“Reogke” secara etimologi merujuk pada reog, yaitu kesenian topeng harimau yang erat hubungannya dengan masyarakat Ponorogo. Sementara, “ke” pada “reogke” lebih mengidentifikasikan sang pencipta kesenian reog, yakni Ki Ageng Kutu. Reogke merupakan bentuk lain dari kesenian reog. Kesenian ini merupakan pertunjukan tari kreasi. Dalam tari reogke, sosok Ki Ageng Kutu dihadirkan dalam pementasan menjelma menjadi Bujanganong.
Sebagai kesenian rakyat, reog tercipta sebagai media untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintahan Majapahit yang saat itu dipimpin oleh Bre Kertabumi. Kesenian ini tercipta berkat kepekaan Ki Ageng Kutu menangkap gejala yang terjadi di dalam istana. Saat itu, Bre Kertabumi yang bijaksana telah dikendalikan oleh permaisurinya yang berasal dari Kerajaan Campa.
Gerak dalam tari reogke merupakan perwujudan dari cara Permaisuri mengendalikan kekuasaan Raja Bre Kertabumi. Misalnya gerak yang menggambarkan gemuruh keagungan genderang perang pasukan Majapahit yang kemudian berubah menjadi pasukan yang lemah gemulai. Gerak tersebut menunjukkan Permaisuri yang berasal dari Kerajaan Campa bak candu, yang memabukkan sang raja dan pasukannya padahal dulu mereka dikenal gagah berani.
Kehadiran topeng dadak merak dalam tari reogke semakin menunjukkan keterkaitan tari kreasi ini dengan kesenian reog. Dadak merak diwujudkan dengan kepala harimau yang di atas kepalanya bertengger burung merak. Topeng ini lagi-lagi mengkritik Bre Kertabumi sebagai raja dengan pasukannya yang tidak berdaya. Sementara, para pria berias layaknya wanita sambil mengayuh kuda lumping bak pasukan yang telah loyo. Pada saat itulah, muncul Bujanganong sebagai perwujudan dari Ki Ageng Kutu. Gerak-geriknya luwes, dinamis, dan atraktif, sambil sesekali seolah menertawakan yang sedang terjadi di istana.
Dilihat dari kostum yang dikenakan, penari reogke mengenakan baju yang tidak jauh berbeda dengan para pemain reog. Hanya saja, pada tari reogke ditambahkan beberapa aksesori sehingga terlihat lebih berwarna dan menarik.
Topeng dadak merak yang digunakan pun tidak sebesar yang digunakan dalam pertunjukan reog. Hal ini dengan pertimbangan agar penari bisa bergerak lebih luwes dan dinamis. Sementara, musik yang mengiringi pementasan tari kreasi ini bersumber dari perpaduan suara alat musik tradisional, seperti kendang, gong, dan angklung paglak.
Seperti halnya kesenian reog, tari reogke membawa pesan satir yang menunjukkan akibat dari pemerintahan yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Tidak hanya pada masa Majapahit, konteks tersebut pun masih relevan dengan keadaan pada masa modern. Kesemenaan pemerintah membuat kehidupan masyarakat menjadi tersiksa.