PURA Batu Bolong namanya. Pura kecil ini berada di bibir Pantai Senggigi, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sesuai namanya, pura ini berdiri kokoh di atas batu karang yang memiliki lubang ditengahnya. Sungguh sebuah keagungan: pura di tengah keindahan Pantai Senggigi.
Berkunjung ke pura ini, kita seperti disambut buih-buih ombak yang tenang dan bersahabat. Seketika kedamaian dan kenyamanan seperti merangkul saat berada di area sekitar Pura Batu Bolong. Dari pura ini, kita juga bisa melihat keindahan Pantai Senggigi yang menjadi salah satu objek wisata favorit di kawasan Lombok.
Pantai Senggigi terletak di Kecamatan Batu Layar, sekira 10 kilometer ke utara Ampenan, Kota Mataram. Pantai ini menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan. Keindahannya bisa disejajarkan dengan pantai-pantai ternama di Pulau Bali. Gradasi pasir pantai, kejernihan air laut, serta ombak yang tidak terlalu besar, menjadi nilai lebih Senggigi.
“Titik yang paling menarik dari area ini adalah Pura Batu Bolong yang merupakan tempat peribadatan pemeluk agama Hindu,” tulis Yusak Anshori dan Adi Kusrianto dalam Jalan-jalan: Lombok, Enaknya Ke Mana?.
Sebagian besar penduduk Lombok memang memeluk agama Islam. Namun, karena keterkaitan sejarah dengan Pulau Bali, masih banyak penduduk Lombok yang memeluk agama Hindu. Sejarah Hindu di Lombok tak bisa dilepaskan dari arus kedatangan orang-orang Bali, terutama Danghyang Nirartha atau dikenal juga dengan sebutan Danghyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wau Rauh.
Naskah kuno Bali Dwijendra Tattwa, sebagaimana dikaji I.B.G. Agastia, menyebut Nirartha adalah putra Dang Hyang Asmaranatha yang menjadi purohita (pendeta kerajaan) Majapahit. Dia diangkat sebagai padiksyan (pendeta kerajaan) Gelgel, membawa kerajaan menuju kemakmuran, dan menata kehidupan keagamaan. Dwijendra Tattwa juga mengisahkan perjalanan Nirartha dan aktivitas kerohanian di Lombok dan Sumbawa.
Menurut Wayan Suyadnya dalam Tradisi Bali Lombok: Sebuah Catatan Budaya, Pedanda Sakti Wau Rauh yang di Lombok dikenal sebagai Pangeran Sangupati datang sebagai utusan Gelgel. Kedatangannya disertai sejumlah pengikut setia, yang beberapa di antaranya menetap di Lombok.
“Di daerah ini, Pedanda Sakti Wau Rauh banyak meninggalkan/membangun tempat suci seperti Pura Suranadi, Pura Batu Bolong dan pura-pura lainnya,” ungkap Wayan Suyadnya.
Sama seperti pura-pura di Pulau Dewata Bali, selama berada di dalam Pura Batu Bolong pengunjung wajib menjaga kesopanan. Selain itu, para pengunjung wajib menggunakan kain berwarna kuning yang dikenakan di pinggang selama memasuki area pura.
Untuk memasuki pura yang berhadapan langsung dengan Selat Lombok dan Gunung Agung Bali ini, Anda terlebih dahulu berjalan menuruni anak tangga. Anda akan menjumpai pura pertama yang berdiri di bawah pohon rindang. Sementara, pura kedua berdiri kokoh di atas karang yang menjulang setinggi sekitar 4 meter dan memiliki lubang di bawahnya.
Ada beberapa legenda yang tersebar di masyarakat sekitar mengenai pura ini. Legenda pertama menyebut pada zaman dahulu pura ini sering dijadikan tempat upacara pengorbanan. Seorang gadis perawan akan dipersembahkan kepada hiu sang penguasa lautan. Hal itu dilakukan demi menjaga ketenangan dan keselamatan masyarakat pesisir, serta menghindarkan mereka dari bencana laut. Sementara, legenda kedua menyebutkan pura ini sering dijadikan tempat menerjunkan diri wanita yang patah hati.
Terlepas dari legenda-legenda itu, Pura Batu Bolong merupakan objek wisata yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Jika berkunjung saat cuaca sedang cerah, Anda bisa melihat pemandangan Gunung Agung Bali yang menjulang tinggi. Pada waktu-waktu tertentu, Anda juga bisa melihat para pemancing tradisional sedang mencari ikan dengan cara menceburkan diri ke laut. Selain itu, melewati senja sambil memandang matahari terbenam di pura ini juga menjadi saat-saat paling menyenangkan.*