Solo merupakan salah satu sentra batik di Pulau Jawa. Dan, berbicara tentang batik di Solo tidak akan terlepas dari kampung yang satu ini. Namanya Kampoeng Batik Laweyan.
Walau disematkan “kampoeng”, Laweyan sesungguhnya merupakan sebuah kecamatan yang terletak di barat Kota Solo. Penyematan “kampoeng batik” pada kawasan ini tidak terlepas dari profesi yang dijalani mayoritas penduduk di sini serta sejarah kerajinan batik di kawasan ini.
Penduduk kawasan ini sudah berprofesi di bidang kain sejak abad 14. Saat itu, penduduk kawasan ini terkenal sebagai penghasil kain yang berkualitas (dibuat dengan cara tradisional). Dan karena itu pula, nama “laweyan” diberikan kepada daerah ini. Dalam bahasa Jawa, “lawe” berarti benang.
Kemampuan membuat batik baru dikenal penduduk Laweyan sekitar abad 16, tepatnya tahun 1546. Tehnik membuat batik diperkenalkan oleh Kyai Ageng Henis, yang merupakan keturunan Brawijaya V. Makam Kyai Ageng Henis berada di kawasan Kampoeng Batik Laweyan.
Turun-temurun menekuni profesi sebagai perajin batik, masa kejayaan masyarakat Laweyan baru diperoleh pada awal abad 20. Saat itu, tepatnya tahun 1911, seorang pebisnis yang bernama Samanhudi memperkenalkan tehnik baru dalam membuat batik. Tehnik ini dikenal dengan nama tehnik cap.
Dengan diperkenalkannya tehnik ini, proses pembuatan batik menjadi lebih cepat. Industri batik di Laweyan pun meningkat dengan pesat. Masa ini juga dikenal sebagai masa kejayaan para perajin batik di Laweyan.
Sampai kemudian, mulai tahun 1970-an, masuklah batik printing. Dengan harga yang jauh lebih murah dan proses produksi yang jauh lebih cepat, kehadiran batik printing sangat mengganggu industri batik tradisional, termasuk di Laweyan. Titik terendah terjadi pada akhir tahun 2000. Jumlah perajin batik di Laweyan yang tersisa hanya berjumlah 16.
Kebangkitan kembali Laweyan sebagai sentra industri batik dimulai pada 25 September 2004. Pada hari itu, para tokoh di kawasan ini berkumpul untuk membahas masa depan industri batik di Laweyan. Pertemuan tersebut lalu menghasilkan terbentuknya Forum Pengembang Kampoeng Batik Laweyan.
Mulai saat itu, kegiatan usaha di Laweyan pun mengalami perubahan. Mereka mengubah cara berjualan. Kawasan Laweyan berubah menjadi kawasan wisata. Rumah-rumah yang tadinya hanya membuat batik untuk kemudian dijual di tempat lain diubah menjadi galeri kecil. Tidak hanya memproduksi, rumah-rumah perajin juga menjadi gerai menjual produk-produk mereka.
Tamu-tamu yang datang pun akan merasakan pengalaman yang berbeda. Mereka tidak hanya membeli produk, tapi juga dapat melihat proses pengerjaan bahkan ikut terlibat dalam proses tersebut. Laweyan pun berubah dari kampung pembuat batik menjadi kampung wisata batik. Perubahan status Laweyan sebagai kawasan wisata pun didukung dengan penetapan Laweyan sebagai kawasan cagar budaya. Penetapan ini dikarenakan ada banyak bangunan kuno yang masih berdiri di kawasan ini.
Perubahan tersebut pun berdampak positif. Industri batik di Laweyan kembali tumbuh. Pada awal tahun 2013, tercatat sekitar 90 UKM batik yang ada di Laweyan.
Selain itu, para perajin di Laweyan pun melakukan berbagai kreasi dalam produknya. Mereka menciptakan motif-motif baru yang menyesuaikan perkembangan keinginan pasar. Sehingga, setiap kali berkunjung ke kawasan ini, dapat ditemukan kreasi baru.
Karenanya, jika Anda berkunjung ke Solo, jangan lupa untuk mampir ke Kampoeng Batik Laweyan. Di sini, Anda tidak hanya dapat melihat proses pembuatan batik sebagai salah satu nilai budaya yang diturunkan oleh para leluhur, tapi juga usaha sekelompok masyarakat untuk tetap mempertahankan kebudayaan leluhur dari gempuran asing.