Setiap daerah memiliki hidangan ekstremnya sendiri, yang dianggap ganjil, aneh, atau bahkan menjijikkan oleh sebagian orang. Namun, terlepas dari penilaian tersebut, kuliner-kuliner ini tetap menjadi warisan budaya yang istimewa bagi masyarakatnya.
Beberapa hewan yang dianggap ekstrem untuk diolah menjadi makanan, seperti anjing dan kucing, masih dikonsumsi di negara-negara seperti Korea, Tiongkok, Vietnam, dan beberapa wilayah di Asia lainnya. Meski hanya sebagian kecil masyarakat di negara-negara tersebut yang mengonsumsinya, praktik ini tetap dianggap kontroversial dan bahkan dilarang hingga saat ini.
Di beberapa negara Eropa dan Asia, daging kuda diolah menjadi steak atau hidangan panggang. Sementara di Korea dan Jepang, daging kuda diolah menjadi sushi atau hidangan panggang.
Di belahan dunia lain, serangga seperti belalang, jangkrik, dan larva serangga dimakan sebagai sumber protein. Di Thailand, misalnya, belalang dimakan sebagai camilan. Sedangkan di beberapa komunitas di Asia, Afrika, dan Australia, daging ular biasa diolah dengan cara digoreng, direbus, atau dimasak dengan berbagai saus, sama seperti daging hewan lainnya.
Kelelawar, hewan ekstrem lain yang tak kalah menarik, diolah menjadi hidangan lezat dengan bumbu khas daerah setempat di beberapa negara Asia Tenggara. Di Indonesia, konsumsi daging kelelawar sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Minahasa. Dikenal dengan nama “paniki”, kelelawar diolah dengan bumbu tradisional khas dan menjadi kuliner favorit masyarakat Manado.
Kelelawar diolah dengan bumbu tradisional khas dan menjadi kuliner favorit masyarakat Manado.
Paniki, Hidangan Spesial bagi Suku Minahasa
Paniki atau kelelawar merupakan hidangan khas yang menjadi kebanggaan kuliner dari Manado, Sulawesi Utara. Paniki telah menjadi bagian dari warisan kuliner Manado selama berabad-abad. Kehadirannya tidak hanya sebagai hidangan lokal, tetapi juga mencerminkan warisan budaya dan tradisi kuliner yang khas.
Paniki dipercaya memiliki rasa unik yang disukai oleh penduduk setempat. Rasanya yang khas dan berbeda, saat dimasak dengan rempah-rempah khas Sulawesi Utara, menjadi daya tarik tersendiri bagi pencinta kuliner yang ingin mencoba hal baru.
Meski terdapat pandangan berbeda, sebagian orang meyakini bahwa daging kelelawar memiliki sejumlah manfaat dan nilai gizi tinggi. Manfaat yang paling populer adalah kandungan alaminya yang dipercaya ampuh untuk mengurangi dan mengobati masalah kulit akibat alergi.
Manfaat ini dapat dirasakan dengan mengonsumsi kelelawar liar, walau belum ada penelitian yang membuktikannya. Namun, banyak orang telah mengaku merasakan khasiatnya. Selain menyembuhkan gatal dan alergi pada kulit, daging kelelawar juga dipercaya mampu menyembuhkan penyakit asma dan sesak napas. Hal ini dikarenakan kandungan senyawa kitotefin dalam kelelawar yang mirip dengan obat asma yang digunakan dalam dunia medis.
Kandungan senyawa kitotefin dalam kelelawar mirip dengan obat asma yang digunakan dalam dunia medis.
Beberapa orang juga percaya bahwa daging kelelawar memiliki kandungan protein yang tinggi dan manfaat kesehatan tertentu. Daging kelelawar juga kaya akan Omega-3, yang diyakini dapat meningkatkan kecerdasan. Konon, daging kelelawar juga dapat membantu mengurangi penuaan dini. Keriput dan garis halus pada wajah dianggap dapat berkurang dengan mengonsumsinya.
Namun, hidangan paniki bukan hanya soal rasa atau nilai gizi, melainkan juga tentang identitas dan tradisi lokal. Di Manado, hidangan paniki menjadi bagian penting dari identitas kuliner mereka yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi.
Pengolahan Paniki Khas Manado
Para pedagang di pasar tradisional mengakui bahwa kebanyakan pembeli paniki adalah para pengusaha katering. Di satu lapak penjual paniki, terlihat lima hingga enam orang pengusaha katering yang berbelanja. Tak jarang pula, masyarakat perorangan membeli paniki, meskipun tidak dalam jumlah banyak. Kebanyakan dari mereka membeli paniki untuk dimasak sebagai hidangan spesial, seperti pada hari ulang tahun atau hari raya.
Pengolahan paniki membutuhkan teknik yang benar dan melalui beberapa tahap yang memakan waktu lama. Pertama, paniki harus dimasak dengan santan selama sekitar dua jam hingga santan kering dan meresap ke daging. Setelah dibersihkan dari bulu-bulunya, paniki kemudian dimasak dengan beragam bumbu, dengan bumbu utama kelapa atau santan, bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit, daun serai, jahe, dan lainnya. Ketika paniki dihidangkan, aroma masakan sudah sangat kuat tercium. Saat disantap, rasa pedas khas masakan dari Manado sangat dominan.
Pengolahan paniki membutuhkan teknin yang benar.
Berbagai olahan paniki biasanya dimasak ala rica-rica, woku, atau sup. Perpaduan bumbu-bumbunya menjadikan olahan kelelawar khas Minahasa ini begitu istimewa. Meski daging paniki tidak sebanyak ayam atau daging hidangan umum lainnya, proses menikmati bumbu-bumbu yang meresap di antara potongan dagingnya justru menjadi kenikmatan tersendiri bagi para penikmatnya.
Peredaran Paniki di Sulawesi Utara
Kelelawar atau paniki mudah ditemukan di Sulawesi Utara. Di Kota Manado, beberapa pasar sering dikunjungi masyarakat yang ingin membeli bahan untuk membuat olahan paniki adalah Pasar Bersehati, Pasar Beriman, dan Pasar Pinasungkulan.
Paniki, bahkan, menjadi salah satu alasan orang-orang memilih pasar tradisional sebagai tujuan wisata mereka. Selain untuk mendapatkan barang-barang yang lebih terjangkau, ada pula yang ingin melihat keunikan yang terdapat di pasar tradisional. Dewasa ini, pasar tradisional telah merambah dunia kepariwisataan. Tak hanya barang dagangan yang dijajakan, melainkan juga keunikan dan “keanehan” yang dipasarkan.
Namun, berbeda dengan pasar tradisional lainnya, Pasar Beriman menawarkan beberapa dagangan unik yang jarang ditemukan di tempat lain. Oleh wisatawan atau pengunjung baru, dagangan ini sering disebut sebagai kuliner ekstrem suku Minahasa.
Keberadaan kuliner ekstrem menjadi daya tarik tersendiri bagi Pasar Beriman Kota Tomohon. Cara tidak biasa memperdagangkan daging hewan di pasar tersebut membuat para pelancong atau wisatawan penasaran dan ingin mencobanya saat berkunjung ke Pasar Beriman.
Keberadaan kuliner ekstrem tersebut sering disebut-sebut sebagai daya tarik tersendiri untuk Pasar Beriman Kota Tomohon.
Pasar Pinasungkulan, surga bagi pecinta kuliner ekstrem, selalu ramai dikunjungi. Terletak di Karombasan, Manado, Sulawesi Utara, pasar ini menawarkan berbagai hewan eksotis seperti daging ular, babi hutan, anjing, dan bahkan kelelawar.
Perlu diingat bahwa kebiasaan dan preferensi kuliner berbeda-beda di berbagai budaya. Penikmat kuliner lokal umumnya memiliki preferensi rasa yang khas dan terbiasa dengan hidangan tradisional mereka yang menjadi bagian dari identitas dan warisan budayanya. Bagi masyarakat Manado, kelelawar atau paniki bukan sekadar hidangan, melainkan bagian penting dari identitas dan warisan budaya kuliner mereka.
Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut, Askhari Dg Massiki, menyebutkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah mengeluarkan kuota penangkapan satwa liar yang tidak dilindungi. Penentuan kuota tersebut juga melalui rekomendasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang telah mengkaji terlebih dahulu.
Pada tahun 2022, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara (Sulut) membatasi kuota penangkapan dan pemanfaatan kelelawar hitam maksimal 150 ekor per tahun. Sejak tahun 2021, BKSDA Sulut telah bekerja sama dengan Wildlife Conservation Society (WCS) dan Universitas Indonesia (UI) untuk meneliti dampak ekonomi perdagangan dan konsumsi satwa liar di Sulut. Tujuannya adalah untuk memberikan solusi alternatif ekonomi bagi masyarakat selain berdagang satwa liar.
Guna mencegah semakin masifnya perburuan liar, BKSDA Sulut juga mendorong masyarakat untuk membuat penangkaran sendiri jika masih ingin mengonsumsi kelelawar hitam. Masyarakat yang memiliki izin penangkaran diwajibkan untuk mengembalikan kelelawar hitam berusia dewasa ke alam bebas sebanyak 10% dari jumlah yang ada di penangkaran.