Selain tor-tor yang sudah mendunia, suku Batak Karo, salah satu suku terbesar di Indonesia yang dikenal akan kelestarian budayanya, juga memiliki tarian unik bernama tari piso surit. Meski namanya mengandung kata “piso” atau pisau, tarian ini justru terinspirasi dari kicauan merdu burung pincala yang menggambarkan penantian seorang gadis akan kekasihnya.
Namanya merujuk pada kicauan burung pincala (burung dengan ekor panjang, bersuara nyaring dan merdu) yang terdengar seperti mengatakan kata “piso surit” berulang-ulang.
Asal-Usul Tari Piso Surit
Tari piso surit adalah wujud pengembangan dari sebuah lagu berjudul sama yang dibuat oleh komponis berdarah Batak Karo, Djaga Sembiring Depari, sekitar tahun 1960. Ia terinspirasi dari kicauan burung pincala yang terdengar seperti mengatakan “piso surit” berulang kali.
Tari piso surit adalah wujud pengembangan dari sebuah lagu berjudul sama yang dibuat oleh komponis berdarah Batak Karo, Djaga Sembiring Depari, sekitar tahun 1960.
Lagu ini menceritakan kisah asmara antara pemuda dan pemudi Karo saat masa penjajahan di mana sang pemudi menanti dan meratapi kepulangan kekasihnya. Ia mendengar burung pincala berkicau, suaranya berulang-ulang dan terdengar menyedihkan, seperti sedang memanggil-manggil pasangannya–sama seperti dirinya yang menanti sang kekasih. Pemudi pun bercerita tentang kekasihnya yang telah lama pergi dan tak kunjung pulang maupun memberi kabar. Sehingga ia merasa menunggu sendirian dan ingin menyerah saja.
Popularitas lagu yang berkembang di tengah rakyat Batak Karo ini membuatnya sering diperdengarkan pada acara-acara adat. Barulah kemudian diciptakan gerak-gerak tari untuk melengkapi keindahan lirik lagu Piso Surit yang memiliki arti mendalam.
Piso Surit, Piso Surit
(Burung Piso Surit)
Terdilo-dilo, terpingko-pingko
(Memanggil-manggil, bercuit-cuit)
Lalap la jumpa ras atena ngena
(Namun tak kunjung berjumpa dengan kekasih hatinya)
Ija kel kena, tengahna gundari?
(Dimanakah dirimu saat ini?)
Siangna me enda turang atena wari
(Hari pun menjelang senja)
Entabeh naringe mata kena tertunduh
(Lelap sekali sepertinya tidurmu)
Kami nimaisa turang tangis teriluh
(Sementara aku di sini menangis menunggu)
Engo engo me dagena
(Sudahlah, pulanglah saja kau adik)
Mulih me gelah kena
(Tidak usah mengharapkanku)
Bage me nindu rupa ari o turang
(Demikianlah yang selalu engkau ucapkan)
Tengah kesain, keri lengetna
(Di tengah beranda desa, sunyi senyap)
Rembang mekapal turang seh kel bergehna
(Embun yang tebal menambah dinginnya)
Tekuak manuk ibabo geligar
(Ayam berkokok di atas atap)
Enggo me selpat turang kite-kite kulepar
(Terputuslah sudah titian penghubung)
Piso Surit Piso Surit
(Burung Piso Surit)
Terdilo-dilo terpingko-pingko
(Memanggil-manggil, bercuit-cuit)
Lalap la jumpa ras atena ngena
(Namun tak kunjung berjumpa dengan kekasih hatinya)
Engo engo me dagena
(Sudahlah, pulanglah saja kau adik)
Mulih me gelah kena
(Tidak usah mengharapkanku)
Bage me nindu rupa agi kakana
(Ku harapkan demikian kau berkata)
Gerakan dalam Tari Piso Surit
Seperti liriknya yang sendu, gerakan dalam tari piso surit juga dibuat lemah gemulai. Para penari biasanya tampil berkelompok, berpasangan-pasangan (ada juga yang menampilkan wanita saja, meski jarang). Dalam satu grup sering kali terdapat lima pasang lelaki dan perempuan yang menggunakan busana adat lengkap–biasanya berwarna merah dan emas–sambil membawa kain uis khas Karo.
Gerakannya mengingatkan pada keanggunan dan kelembutan burung pincala yang menjadi sumber inspirasi. Penari akan melakukan gerakan kaki menjinjit, berputar, melentikkan jari, dan berjalan kecil sambil bergerak naik-turun mengikuti irama lagu. Penari yang sudah berpengalaman juga menambahkan unsur ekspresi, untuk menggambarkan emosi yang terkandung dalam lirik lagu dengan indah.
Gerakan koordinasi kelompok menjadi bagian penting dalam tari piso surit. Setiap penari memiliki peran dan gerakan serasi dengan pasangannya. Posisi mereka berseberangan dengan pasangan, sesekali berputar atau berdiri bersebelahan sehingga menciptakan harmoni visual yang indah. Diiringi alunan musik tradisional dari gong, kecapi, dan gendang khas Karo, irama lagunya memiliki tempo lambat, sesuai dengan gerakan tari yang gemulai.