Sebagai daerah yang masyarakatnya sangat menjunjung tinggi budaya Hindu, Bali memiliki banyak pura dengan kekhasan masing-masing. Tak sedikit dari pura-pura ini yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat peribadatan, tetapi juga menjadi daya tarik wisata. Salah satunya adalah Pura Taman Ayun—sebuah kompleks suci yang terletak di Desa Mengwi, Kabupaten Badung. Pura ini dikenal dengan keindahan deretan meru bertingkat yang berdiri megah, dan dari kejauhan tampak seolah mengapung di atas kolam yang mengelilinginya.
Secara historis, Pura Taman Ayun merupakan pura ibu (paibon) bagi Kerajaan Mengwi. Bangunan ini didirikan oleh Raja Mengwi, I Gusti Agung Putu atau Cokorda Sakti Blambangan (1690–1722 M), pada tahun 1634 Saka atau sekitar 1710 Masehi. Namun, pada 21 Januari 1917, pura ini sempat hancur akibat gempa bumi dahsyat berkekuatan 7 skala Richter. Sejak itu, Pura Taman Ayun telah mengalami dua kali pemugaran besar: pertama pada tahun 1937 secara menyeluruh, dan kedua pada tahun 1949 yang difokuskan pada perbaikan candi bentar serta kori agung.
Bangunan ini didirikan oleh Raja Mengwi, I Gusti Agung Putu, pada tahun 1634 Saka atau sekitar 1710 Masehi.
Pura Taman Ayun berdiri di atas lahan seluas 250 x 100 meter dan dikelilingi oleh parit selebar sekitar 10 meter di sisi selatan, serta 50 hingga 70 meter di sisi barat dan timur. Area ini menciptakan kesan seolah kompleks pura mengapung di atas air, menambah keanggunan arsitekturnya.
Saat berkunjung ke pura yang berjarak sekitar 18 kilometer dari Kota Denpasar ini, pengunjung akan disambut oleh sebuah gerbang dan jembatan yang menghubungkan ke halaman luar pura. Di sisi kanan gerbang, terdapat wantilan yang menampilkan diorama masyarakat sedang menyabung ayam, sebuah pura kecil bernama Pura Luhuring Purnama, serta bangunan bale pengubengan yang dihiasi relief sembilan dewa penjaga mata angin atau Dewata Nawa Sanga.
Bagian terdalam dari pura, yakni halaman dalam yang merupakan area paling suci, khusus diperuntukkan bagi kegiatan peribadahan dan tidak dibuka untuk umum.
Memasuki halaman tengah, pengunjung akan menjumpai balai kulkul yang menjulang tinggi di sisi kiri. Dari titik ini, keindahan keseluruhan kompleks pura dapat terlihat dengan jelas. Namun, akses pengunjung hanya dibatasi hingga halaman tengah. Bagian terdalam dari pura, yakni halaman dalam yang merupakan area paling suci, khusus diperuntukkan bagi kegiatan peribadahan dan tidak dibuka untuk umum.
Pintu gelung yang menjadi gerbang utama menuju halaman dalam pura hanya dibuka saat upacara-upacara khusus berlangsung. Meski demikian, pengunjung tetap dapat melihat lebih dekat area suci tersebut melalui jalan setapak yang mengelilingi tembok pembatas halaman dalam. Dari jalur ini, tampak sejumlah bangunan beratap bertingkat (meru) yang berdiri di halaman dalam, melambangkan Gunung Mahameru yang dikelilingi lautan susu—di mana lautan tersebut disimbolkan oleh parit yang mengelilingi pura.
Kehadiran deretan meru bertingkat menjadi ciri khas utama dari Pura Taman Ayun.
Kehadiran deretan meru bertingkat menjadi ciri khas utama dari Pura Taman Ayun. Di antara bangunan tersebut, terdapat empat meru bertumpang sebelas, dua bertumpang sembilan, serta masing-masing satu meru bertumpang tujuh, lima, tiga, dan dua. Susunan bertingkat ini tidak hanya menambah keindahan visual, tetapi juga sarat makna spiritual.
Selain deretan meru, kompleks pura ini juga dilengkapi beberapa candi dan gedong. Masing-masing bangunan menyimpan pelinggih yang menjadi tempat pemujaan terhadap arwah leluhur maupun manifestasi dewa-dewi dalam ajaran Hindu. Konon, rancangan arsitektur pura ini dibuat oleh seorang arsitek dari Tiongkok, menambah kekayaan nilai budaya dalam wujud bangunannya.