SADEWA terikat di tengah hutan dan akan dijadikan korban persembahan Rangda oleh ibunya, Dewi Kunti yang kemasukan roh jahat. Namun Dewa Siwa turun dan menganugerahkan keabadian.
Maka, Rangda pun tak bisa membunuhnya. Rangda bahkan menyerah dan mohon agar dibebaskan dari kutukan sehingga dapat masuk surga. Permintaan ini dipenuhi oleh Sadewa. Rangda pun mengalami moksa.
Seorang pengikut Rangda bernama Kalika menghadap Sadewa dan mohon untuk diselamatkan juga. Permohonan itu ditolak. Terjadilah pertarungan sengit. Untuk mengimbangi Sadewa, Kalika menjelma menjadi Rangda. Sementara Sadewa mengubah wujud menjadi Barong. Keduanya memiliki kekuatan berimbang, sehingga tidak dapat saling mengalahkan.
Lalu muncullah para pengikut Sadewa (Barong) yang bersenjatakan keris. Tapi satu per satu bisa dikalahkan Rangda. Bahkan mereka disihir sehingga menyerang diri sendiri. Atas kehendak Sang Maha Kuasa, para pengikut Barong diberi kekuatan sehingga kebal.
Tari Barong Rangda, Menghantar Khalayak Awam Memahami Rwa Bhineda
Demikian atraksi tari barong kunti sraya atau juga dikenal sebagai tari barong dan keris, sebuah seni pertunjukan yang diminati turis domestik maupun mancanegara di Bali.
“Drama tari barong kunti sraya di kalangan para wisatawan mancanegara diperkenalkan sebagai barong and kris dance, karena pertunjukan ini diakhiri dengan adegan para pemain keris yang menusuk-nusuk dada mereka sebagai akibat kibasan kain putih yang dilakukan oleh Rangda,” tulis Sudarsono dalam Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.
Barong menempati posisi istimewa dalam masyarakat Bali. Menurut Anak Agung Gde Putra Agung dalam Beberapa Tari Upacara dalam Masyarakat Bali, ada pendapat bahwa nama barong berasal dari kata Jawa kuno bharwang yang berarti beruang. Pendapat lain lebih menitikberatkan pada kedudukan barong sebagai binatang mitologi, perwujudan dari binatang ajaib, binatang suci.
“Dari asal-usul barong itu sendiri kita jumpai banyak kaitannya dengan unsur kepercayaan, sehingga akhirnya barong menduduki tempat yang penting dalam masyarakat, terutama barong sebagai tari upacara,” sebut Anak Agung Gde Putra Agung.
Tari barong merupakan tari sakral yang dipentaskan hanya untuk upacara ritual. Dalam perkembangannya, tari barong dikemas menjadi sajian bagi wisatawan dengan lakon yang berbeda. Salah satunya tari barong dan keris.
Tari barong dan keris berakar dari drama tari calonarang. Drama tari ini mengisahkan kemurkaan Calon Arang, seorang janda sakti dari Dirah, lantaran tak ada yang mau meminang anak gadisnya yang cantik. Ia beralih rupa menjadi Rangda dan menyebarkan wabah penyakit. Untuk menghentikannya, Raja Airlangga meminta bantuan Mpu Bharada, yang kemudian mengambil wujud Barong dan mengalahkan Calon Arang.
Dramatari calonarang tergolong kesenian untuk kepentingan ritual yang sakral (wali). Tidak setiap saat dipentaskan. Biasanya saat-saat tertentu saja sebagai sarana bersih desa. Pementasan lazimnya berlangsung petang hingga melewati dini hari. Michel Picard dalam “Cultural Tourism” in Bali: Cultural Performances as Tourist Attraction di jurnal Indonesia No. 49, April 1990, mengulas bagaimana dramatari ini menginspirasi lahirnya tari barong dan keris.
Dramatari calonarang menarik perhatian turis asing. Ia pernah dipentaskan dalam Pameran Kolonial 1931 di Paris oleh penari-penari dari Singapadu. Beberapa peneliti asing juga mendokumentasikan pertunjukan barong dari banjar Denjalan, Pagutan, dan Tegaltamu di Desa Batubulan, dekat Desa Singapadu.
Pada 1936, rombongan Denjalan dan Pagutan mulai menggelar pertunjukan Calonarang secara komersial untuk menghormati pengunjung. Pada tahun yang sama, para penari dari Singapadu juga mengadakan pertunjukan komersial sendiri.
“Maka sebuah tontonan baru diciptakan oleh penari kondang I Made Kredek, berdasarkan kisah pengusiran setan dari Sudamala, yang lebih dikenal di Bali sebagai Kuntisraya. Dengan memotong dialog seminimal mungkin dan menambahkan beberapa humor slapstick, tontonan ini dinamakan Barong and Kris Dance,” jelas Picard.
Tarian ini diciptakan I Made Kredek dari Singapadu tahun 1948 dengan mengambil lakon Kunti Sraya dalam episode epik Mahabharata. Pertunjukan dikemas menjadi satu jam, dengan menggunakan topeng-topeng yang tidak disakralkan. Pertunjukan diiringi gamelan Babarongan. Inovasi I Made Kredek segera ditiru kelompok-kelompok barong dari Batubulan.
Seperti tari barong umumnya, tari barong keris mengisahkan perseteruan abadi antara Barong sebagai simbol kebaikan dan Rangda yang memanifestasikan keburukan. Keduanya terlibat pertarungan imbang yang tak berkesudahan, satu sama lain tak dapat saling menjatuhkan. Maknanya, kebaikan dan keburukan akan selalu hadir berdampingan dan saling menyeimbangkan.
Namun menurut Michel Picard, konflik antara baik dan buruk agaknya meminjam kerangka acuan dari Barat. Orang Bali sendiri melihatnya sebagai masalah “kesaktian”, yaitu pertentangan antara dua unsur sepadan, sesuai dengan ajaran Tantra, yang mencoba membuka hubungan dengan dunia gaib yang menakutkan tapi bersegi dua.
“Kehidupan dan kesejahteraan orang Bali memang ditentukan oleh pengaruh kekuatan gaib, yang dapat dipanggil untuk diminta pertolongan atau sebaliknya diusir melalui ritus-ritus tertentu,” tulis Picard.
Tari barong dan keris tergolong tari balih-balihan, bukan tari yang disakralkan atau dilakukan dalam upacara adat tertentu. Kendati demikian, hal-hal magis dan gaib tetap dipergunakan guna mendukung pertunjukkan tari ini.
Tari barong keris mengemas cerita dalam lima babak. Yang menarik dan ditunggu-tunggu tentu saja bagian penutupnya, yakni atraksi mendebarkan dari para penari yang menunjukkan kekebalan tubuh terhadap tusukan keris.
Tari ini ditampilkan secara reguler di Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.*