Raden Indrajaya, ia pergi menghadap Prabu Tapa Agung dan permaisuri. Ia memberitahu kedua orang tuanya bahwa Purbasari telah dikutuk sehingga menderita penyakit menular. Ia lalu bertanya, apakah mereka tidak khawatir akan keselamatan warga Pasir Batang jika Purbasari terus berperan sebagai ratu?
Prabu Tapa Agung yang pantang menyerah kemudian mengerahkan seluruh tenaga dan mengutus prajurit-prajurit istana untuk memanggil tabib ke istana. Namun, tidak ada yang berhasil menyembuhkan Purbasari.
Akhirnya, dengan berat hati, Prabu Tapa Agung mengasingkan Purbasari ke hutan. Purbasari hanya termenung dalam duka karena sang ayah berhasil dihasut oleh Purbararang dan Raden Indrajaya.
Ditemani seorang patih kerajaan yang bernama Uwak Batara Lengser, Purbasari pun pergi ke hutan belantara. Sesampainya di tempat yang aman untuk bernaung, Uwak Batara Lengser meninggalkan Purbasari.
Keajaiban Jamban Salaka
Pada saat yang sama, keributan melanda Kayangan. Seorang dewa bernama Sanghyang Guruminda menolak permintaan sang ibu, Sunan Ambu, untuk menikah dengan seorang bidadari Kayangan. Ia hanya berkenan untuk menikahi perempuan yang memiliki paras secantik sang ibu.
Sunan Ambu berkata bahwa anaknya tidak akan bisa menemukan wanita berparas secantik dirinya di Kayangan. Sang ibu menyuruhnya turun ke Buana Panca Tengah (sebutan untuk Bumi) jika ingin menemukannya.
Sanghyang Guruminda pun menjelma menjadi seekor lutung atas perintah Sunan Ambu sebelum terjun ke Bumi. Penyamaran ini bertujuan agar ia mendapatkan cinta yang tulus, bukan karena paras tampan dan kegagahannya semata. Ia pun mendarat tepat di hutan tempat Purbasari bersuaka.
Sanghyang Guruminda pun menjelma menjadi seekor lutung atas perintah Sunan Ambu sebelum terjun ke Bumi.
Beberapa bulan telah berlalu sejak Purbasari diasingkan oleh Purbararang dari Kerajaan Pasir Batang. Meski awalnya merasa kesepian, Purbasari mencoba untuk mengalihkan perhatiannya dengan bermain bersama hewan-hewan sekitar. Sejak dulu, ia memang dikenal sebagai penyayang binatang.
Dari sekian banyak hewan yang diajak bercengkrama, salah satunya adalah seekor kera berbulu hitam nan misterius. Ketika hewan lainnya hidup bergerombolan dengan sesamanya, sang kera datang seorang diri. Akhirnya, Purbasari pun menamainya Lutung Kasarung, yang berarti lutung yang tersesat.
Persahabatan antara Purbasari dan Lutung Kasarung menjadi semakin erat seiring berjalannya waktu. Namun, ia tidak tahu bahwa Lutung Kasarung adalah jelmaan dari Sanghyang Guruminda. Dan karena kesaktiannya, Lutung Kasarung diangkat menjadi raja hutan oleh hewan-hewan lainnya.
Suatu hari, Lutung Kasarung pergi menyelinap untuk bersemedi dan memanjatkan permohonan kepada Sunan Ambu untuk menyembuhkan Purbasari. Sang ibu mengabulkan permintaan itu dengan menghadirkan sebuah telaga di tengah hutan.
Lutung Kasarung pergi menyelinap untuk bersemedi dan memanjatkan permohonan kepada Sunan Ambu untuk menyembuhkan Purbasari.
Telaga tersebut terbuat dari emas murni dengan dinding dan lantainya yang terbuat dari batu pualam. Air yang mengalir diiringi doa dari para dewa dan dewi Kayangan. Telaga tersebut diberi nama Jamban Salaka.
Purbasari kemudian pergi mandi di Jamban Salaka. Tak lama setelah itu, seluruh bercak hitam di tubuhnya sirna. Lutung Kasarung tertegun melihat kecantikan Purbasari yang selama ini tertutup oleh sihir Ni Ronde.
Ia tak menyangka bahwa kecantikan Purbasari jauh melebihi sang ibu, Sunan Ambu. Perlahan keduanya saling jatuh cinta, bertunangan, dan hidup berbahagia di hutan, berdampingan dengan hewan-hewan lainnya.
Duel Berujung Kebahagiaan
Di Kerajaan Pasir Batang, Prabu Tapa Agung memerintahkan para dayang untuk memeriksa keadaan Purbasari, yang telah pergi dari istana selama berbulan-bulan. Sesampainya di tengah hutan, para dayang terkejut melihat kondisi Purbasari yang telah kembali seperti sediakala. Berita tersebut sampai ke telinga Prabu Tapa Agung dan permaisuri, yang langsung memerintahkan para utusan untuk membawa Purbasari kembali ke istana.
Mendengar berita tersebut, Purbararang kalang kabut karena merasa bahwa posisinya terancam. Prabu Tapa Agung bertitah bahwa Purbasari harus memperoleh takhtanya kembali, karena sudah tak ada lagi penyakit yang menghalanginya untuk menjadi pemimpin.
Purbararang menolak titah tersebut dan mengajukan syarat kepada Prabu Tapa Agung untuk memilih pemimpin secara adil. Ia ingin mengajak Purbasari berduel untuk memperebutkan takhta. Akhirnya, Prabu Tapa Agung menyetujui persyaratan Purbararang.
Purbararang kemudian mengajak Raden Indrajaya untuk mendatangi hutan tempat Purbasari tinggal. Sesampainya di hutan, Purbararang langsung mengajak Purbasari untuk berduel dengan Prabu Tapa Agung sebagai saksinya.
Duel pertama adalah perlombaan rambut. Pemenangnya adalah yang memiliki rambut lebih panjang dan indah. Purbararang menantang bahwa jika rambutnya lebih panjang daripada rambut Purbasari, maka leher Purbasari akan dipenggal oleh algojo kerajaan.
Purbararang menantang bahwa jika rambutnya lebih panjang daripada rambut Purbasari, maka leher Purbasari akan dipenggal oleh algojo kerajaan.
Dalam hitungan ketiga, Purbasari dan Purbararang membuka simpul konde mereka. Rambut Purbararang terurai panjang sebetis, sementara rambut Purbasari menjuntai hingga tumit kaki. Tak hanya itu, rambut Purbasari juga lebih hitam berkilau dan keindahannya lebih terpancar dibandingkan rambut Purbararang.
Sebenarnya, rambut Purbasari tidak lebih panjang dari rambut Purbararang. Namun, Lutung Kasarung memanjatkan doa kepada Sunan Ambu untuk membantunya. Benar saja, peri-peri dan bidadari berkumpul untuk membantu Purbasari dengan menyambung setiap helai rambutnya hingga menjadi sepanjang tumit.
Tak ingin mengakui kekalahannya, Purbararang pun mengajukan tantangan baru untuk Purbasari. Kali ini, tantangannya adalah kompetisi paras rupawan antara tunangan Purbararang, Raden Indrajaya, dan tunangan Purbasari, Lutung Kasarung.
Ia meminta Prabu Tapa Agung dan masyarakat di sekitarnya untuk menilai. Jika paras tunangan Purbasari lebih tampan dibandingkan Raden Indrajaya, maka takhta Kerajaan Pasir Batang akan ia serahkan kepada Purbasari. Namun, jika sebaliknya, maka Purbasari harus bersedia untuk dipenggal lehernya oleh algojo kerajaan.
Purbararang yakin bahwa ia akan menang. Bagaimana mungkin, tunangannya yang begitu rupawan akan kalah dengan seekor lutung? Purbasari paham bahwa ia tak akan memenangkan duel ini. Namun, ia tetap menunjukkan ketegarannya.
Purbasari lalu berbisik kepada Lutung Kasarung, meyakinkan bahwa ia akan tetap mencintainya dan ingin ia menjadi suaminya, apa pun yang terjadi. Mendengar hal itu, Lutung Kasarung merasa terharu dan mengusap air mata Purbasari. Dalam hati, ia kembali memohon kepada Sunan Ambu untuk diberikan jalan keluar.
Duel pun dimulai. Raden Indrajaya dan Lutung Kasarung berdiri sejajar di hadapan masyarakat yang hadir. Beberapa saat pertama, segenap penonton dan Purbararang tertawa licik karena jelas sekali Raden Indrajaya—yang merupakan seorang manusia—terlihat lebih tampan dari seekor lutung.
Akan tetapi, gelak tawa itu mereda seiring kemunculan asap putih nan pekat dari badan Lutung Kasarung. Dalam hitungan detik, ia menghilang, dan kembali dalam wujud yang berbeda. Ya, Lutung Kasarung kembali menjadi Sanghyang Guruminda yang gagah dan rupawan.
Ketampanan Raden Indrajaya yang berdiri di sebelah Sanghyang Guruminda pun meredup. Seolah tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kegagahan Sanghyang Guruminda. Para penonton, Purbararang, Purbasari, dan Prabu Tapa Agung, sama-sama terkejut.
Ketampanan Raden Indrajaya yang berdiri di sebelah Sanghyang Guruminda pun meredup.
Keadaan berubah 180 derajat. Kini, Praburarang dan Raden Indrajaya termenung menghadapi nasib mereka. Dengan seketika, Purbararang memohon ampun dan bersujud di hadapan Purbasari. Ia meminta maaf atas keegoisan dan kesombongannya. Karena ambisi untuk memegang takhta Kerajaan Pasir Batang, ia membuat Purbasari menderita.
Dengan penuh kasih sayang, Purbasari menjawab bahwa tanpa perlu meminta maaf, ia telah memaafkan Purbararang. Ia mengabaikan hukuman penggal yang diancamkan Purbararang dan mengajaknya untuk kembali ke istana dan hidup bersama.
Kedua kakak beradik ini saling berpelukan dan menangis haru. Dengan rasa bangga, Prabu Tapa Agung kembali melantik Purbasari sebagai Ratu Kerajaan Pasir Batang. Akhirnya, Purbasari dan Sanghyang Guruminda hidup bahagia selamanya di Kerajaan Pasir Batang.
Moral Cerita
Dari Cerita rakyat Jawa Tengah Lutung Kasarung, terdapat satu pesan moral yang begitu menonjol, yaitu jauhilah rasa iri dengki dan ambisi berlebihan yang dapat menjerumuskan kita ke jurang keserakahan. Sifat-sifat ini hanya akan membawa ketidakpuasan dan penyesalan. Selanjutnya, kejarlah cita-cita dan ambisi dengan cara yang terhormat. Ingatlah, berbuat curang tidak akan menghasilkan kebahagiaan sejati. Berjuanglah dengan cara yang adil dan bijaksana. Karena pada akhirnya, usaha tidak akan mengkhianati hasil.