PERNAH mendengar kesenian bernama tari cokek? Tarian ini dikenal masyarakat Tionghoa peranakan di sekitar Jakarta dan Tangerang, Banten. Ia merupakan perpaduan unsur tari tradisional Tiongkok, Sunda-Betawi, dan pencak silat. Perpaduan pakem tersebut menghasilkan rangkaian koreografi tarian yang harmonis dan luwes. Gerakan tangan yang gemulai setinggi bahu dan pinggul yang bergoyang membuat para penari cokek terlihat begitu indah dan mempesona.
Dalam setiap perhelatan tari cokek, para penari biasanya akan mengajak para tamu untuk ikut menari bersama. Caranya cukup unik. Para penari akan mengalungkan selendang yang mereka kenakan ke leher para tamu. Biasanya tamu yang dianggap terhormat akan diajak menari bersama terlebih dahulu.
Dalam tari cokek, dikenal istilah ngibing. Bila tamu yang diserahi selendang oleh penari bersedia ikut menari bersama maka gerakan menari bersama itulah yang disebut ngibing. Inilah yang kerap dipandang negatif oleh banyak orang terhadap tari cokek di masa lalu.
Tari cokek mulai berkembang pada abad ke-19. Namun, sebelumnya tarian ini lebih dulu dikenal dengan sebutan tari sipatmo. “Tari sipatmo awalnya khusus ditampilkan dalam upacara keluarga Cina di klenteng atau vihara,” catat Rachmat Ruchiat dalam “Tari Sipatmo yang Pernah Jaya”, termuat di buku Telisik Tari DKJ: Tari Betawi Topeng & Cokek.
Tari sipatmo dibawakan tujuh penari perempuan berkostum sederhana. Semua penari mengenakan baju kurung longgar yang menutup seluruh pergelangan tangan dan menjuntai hingga lutut. Sebuah selendang diikat pada bagian pinggang.
Karena kental pengaruh Tionghoa, tari sipatmo memiliki gerakan mirip tari Tionghoa bernama tage. Menurut Clarissa Amelinda dalam penelitian berjudul “Eksistensi Tari Cokek sebagai Hasil Akulturasi Budaya Tionghoa dengan Budaya Betawi”, secara harfiah tage berarti menghentakkan kaki sambil bernyanyi. Tari ini merupakan tari tradisional Tiongkok dari zaman Dinasti Han.
“Tari ini adalah tari hiburan yang di tarikan secara berkelompok oleh para pekerja untuk menghilang kan rasa letihnya,” sebut Amelinda.
Gerakan dasar tari tage berupa melenturkan bahu sambil menggerakkan tangan mendekati dagu, berputar, lalu mengendurkan lutut, dan menggoyangkan pinggang serta pinggul. Mirip dengan sipatmo. Tapi tage lebih gemulai dan halus. Sedangkan sipatmo lebih dinamis dan energik.
Tari sipatmo kemudian berkembang keluar dari klenteng dan vihara. Tari ini dipertunjukan dalam pesta pernikahan dan tahun baru orang-orang “Cina Benteng” di Tangerang, Banten.
Menurut Rachmat Ruchiat, tari sipatmo tak terpisahkan dari orkes gambang kromong, yang terdiri dari konghyan, tehyan, sukong, gambang, kromong, kecrek, gendang, dan gong. Rombongan orkes gambang kromong biasanya dimiliki “cukong-cukong” Tionghoa peranakan.
“Di samping dimainkan secara instrumental, orkes gambang kromong biasa digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian yang dilakukan oleh penyanyi merangkap penari wanita, yang biasa disebut cokek,” sebut Ruchiat.
Cokek berasal dari bahasa Hokkian, chniou-kek. Artinya menyanyikan lagu. Sebab, cokek bukanlah tari yang bisa berdiri sendiri. Cokek merupakan sebutan bagi penyanyi yang mengiringi alunan gambang kromong sambil menari. Mereka lebih dikenal dengan sebutan wayang cokek.
Ada juga pendapat bahwa cokek berasal dari nama orang yang memperkenalkannya, yakni Tan Sio Kek, seorang tuan tanah Tionghoa di Tangerang. Dalam suatu pesta, dia menghadirkan tiga penari yang mengikuti alunan musik yang dimainkan para musisi gambang kromong. Para penari itu kemudian mendapat julukan cokek. Sejak itu masyarakat mengenal istilah tari cokek.
Sementara tari sipatmo hampir tak pernah ditampilkan lagi sejak 1950-an, tari cokek berkembang dan diminati orang.
Tari cokek berkembang menjadi tari pergaulan yang berfungsi sebagai hiburan. Dalam pertunjukan, wayang cokek mengenakan baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutera berwarna cerah dan mencolok akan menghiasi tubuh penari cokek. Kain warna yang serasi juga menghiasi bagian celana para penari cokek. Selendang panjang kain terikat pada bagian pinggang para penari dan dibiarkan terurai. Tata busana ini membuat para penari terlihat gemulai saat membawakan tari cokek. Rambut wayang cokek biasanya disanggul kecil dan menggunakan aksesoris kepala berupa kembang goyang dan burung hong.
Wayang cokek akan menyanyikan lagu-lagu yang diminta para tamu. Lagu-lagu yang dinyanyikan bukan hanya berbahasa Betawi tapi juga Hokkian. Sebut saja lagu Jali-jali, Lenggang Kangkung, Matojin (Pendeta Wanita), Lui Kong (Dewa Halilintar), dan sebagainya. Di tengah pertunjukan wayang cokek akan mengajak tamu untuk menari bersama (ngibing) dengan menggunakan cukin (selendang).
Menurut Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, tarian cokek berpasangan menampilkan gerak-gerak lucu; saling memegang dagu, memegang telinga, memegang bahu, dan menunjuk hidung. Gerak-gerak humor tersebut dilakukan sambil goyang pinggul secara bergantian dan menurun berangsur-angsur hingga mendekati tanah. Susunan geraknya adalah lenggang, mincid, obah taktak, baplang, kedet dan goyang pinggul serta cindek.
“Walaupun tarian itu sebenarnya berasal dari tarian Cina, namun tampak banyak dipengaruhi gerak tari Sunda,” tulis Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage.
Baca juga: Tari Yapong
Goyang pinggul dan saweran erotis hingga keintiman penari dan tamu setelah pertunjukan memunculkan penilaian negatif terhadap tari cokek. Namun perubahan kemudian dilakukan. Para seniman Betawi berupaya merekonstruksi tari cokek menjadi tari tradisi yang adiluhung. Muncul pula sanggar-sanggar yang mengkreasikan tari cokek.
Perubahan terjadi pada kostum, instrumen, dan gerakan tariannya. Baju kurung dan celana sutera digantikan dengan kebaya modern. Tatanan rambut penarinya dibiarkan terurai, tak seperti sebelumnya yang selalu diikat atau dikonde. Gambang kromong mendapat tambahan instrumen musik modern seperti keyboard, bass, dan gitar. Penambahan ini, ujar Amelinda, “membuat gerak tari ini lebih cepat dan dinamis dibandingkan gerakan yang terdahulu.”
Pemerintah juga mulai menampilkan tari cokek pada acara-acara promosi pariwisata Betawi. Bahkan tari cokek dijadikan tarian penyambutan tamu dan mengisi acara-acara di Tangerang. Biasanya memanggil cokek dari sanggar-sanggar tari.
Semua itu dilakukan demi menjaga warisan budaya ini tak punah dimakan zaman.*