Kota Surakarta, yang lebih dikenal dengan Kota Solo, adalah salah satu kota yang kerap dituju wisatawan, baik lokal maupun internasional, kala musim liburan tiba. Bagaimana tidak? Di tengah kemajuan zaman, Solo masih memiliki wajah asli akar budayanya melalui Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang masih berjalan hingga hari ini. Dari waktu ke waktu, Solo telah berkembang pesat menjadi kota yang metropolis, tetapi mampu mempertahankan kearifan lokalnya.
Mengalami metamorfosa yang luar biasa, Solo bertransformasi menjadi pusat budaya modern yang kreatif. Kota Surakarta telah menjadi bukti nyata bahwa perkembangan dan kemajuan sebuah kota tidak harus mengabaikan nilai-nilai budaya dan keragaman. Dengan upaya yang gigih dan komitmen yang kuat, Kota Solo mampu menggabungkan kearifan lokal dengan inovasi modern, menciptakan Kota Budaya Modern Kreatif yang menjadi kebanggaan bagi seluruh warga Kota Surakarta.
Salah satu warisan nenek moyang yang masih bisa dinikmati hingga hari ini dari Kota Solo adalah kulinernya. Di tengah atmosfer kota yang masih kental akan suasana sejarah masa lalunya, deretan makanan khas Kota Solo seolah-olah juga terasa demikian. Kita masih bisa merasakan pengaruh budaya Eropa pada sajian selat, Tionghoa pada semangkuk Timlo, atau pertahanan hidup masyarakat Solo dari penjajahan Jepang melalui olahan tulang-belulang daging dan jeroan melalui sajian tengkleng.
Kita masih bisa merasakan pengaruh budaya Eropa pada sajian selat, Tionghoa pada semangkuk Timlo, atau pertahanan hidup masyarakat Solo dari penjajahan Jepang melalui olahan tulang-belulang daging dan jeroan melalui sajian tengkleng.
Namun, bicara tentang kuliner khas Solo, tentu kurang jika tidak membahas nasi liwet. Berbeda dengan sajian khas di atas, nasi liwet justru dikisahkan sebagai sajian murni masyarakat lokal.
Asal Usul Nasi Liwet Solo
Nasi liwet khas Kota Solo berbeda dengan nasi liwet yang berada di Jawa Barat maupun daerah lainnya. Nasi liwet Solo adalah nasi gurih yang dimasak dengan santan kelapa. Nasi tersebut disajikan dengan sayur labu siam yang dimasak sedikit pedas, telur pindang rebus, daging ayam opor yang disuwir, serta kumut atau areh alias kuah santan yang dikentalkan. Wadah nasi liwet ini cukup unik dengan menggunakan pincuk; alas atau wadah makan tradisional dari daun pisang.
Dalam buku “Kuliner Surakarta: Mencipta Rasa Penuh Nuansa” karya Murdijati Gardjito, Shinta Teviningrum dan Swastika Dewi, disebutkan bahwa nasi liwet sebetulnya bukan berasal dari kaum bangsawan atau keraton. Nasi liwet dibuat oleh masyarakat biasa yang tinggal di Desa Menuran, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo. Sekitar tahun 1934, masyarakat Menuran mulai mencoba menjual nasi liwet ke sekitar wilayah Solo atau Surakarta. Dari sinilah, nasi liwet mulai dikenal dan dikonsumsi oleh keluarga bangsawan dan Kasunanan.
Nasi liwet dibuat oleh masyarakat biasa yang tinggal di Desa Menuran, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo.
Sementara itu, menurut cerita dalam Serat Centhini (1814-1823), nasi liwet pertama kali disajikan saat Pulau Jawa dilanda gempa bumi. Berkaitan dengan tradisi masyarakat Jawa dalam menghadapi bencana, nasi liwet disuguhkan sambil mendoakan keselamatan.
Murdijati Gardjito, dalam buku bertajuk Makanan Tradisional Indonesia Seri 2 (2017) yang disusun bersama Umar Santoso dan Eni Harmayani, juga mengungkapkan, nasi liwet adalah simbol penolak bala ketika terjadi bencana. Nasi liwet dihadirkan dengan sebaris doa yang dilantunkan untuk keselamatan seluruh semesta dan harapan agar malapetaka tidak terulang lagi.
Ada pula cerita lain yang mengaitkan nasi liwet dengan upacara Sekaten selama bulan Maulid. Hal ini terinspirasi dari nasi samin, makanan favorit Nabi Muhammad SAW. Karena sulitnya mendapatkan nasi samin, orang Jawa menciptakan nasi liwet yang menyerupai nasi samin.
Sekaten diiringi dengan dua gunungan bernama Jaler dan Estri yang melambangkan pria dan wanita. Gunungan Jaler berisi hasil-hasil bumi seperti umbi-umbian, sayur, juga buah-buahan. Sementara itu, gunungan Estri terdiri dari makanan-makanan yang sudah diolah, salah satunya nasi liwet.
Tentang Nasi Liwet Bu Wongso Lemu
Nasi liwet Solo banyak ditawarkan di sejumlah pedagang di Kota Solo, seperti di daerah Keprabon, Kerten, Manyar, Solo Baru, atau Pasar Gede Solo. Salah satu nasi liwet legendaris di kota Solo adalah Nasi Liwet Bu Wongso Lemu; sebuah warung nasi liwet di Solo yang telah berdiri sejak tahun 1950-an.
Nasi liwet satu ini menjadi destinasi kuliner yang dicari oleh para wisatawan dari berbagai kota di luar Solo, termasuk pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat. Dikenal dengan rasa gurihnya yang khas, kedai ini terus memikat pelanggan sepanjang masa. Meski begitu, sejarah asal-usul Nasi Liwet Bu Wongso Lemu mungkin belum banyak diketahui orang.
Menurut Darsini, keturunan generasi keempat dari pemilik warung, pendiri pertama Nasi Liwet Bu Wongso Lemu bukanlah mbah Wongso, melainkan ibu Mbah Wongso yang bernama Karyo. Pada era 1950-an, ibu Karyo mulai menjajakan nasi liwet di pojokan dekat Jalan Slamet Riyadi, menggunakan tenggok yang terbuat dari bambu sebagai tempat berjualan.
Darsini juga menuturkan bahwa pada masa itu, Karyo harus naik becak dari rumahnya di Baki, Sukoharjo, untuk berjualan, dengan penerangan yang menggunakan lampu berbahan bakar minyak tanah. Setelah Karyo, warung nasi liwet kemudian diteruskan oleh mbah Wongso. Karena postur tubuhnya yang gemuk, Wongso dikenal dengan julukan “lemu”, yang dalam bahasa Jawa berarti gemuk.
Karena postur tubuhnya yang gemuk, Wongso dikenal dengan julukan “lemu”, yang dalam bahasa Jawa berarti gemuk.
Sejak saat itu, nasi liwet racikan Bu Wongso Lemu semakin populer. Warungnya terus berkembang hingga mampu membeli kedai dan menempati lokasi jualan sekarang ini. Meskipun sebelumnya ada empat cabang, kini hanya dua yang masih beroperasi di Keprabon sepanjang Jalan Teuku Umar, yang dijalankan oleh Darsini dan ibunya, Bu Suparmi.
Keberhasilan Nasi Liwet Bu Wongso Lemu dalam mempertahankan keaslian dan cita rasa autentiknya sejak puluhan tahun yang lalu membuktikan dedikasi mereka terhadap keunggulan dalam menyajikan makanan tradisional Jawa. Secara tidak langsung, warung nasi liwet ini menjadi bagian dari sejarah kuliner khas Solo dalam mengabadikan warisan kuliner yang lezat dan terus dicintai oleh banyak orang.
Dengan reputasi yang telah terjaga selama bertahun-tahun, Nasi Liwet Bu Wongso Lemu akan terus menjadi tujuan kuliner yang dicari oleh para pelancong dan pecinta kuliner dari berbagai penjuru Tanah Air. Nasi liwet juga mencerminkan kedalaman ikatan sosial dan budaya masyarakat Jawa dengan nasi sebagai makanan pokok di Indonesia.