Tidak ada kata berhenti untuk menulis, dan menulis adalah pekerjaan mulia, karena menulis adalah kegiatan menanamkan berlian di hati para pembaca.
Menulis adalah jalan yang dipilihnya sejak kecil, jalan yang begitu sunyi. Namun dari kesunyian itulah tercipta permenungan yang dalam tentang kemanusiaan. Gemerlap permenungan dan riak-riak semangat dalam dirinya kemudian menyatu dan ditulis menjadi kejujuran cerita yang membangun moralitas. Bagi Helvy Tiana Rosa, menulis adalah kegiatan menanam berlian di hati para pembaca. Helvy telah lama berkecimpung dalam dunia tulis menulis, sastrawan serba bisa ini telah banyak menghasilkan karya sastra, baik berupa cerpen, novel, puisi, maupun naskah drama.
Terakhir, kumpulan puisinya Mata Ketiga Cinta telah terbit dan novel Ketika Mas Gagah Pergi sedang dalam proses persiapan pembuatan film layar lebar. Bagi Helvy, ibu merupakan sosok penting yang memperkenalkannya dengan dunia sastra. “Ibu saya suka membaca, beliau suka membaca karya sastra Indonesia, juga karya-karya luar negeri pada saat itu. Dari kebiasaan membaca itulah, saya ikut membaca apa yang ibu baca,” kenang Helvy.
Ibarat seorang ksatria, buku adalah pedang bagi seorang penulis, dan imajinasi adalah apa yang membuatnya tajam. Tidak mengherankan jika Helvy memiliki begitu banyak buku di beranda atas rumahnya, mulai dari buku-buku sastra, filsafat, hingga keagamaan. Tepat di depan perpustakaan kecilnya terhampar sofa yang langsung menghadap ke jendela, di tempat itulah Helvy biasa menghabiskan waktunya untuk membaca.
Helvy mengakui ketika menulis selalu berusaha untuk menjadi penulis sekaligus pembaca. Dengan pemikiran seperti itu, helvy akan menulis apa yang disukainya. Karya-karyanya banyak yang lahir dari permenungan panjang, namun ada juga beberapa karya yang terlahir begitu saja. Misal Pangeranku, sebuah buku yang didedikasikan untuk anak-anak. Helvy pun menyadari bahwa menulis cerita anak ternyata lebih sulit ketimbang melahirkan karya sastra dewasa. Meski demikian, ia selalu mencoba menuliskan apa yang disukainya.
Karena menurut Putu Wijaya, penulis cerita anak adalah pahlawan untuk Indonesia, dan Helvy mencoba untuk menjadi pahlawan dengan menuliskan berbagai cerita anak dalam buku-buku sastra karangannya. Selain melahirkan berbagai cerita anak, karya Helvy juga tidak luput dari persoalan perempuan. Hal ini terlihat dari berbagai karyanya seperti Tanah Perempuan, Bukavu, atau Ketika Mas Gagah Pergi.
Bagi Helvy, masih banyak perempuan Indonesia yang terpuruk dalam kemiskinan, dalam konflik-konflik, kekerasan rumah tangga, buruh perempuan, TKW, dan sebagainya. Sebagai penulis, Helvy merasa bertanggung jawab untuk membagi spirit tentang literatur yang dibacanya berkenaan dengan perempuan-perempuan hebat yang ada di Indonesia, untuk kemudian dikembalikan dalam bentuk karya sastra. Salah satu karyanya, Tanah Perempuan, bercerita tentang kebangkitan perempuan Aceh pasca tsunami.
Kemahiran Helvy Tiana Rosa dalam menciptakan karya sastra tidak diperoleh begitu saja. Sejak kecil dirinya selalu berkeinginan untuk menjadi penulis. Cita-cita itu makin menjadi nyata ketika di masa perkuliahan ia mendirikan sebuah forum kepenulisan yang bernama Forum Lingkar Pena (FLP). Helvy berharap dengan didirikannya FLP ini, anak-anak muda bisa belajar menulis dan saling berbagi pengalaman. FLP bukanlah organisasi penulis akan tetapi organisasi bagi mereka yang ingin belajar dan menjadi penulis.
Karena itulah, anggota FLP berasal dari beragam profesi mulai dari tukang becak, petani, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga. Mulai dari anak berusia 5 tahun hingga seorang kakek berusia 70 tahun. Di FLP para penulis yang karyanya sudah diterbitkan secara otomatis akan menjadi mentor bagi penulis pemula dan anggota baru. Mereka juga menjadi relawan dan tersebar di berbagai pelosok di Indonesia untuk tujuan mulia saling membantu dan menyemangati orang-orang yang ingin belajar menulis.
Menurut saya, peradaban suatu bangsa dilihat dari berapa banyak orang yang membaca dan menulis di negeri itu,
Dari cara berpikir seperti inilah, kemudian muncul kesadaran dalam diri seorang Helvy bahwa akan berdosa jika seorang penulis hanya sibuk dengan dirinya sendiri, bersepi-sepi dengan kesenian, sementara tidak mau peduli dengan lingkungan sekitar. Kesadaran tersebut mampu mentransfer energi, sehingga Helvy kuat dan tegar sebagai seorang penulis yang tidak hanya produktif, tapi juga mau menjadi relawan untuk ambil bagian membantu orang lain untuk gemar membaca dan menulis.
Tidak salah memang jika dirinya dianggap sebagai pelopor lahirnya penulis-penulis muda Indonesia, bahkan koran Tempo memberi julukan khusus kepada dirinya sebagai lokomotif penulis muda Indonesia.
Sastrawan Akademisi
Sebagai sastrawan yang juga akademisi, saat ini Helvy tercatat sebagai dosen yang mengajar di jurusan bahasa dan sastra Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Helvy tahu betul bagaimana perkembangan sastra di dunia pendidikan di Indonesia saat ini.
Menurutnya, anak-anak perlu diperkenalkan dengan sastra sedini mungkin. Dimulai dari rumah, kemudian di sekolah, dari mulai TK, SD, SMP, SMA, dan bagaimana pelajaran bahasa dan sastra bisa menjadi menyenangkan bagi para pelajar dan mahasiswa. Karena mengingat saat ini, mereka (pelajar dan mahasiswa) belajar sastra dengan sangat terpaksa dan menganggap sastra hanyalah khayalan belaka.
Di sinilah tugas akademisi sastra diperlukan untuk membongkar stigma yang selalu merendahkan seni sastra. Padahal sastra merupakan tolak ukur dari tingginya suatu peradaban bangsa, sastra juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat. Sastra merupakan potret karena sastra juga bisa menjadi semacam refleksi kehidupan manusia. Menurut Helvy, guru dan dosen mata pelajaran sastra juga harus paham apa yang mereka ajarkan, dan tentu mereka harus mengerti tentang seni sastra itu sendiri.
Selain diperlukan tambahan porsi jam pelajaran sastra di sekolah, yang lebih ekstrem, Helvy mengajak setiap guru mata pelajaran untuk menyukai sastra. Karena menurutnya, seorang anak yang tidak suka mata pelajaran matematika misalnya, mungkin akan lebih tertarik dengan matematika jika guru mata pelajaran matematikanya mengajarkan rumus-rumus dengan menggunakan puisi. Atau mungkin mata pelajaran geografi bisa menjadi menarik dan mudah diingat jika guru mata pelajaran geografi mengajarkan tentang sungai-sungai di Indonesia melalui cerpen Gerson Poyk.
Baginya seni sastra itu lintas ilmu dan bisa masuk di mana saja. Helvy sendiri sebagai dosen mempunyai cara-cara tersendiri dalam mengajar. Baginya mengajar merupakan hobi. Sama seperti menulis, dalam mengajar juga dibutuhkan rasa empati yang tinggi, jika menulis helvy selalu menjadikan dirinya seorang penulis sekaligus pembaca, dalam mengajar dirinya juga selalu menempatkan diri sebagai orang yang diajar. Hal tersebut terbukti, dalam mengajar Helvy selalu berusaha menganggap mahasiswanya sebagai sahabat, sehingga tidak ada jarak antara keduanya, dan pelajaran sastra dapat diterima dengan ikhlas.
Helvy juga kerap mendorong mahasiswanya agar senang membaca, menulis, dan berkarya, sambil terus memotivasi dan mengajak mereka ke dalam sastra. Usaha Helvy Tiana Rosa untuk bekerja di ranah sastra kemudian mendapat apresiasi di masyarakat luas. Segudang penghargaan telah didapatnya, namun dirinya menyadari bahwa setiap penghargaan yang datang adalah amanah untuk terus melahirkan karya-karya baru. Baginya tidak ada kata berhenti untuk menulis, dan menulis adalah pekerjaan mulia, karena menulis adalah kegiatan menanamkan berlian di hati para pembaca.
Ditengah-tengah kesibukannya sebagai dosen dan penulis, Ternyata Helvy juga memiliki usaha bisnis lainnya. Ketika ditemui di rumahnya di kawasan Depok, Helvy bercerita kalau saat ini dirinya sedang menjalankan bisnis parfum bersama salah seorang rekan, tetangga, bahkan mahasiswanya. “Dulu Saya paling seneng sama aroma kertas buku-buku yang umurnya sudah puluhan tahun, Namun belakangan ini Saya malah jadi penjual parfum,” katanya sambil tertawa. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]